Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perempuan Susah Berumah Tangga, Benarkah Gila Harta, dan Salahkah?

4 Februari 2023   15:31 Diperbarui: 4 Februari 2023   15:33 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perempuan-perempuan karier yang identik sulit menjalin rumah tangga yang langgeng. (Pexels/Tirachard Kumtanom)

Suatu hari, saya menemukan suatu komentar dalam satu kalimat yang singkat dan padat yang kalau diterjemahkan oleh Google kurang-lebih artinya begini, "Seandainya, dia (perempuan) tidak tergila-gila dengan uang."

Apa konteks dari kalimat tersebut?

Komentar itu berasal dari sebuah tayangan pendek di kanal Youtube yang menampilkan cuplikan adegan dua tokoh, sepasang laki-laki dan perempuan, yang konon kabarnya disebut-sebut sebagai jodoh di layar lebar. Persis dengan Shah Rukh Khan dan Kajol di Bollywood.

Bedanya, ini di Asia sebelah lain, dan tentu saja pamor mereka lebih dulu melejit dibanding SRK dan Kajol. Setidaknya, kalau tolok-ukurnya di masyarakat Indonesia. Terutama, di sekitar Rukun Tetangga tempat tinggal saya semasa kecil hingga remaja.

Selebritas manis-manis dari India populer pada dekade 1990-an akhir dan 2000-an awal. Tentu, yang saya maksud adalah generasi Shah Rukh Khan, Salman Khan, Aamir Khan, hingga Hrithik Roshan. Dan, perempuannya adalah Kajol, Aishwarya Rai, Rani Mukherjee, hingga yang paling muda dan terlihat menjadi 'angin segar' bagi kaum Mas-mas saat itu adalah Priyanka Chopra.

Sedangkan, selebritas dari negara Asia yang terdapat sepasang aktor-aktris tampan dan cantik yang saya maksud sudah muncul dan tenar sejak 1990-an awal. Bahkan, yang laki-laki sudah mulai muncul sebelumnya, yakni dekade 1980-an akhir.

Lalu, si perempuan mulai menancapkan kuku-kuku lentiknya di dunia hiburan pada 1990-an awal yang artinya, setelah dia pernah menikah pada pertengahan dekade 1980-an. Kala itu, ia masih 20-an tahun, dan mulai berkarier di dunia hiburan setelah bercerai dalam pernikahan yang hanya berlangsung satu tahun.

Ia pun kemudian pernah menikah lagi pada pertengahan dekade 2010-an, yang artinya usai pensiun sebagai aktris pada 2007. Sekali lagi, ia bercerai setelah sekitar satu tahun menikah. Dari sinilah, ia kemudian hidup sendiri hingga usianya kini sudah 60 tahun. Beberapa tahun lebih tua dari Ibu saya.

Namun, karena dia orang kaya, maka penampilannya masih bisa disebut terjaga sekalipun sudah bukan lagi pelaku aktif di dunia hiburan. Ditambah, ia tidak tercatat punya anak di Wikipedia, maka penampilannya terlihat berbeda dengan perempuan-perempuan yang sudah punya riwayat melahirkan anak. Setidaknya, ini opini saya dalam memandang fisik perempuan.

Lalu, dari riwayat hidup dia yang sedemikian rupa maka konteksnya akan menyambung dengan kalimat pedas level 1 triliun cabai rawit yang saya ungkap sebelumnya. Sekalipun saya bukan orang tersebut, bukan saudaranya, bukan perempuan, atau bukan pula penggemarnya--karena jelas saya belum menjadi Mas-mas atau pun Bapak-bapak muda di era dia masih bisa beradegan lari dan melompati mobil properti syuting, tetapi saya merasa komentar itu sangat menyebalkan.

Ditambah, jika merujuk pada bahasa yang digunakan, bukan juga makhluk hidup dari negara yang kini lebih populer disebut 'Wakanda'--walaupun di negeri tersebut memang ada suatu daerah yang mayoritas penduduknya adalah kaum dari etnis tersebut. Saya kemudian menyadari bahwa makhluk hidup yang suka menyinyiri kehidupan pribadi makhluk lain ternyata tidak pandang asalnya. Semua berpotensi melakukannya.

Bahkan, bisa saja, tulisan saya ini termasuk menyinyiri orang yang berkomentar tersebut.

Bedanya, saya harus menulisnya lebih bertele-tele agar tidak langsung membuat sumbu pendek terbakar dan meledakkan kompor bututnya, melainkan agar orang yang membaca mau mencoba mengetahui apa awal mula dari tulisan ini dan bagaimana saya menanggapi komentar tersebut.

Tentu, konteksnya kini bukan hanya tentang kehidupan pribadi mantan aktris yang saya akui wajah mudanya dulu ternyata bisa menepikan sejenak daftar selebritas cantik masa kini yang sudah membuat banyak orang overthinking; apakah dia cantik alami atau hasil operasi plastik.

Saya jujur tidak tahu apakah selebritas tahun 1990-an sudah ada yang operasi plastik atau belum. Atau, memang mereka mengandalkan faktor keturunan dari orang Eropa yang membuat wajahnya lebih berkarakter dan laku di layar lebar dan sampul majalah.

Yang pasti, saya kemudian menyamakan gaya hidup selebritas dari semua negara dan semua era dengan satu hal yang dipermasalahkan oleh masyarakat umum, yakni pernikahan. Sampai kalender Masehi sudah di angka 2023, saya masih dan terus menemukan komentar-komentar tentang pernikahan, termasuk jika perempuan telat menikah, gampang cerai, dan tidak punya anak.

Hal ini kemudian dikaitkan dengan penilaian bahwa perempuan yang sedemikian rupa biasanya karena mengejar karier, uang, dan gengsi. Sehingga, mereka lupa tentang kehidupan mereka yang seharusnya dapat menikah, langgeng, dan punya anak, yang kemudian menjadi tolok-ukur kehidupan yang bahagia. Betulkah demikian?

Walaupun saya laki-laki, tulen, dan jelas langsung mual-mual ketika menyaksikan episode ketiga 'The Last of Us' (2023), saya tetap merasa bahwa perempuan punya hak seperti laki-laki, yakni berdiri di kaki sendiri dan mengejar mimpi setinggi-tingginya. Apabila perempuan punya kemampuan untuk melakukan satu atau dua hal tersebut, kenapa tidak?

Bahkan, sekalipun perempuan itu akhirnya harus menikah. Jika ternyata ia mendapatkan suami yang mendukung keinginannya untuk tetap berkarier, bukankah itu luar biasa? Apakah kemudian perempuan yang telah menikah harus menghentikan kariernya? Apakah perempuan yang telah menikah harus memupus mimpinya? Apakah laki-laki yang mengizinkan perempuan mengejar mimpinya akan dianggap suami yang lemah, miskin, dan tidak becus dalam membimbing istrinya?

Dewasa ini, kehidupan makin sulit, dikarenakan tuntutan untuk bertahan hidup makin tinggi. Tidak sedikit, keluarga berkonflik dan suami-istri akhirnya bercerai karena permasalahan ekonomi.

Artinya, tidak selamanya keluarga yang bertopang dengan satu orang pekerja dapat mencukupi kebutuhan keluarga, terlepas dari gaya hidup keluarga tersebut. Sekalipun, keluarga tersebut hidup hemat kalau secara mendadak terkena pandemi Covid-19 juga akan goyah keuangannya.

Itulah kenapa, pasutri yang sama-sama berkarier juga tidak ada salahnya. Terkhusus di masa kini, yang masih untung gas oksigen tidak harus beli ke BUMN negaranya masing-masing. Bayangkan, kalau semua orang butuh tabung oksigen untuk bernafas, lalu di dalam rumah yang berisi minimal tiga orang, ternyata hanya satu orang yang mengais rezeki dan itu pun belum tentu gajinya melebihi kebutuhan pokok sehari-hari. Apa yang akan terjadi?

Ilustrasi semacam itu bisa saja terjadi di antara kita, dan saya berpikir bahwa hal-hal semacam itulah yang berpotensi juga membuat seseorang masih ingin berkarier terlepas dari status dan jenis kelaminnya. Selama pekerjaan yang digeluti masih dapat dinilai positif secara normatif, kenapa tidak?

Begitu pun jika pada akhirnya perempuan memilih hidup sendiri sampai tua, itu adalah pilihan. Terlepas dari karakternya yang egois, susah diatur, dan sebagainya, maka itu bukanlah seratus persen kesalahan. Bisa saja, itu adalah buah dari pohon yang pernah menjalani kehidupan yang sama. Berantakan.

Ada kalanya, suatu yang buruk akan menghasilkan sesuatu yang baik karena sesuatu itu telah belajar untuk tidak mengikuti jejak buruk yang sebelumnya terukir. Tetapi, lebih seringnya adalah suatu yang buruk akan menghasilkan sesuatu yang tidak kalah buruk, karena minimnya referensi yang bisa membuat sesuatu yang baru itu menjadi baik.

Artinya, jika ada perempuan-perempuan yang memilih hidup sendiri hingga tua, dan/atau susah mempertahankan rumah tangganya, bisa saja itu bukan karena keinginannya semata, melainkan karena jejak moral yang minim ditanamkan oleh orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab dalam mendidiknya, yakni orang tua.

Orang tua yang baik dan benar dalam menciptakan referensi yang tepat kepada anaknya, biasanya berangkat dari pernikahan yang tertata. Tertata secara mental, intelektual, dan finansial. Tentu, finansial yang dimaksud adalah finansial dari pasutri tersebut, terutama sejak sebelum menikah. Artinya, bukan dari orang tua mereka. Kenapa harus begitu?

Karena, calon pasutri yang punya finansial kuat secara mandiri akan punya potensi untuk membangun mentalitas positif yang kuat. Jika belum demikian, maka perlu ditunjang oleh kemauan tinggi dalam mencari pengetahuan yang selaras terhadap misi membangun kehidupan berumah tangga, agar intelektualitasnya juga cukup untuk membina hubungan suami-istri, menantu-mertua, hingga hubungan sebagai orang tua dengan anak-anaknya kelak.

Kalau masih belum begitu juga, maka lebih baik urungkan pernikahan jika tidak ingin melahirkan anak-anak yang nantinya akan meniru jejak orang tuanya yang kesulitan membangun dan mengelola kehidupan berumah tangganya. Apalagi, kalau rumah tangga tersebut hancur yang di luar faktor cerai mati, karena faktor cerai mati adalah suatu kejadian yang di luar kehendak manusia.

Jadi, masihkah hanya menyalahkan perempuan yang susah berumah tangga dan terkesan hanya fokus mengejar uang? Dan, memangnya salah kalau perempuan ingin kaya dengan jerih-payahnya sendiri?

Oiya, tulisan ini tentu bukan dari orang yang sudah menjalani kehidupan berumah tangga. Karena, amit-amit jika saya harus menulis hal ini ketika sudah menjalani pahitnya kehidupan berumah tangga, terlebih lagi jika harus bercerai terlebih dahulu.

Namun, tulisan ini berasal dari pengalaman seorang anak laki-laki yang tahu betul bahwa ternyata kehidupan berumah tangga tidak seindah yang diharapkan oleh kedua orang tuanya. Dan, sebagai orang yang terlahir laki-laki, saya berharap tidak menjadikan diri saya hanya sekadar menerima takdir sebagai buah yang jatuh dari pohon yang gersang akibat lingkungannya yang tidak kondusif.

Melainkan, saya berharap dapat menjadi buah yang mendapatkan sentuhan dari orang yang berpemahaman bagus dalam filosofi kehidupan yang nantinya dapat menumbuhkan pohon yang rindang dan membantu pohon-pohon lain melawan permasalahan iklim di masa depan. Tentu, orang tersebut yang saya maksud adalah pengetahuan.

Sedangkal-dangkalnya pengetahuan tersebut, saya harap terselip di dalam tulisan ini. Dan, ini bukan hanya tentang pengetahuan bagi laki-laki, melainkan juga bagi perempuan. Karena, laki-laki dan perempuan sama-sama manusia, yang berhak mencari referensi sebaik-baiknya agar kelak ketika tumbuh dewasa dan siap berumah tangga, dapat menghasilkan generasi yang tidak mudah dinyinyiri orang-orang yang belum tentu kehidupannya sudah sempurna.

Harapannya begitu, tetapi realitasnya tidak ada yang tahu, kecuali Yang Maha Tahu Segalanya.

***

Malang, 4 Februari 2023

Deddy HS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun