Ditambah, jika merujuk pada bahasa yang digunakan, bukan juga makhluk hidup dari negara yang kini lebih populer disebut 'Wakanda'--walaupun di negeri tersebut memang ada suatu daerah yang mayoritas penduduknya adalah kaum dari etnis tersebut. Saya kemudian menyadari bahwa makhluk hidup yang suka menyinyiri kehidupan pribadi makhluk lain ternyata tidak pandang asalnya. Semua berpotensi melakukannya.
Bahkan, bisa saja, tulisan saya ini termasuk menyinyiri orang yang berkomentar tersebut.
Bedanya, saya harus menulisnya lebih bertele-tele agar tidak langsung membuat sumbu pendek terbakar dan meledakkan kompor bututnya, melainkan agar orang yang membaca mau mencoba mengetahui apa awal mula dari tulisan ini dan bagaimana saya menanggapi komentar tersebut.
Tentu, konteksnya kini bukan hanya tentang kehidupan pribadi mantan aktris yang saya akui wajah mudanya dulu ternyata bisa menepikan sejenak daftar selebritas cantik masa kini yang sudah membuat banyak orang overthinking; apakah dia cantik alami atau hasil operasi plastik.
Saya jujur tidak tahu apakah selebritas tahun 1990-an sudah ada yang operasi plastik atau belum. Atau, memang mereka mengandalkan faktor keturunan dari orang Eropa yang membuat wajahnya lebih berkarakter dan laku di layar lebar dan sampul majalah.
Yang pasti, saya kemudian menyamakan gaya hidup selebritas dari semua negara dan semua era dengan satu hal yang dipermasalahkan oleh masyarakat umum, yakni pernikahan. Sampai kalender Masehi sudah di angka 2023, saya masih dan terus menemukan komentar-komentar tentang pernikahan, termasuk jika perempuan telat menikah, gampang cerai, dan tidak punya anak.
Hal ini kemudian dikaitkan dengan penilaian bahwa perempuan yang sedemikian rupa biasanya karena mengejar karier, uang, dan gengsi. Sehingga, mereka lupa tentang kehidupan mereka yang seharusnya dapat menikah, langgeng, dan punya anak, yang kemudian menjadi tolok-ukur kehidupan yang bahagia. Betulkah demikian?
Walaupun saya laki-laki, tulen, dan jelas langsung mual-mual ketika menyaksikan episode ketiga 'The Last of Us' (2023), saya tetap merasa bahwa perempuan punya hak seperti laki-laki, yakni berdiri di kaki sendiri dan mengejar mimpi setinggi-tingginya. Apabila perempuan punya kemampuan untuk melakukan satu atau dua hal tersebut, kenapa tidak?
Bahkan, sekalipun perempuan itu akhirnya harus menikah. Jika ternyata ia mendapatkan suami yang mendukung keinginannya untuk tetap berkarier, bukankah itu luar biasa? Apakah kemudian perempuan yang telah menikah harus menghentikan kariernya? Apakah perempuan yang telah menikah harus memupus mimpinya? Apakah laki-laki yang mengizinkan perempuan mengejar mimpinya akan dianggap suami yang lemah, miskin, dan tidak becus dalam membimbing istrinya?
Dewasa ini, kehidupan makin sulit, dikarenakan tuntutan untuk bertahan hidup makin tinggi. Tidak sedikit, keluarga berkonflik dan suami-istri akhirnya bercerai karena permasalahan ekonomi.
Artinya, tidak selamanya keluarga yang bertopang dengan satu orang pekerja dapat mencukupi kebutuhan keluarga, terlepas dari gaya hidup keluarga tersebut. Sekalipun, keluarga tersebut hidup hemat kalau secara mendadak terkena pandemi Covid-19 juga akan goyah keuangannya.