Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Banyak Pilihan di Lini Sayap Timnas Indonesia, Mana yang Terbaik?

12 Desember 2021   18:13 Diperbarui: 14 Desember 2021   04:04 1338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Neil Etheridge berkarier di berbagai klub di Inggris. Sumber: Twitter/@neil38etheridge/via Kompas.com

Membandingkan generasi skuad dalam suatu timnas adalah pekerjaan sulit dan seringkali disebut tidak relevan. Karena, masing-masing generasi punya kelebihan dan kekurangan sendiri.

Lalu, bagaimana kalau kita fokus saja pada skuad Timnas Indonesia yang berlaga di Piala AFF 2020?

Kali ini, saya ingin membahas tentang sebuah lini yang sepertinya teramat penting bagi sektor penyerangan tim asuhan Shin Tae-yong. Lini tersebut adalah lini sayap, atau biasa disebut winger.

Winger punya fokus untuk menyerang saja dibanding wing-back yang harus membagi fokus untuk bertahan juga. Di lini ini, skuad Indonesia bisa dikatakan punya cukup banyak pilihan.

Ada Witan Sulaeman, Irfan Jaya, Ramai Rumakiek, Yabes Roni, dan Egy Maulana Vikri. Untuk nama terakhir, masih belum bisa bergabung ke tim karena masih memperkuat klubnya, FK Senica.

Kita sementara ini fokus ke empat pemain yang sudah ada di tim. Dari empat pemain tersebut, tiga diantaranya sudah mendapatkan menit bermain di laga perdana Piala AFF 2020.

Witan dan Irfan Jaya memulai laga sejak menit pertama. Ramai tampil di babak kedua menggantikan Irja--panggilan akrab Irfan Jaya.

Berdasarkan laga pertama yang melawan Timnas Kamboja, tiga pemain ini telah menunjukkan kontribusinya. Bukan hanya mampu mencetak gol, tetapi juga dalam membangun serangan dan membantu pertahanan.

Kalau dalam urusan mencetak gol, Ramai telah mencatatkan namanya terlebih dahulu dibanding Witan dan Irja. Namun, dalam urusan membangun pondasi permainan sejak babak pertama, Witan dan Irja memegang peranan penting.

Witan juga malah bermain penuh di laga tersebut, meski menjelang akhir pertandingan sudah terlihat kepayahan. Ini dikarenakan, Witan juga membantu pertahanan ketika Indonesia diserang.

Lalu, Irja juga punya peran penting dalam menarik perhatian pemain bertahan lawan. Ketika para bek terlihat awalnya fokus ke Ezra Walian dan Witan, Irja mulai mencoba membawa bola lebih lama, agar pemain bertahan lawan mulai mengubah titik fokusnya.

Mungkin, dalam turnamen ini, Irja akan cukup sulit untuk mencetak banyak gol seperti yang dia lakukan di Liga 1 musim ini (2021/22). Tetapi, dalam kontribusi yang kompleks, Irja masih sangat memungkinkan untuk dibutuhkan Shin Tae-yong.

Ketika ada harapan bahwa Indonesia perlu menduetkan Ramai dan Witan di lini sayap Indonesia, saya justru berpikir bahwa Irja-lah yang bisa menjadi duet Witan di sektor ini. Mengapa begitu?

Karena, gaya bermain Ramai hampir 11-12 dengan Witan. Faktor usia yang sama-sama masih muda, membuat keduanya terkadang cenderung menghambur-hamburkan tenaga.

Itu yang menurut saya tidak bagus. Karena, turnamen ini hanya punya minimal empat laga.

Kalau satu di antara Witan dan Ramai cedera, Indonesia kehabisan stok pemain yang karakternya pengacak-acak pertahanan lawan. Itulah kenapa, Witan dan Ramai harus dimainkan dengan porsi yang berbeda.

Jika melihat faktor jam terbang di timnas, Witan lebih banyak dibanding Ramai. Maka, Witan paling memungkinkan untuk menjadi langganan tim utama

Ramai bisa dimainkan di babak kedua. Tujuannya adalah penyegaran di lini depan Pasukan Garuda, sekaligus menjadikan Ramai sebagai Kartu As baru.

Baca juga: Son, Kartu As Tottenham Lainnya

Tim yang ingin menang dalam fase-fase krusial, terutama dalam turnamen yang berjadwal singkat ini, sangat perlu adanya pemain yang menjadi Kartu As. Kartu As ini bisa ada sejak babak pertama, juga bisa ada di babak kedua.

Menurut saya, Indonesia sudah cukup punya stok pemain yang bisa menjalankan perannya sebagai pemain pengejut bagi lawan di babak pertama. Witan, Evan Dimas, Ricky Kambuaya, hingga Rachmat Irianto bisa menjadi kejutan.

Namun, kalau berkaca pada laga melawan Kamboja, saya melihat Irja yang menjadi pengejut bagi lawan. Ketika Witan sudah mendapatkan perhatian lawan, Irja mampu menunjukkan keterampilannya dalam membangun serangan yang tak kalah bagus dari Witan.

Selain itu, duet Witan-Irja bisa menghadirkan keseimbangan. Witan yang eksplosif perlu diimbangi dengan Irja yang cukup lebih bijak dalam mengelola penguasaan bola dan tenaga.

Umur dan pengalaman itu terkadang memegang peran penting dalam urusan tersebut. Itulah kenapa, duet Witan-Irja cenderung lebih cocok.

Lalu, bagaimana dengan Yabes Roni?

Pemain ini menurut saya adalah versi mateur-nya Ramai Rumakiek. Yabes mampu mengelola tenaga lebih baik, dan cenderung sudah bisa mengetahui kapan harus menarik perhatian lawan dan kapan harus segera melepaskan bola agar tidak terkena hantaman dari lawan.

Saya sering khawatir kalau Ramai membawa bola, karena dia selalu ingin berlama-lama dalam menguasai bola. Alhasil, tidak jarang, dia dihajar lawan hingga terlihat sangat kesakitan.

Ramai harus
Ramai harus "dihemat" jika belum bisa menghemat diri-sendiri. Sumber: via Tribunnews.com

Itu yang kadang seperti tidak dipikirkan Ramai. Namun, hal itu saya maklumi, karena masih muda. Keinginan untuk mempromosikan diri masih sangat tinggi.

Berbeda dengan pemain seperti Yabes, yang sudah pasti tahu rasanya cedera itu tidak enak. Termasuk, tidak enak untuk keberlangsungan karier.

Maka dari itu, pemain dengan tipikal Ramai dan Witan, harus dipisahkan. Sekalipun mereka bermain dalam waktu bersamaan, bukan berarti harus sama-sama sejak menit pertama.

Yabes Roni bisa menjadi opsi lain untuk babak pertama. Seandainya, Witan dan Irja disimpan, duet Ramai-Yabes bisa dipertimbangkan.

Ramai cocok untuk menjadi pemain sayap yang masuk ke dalam, lalu bisa mengeksekusi peluang. Sedangkan, Yabes cocok untuk menjadi pemain sayap yang konservatif dengan memberikan operan-operan silang akurat kepada rekan-rekannya di dalam kotak penalti, terutama kepada Ezra.

Mungkin, kalau Yabes yang bermain, Ezra atau Dedik Setiawan akan punya potensi mencetak gol. Karena, Yabes bukan tipikal eksekutor peluang, melainkan pembuka peluang.

Selain empat pemain tersebut, Shin Tae-yong juga punya Kushedya Yudo yang bisa bermain sebagai penyerang sayap. Bahkan, dia sebenarnya memang seorang winger saat bermain di klub.

Pertimbangan-pertimbangan semacam ini saya yakin sudah ada di catatan taktik Shin Tae-yong. Jika seorang penonton awam seperti saya bisa melihat ini, pasti seorang praktisi yang ahli seperti Shin Tae-yong juga bisa melihatnya dan lebih gamblang dibandingkan saya.

Tulisan sederhana ini tentu hanya sebagai suara ketidaksetujuan saya terhadap anggapan bahwa tim yang butuh banyak gol--agar bisa lolos fase grup--harus memainkan semua pemain tersuburnya sejak menit pertama.

Justru, yang paling krusial dalam upaya untuk lolos dari fase grup ini adalah mengelola pemain dengan tepat. Minimal, dimulai dari upaya mencegah permainan yang monoton dan menghindarkan pemain dari cedera.

Dua hal ini menurut saya jauh lebih penting dibandingkan urusan mencetak gol banyak dalam satu pertandingan. Menurut saya, jika kita memang ingin lolos dari fase grup, kalahkan saja semua lawan yang ada.

Selama ini masih Piala AFF, saya berpikir bahwa peluang Indonesia untuk lolos dari fase grup dan melaju ke semifinal adalah hal yang sangat mungkin.

Selain itu, kalau tim ini memang sangat membutuhkan Egy, maka tunjukkan kepada FK Senica bahwa Indonesia memang layak diperkuat Egy.

Egy merayakan gol FK Senica bersama rekan-rekannya. Sumber: Instagram/Egy Maulana Vikri/via Kompas.com
Egy merayakan gol FK Senica bersama rekan-rekannya. Sumber: Instagram/Egy Maulana Vikri/via Kompas.com

Fenomena Egy yang baru dilepas oleh klubnya jika Indonesia lolos ke semifinal seharusnya menjadi cambukan motivasi kepada Evan Dimas dkk. Bukan justru menjadi biang kerok kalau nanti seandainya Indonesia gagal lolos ke semifinal.

Kenapa begitu?

Karena, kalau melihat permainan Indonesia saat ini, semua pemain punya kesempatan tampil di lini serang terutama di sisi sayap. Pemain yang mengisi lini ini juga cenderung sesuai dengan karakteristik yang bisa diharapkan tim.

Kualitas Egy mungkin sedikit di atas Yabes. Tetapi, gaya bermain Egy hampir tidak beda jauh dengan Witan.

Soal penyelesaian akhir, kualitas Ramai juga tidak begitu kalah dengan Egy. Begitu pula dengan keberadaan Irja yang bisa saja menjadi andalan "tak terlihat" di sektor ini, ketika lawan terlalu fokus dengan Witan dan Ramai.

Selain itu, kita seharusnya bangga, bahwa pemain kita bisa dipertahankan klubnya karena memang klub itu sangat butuh kontribusi si pemain. Dan, fenomena ini bukan hal baru di Piala AFF.

Pada Piala AFF 2010 lalu, Timnas Filipina juga mengalaminya ketika mereka punya Neil Etheridge. Kiper naturalisasi yang bermain di EPL.

Betul, Premier League!

Neil Etheridge berkarier di berbagai klub di Inggris. Sumber: Twitter/@neil38etheridge/via Kompas.com
Neil Etheridge berkarier di berbagai klub di Inggris. Sumber: Twitter/@neil38etheridge/via Kompas.com

Setahu saya, kontribusi Etheridge sebenarnya masih bisa digantikan, mengingat dalam posisi penjaga gawang minim adanya pergantian pemain di tim utama. Dan, dia bukan kiper utama klub tersebut.

Artinya, selama kiper utama tidak cedera dan masih berada di penampilan maksimalnya, dia tidak akan digantikan oleh Etheridge. Namun, klub Etheridge ingin dirinya tetap ada di tim dalam suatu pertandingan sebelum terbang ke Asia Tenggara.

Bahkan, kejadian serupa juga terjadi saat Asian Games 2018. Son Heung-min terlambat bergabung dengan Timnas Korea Selatan, karena masih harus bermain di EPL bersama Tottenham Hotspur.

Artinya, pemain-pemain yang berkarier di Eropa dan dipertahankan klubnya secara mati-matian, menunjukkan bahwa peran si pemain sangat penting. Ini juga terjadi pada Egy yang di klub Eropa keduanya ini punya kesempatan bermain lebih banyak dibanding saat membela Lechia Gdansk.

Maka dari itu, tidak heran kalau Egy masih dipertahankan klubnya, alih-alih segera dilepas. Jadi, saya berharap, kalau seandainya Indonesia gagal ke semifinal, FK Senica tidak dikeroyok massal di akun media sosialnya.

Karena, dalam hal ini tidak ada yang sepenuhnya salah. Bisa saja, faktor kegagalannya adalah timnas kita masih belum siap (lagi) secara mentalitas untuk mewujudkan target lama, yaitu juara Piala AFF untuk pertama kalinya.

Semoga, tidak begitu.

Malang, 12-12-2021

Deddy Husein S.

***

Tersemat: Bola.net

Terkait: Bola.com, Kompas.com 1, Detik.com, 90min.com, Bolatimes.com, Tribunnews.com, Kompas.com 2.

Baca juga: Kemenangan Indonesia yang Masih Belum Memuaskan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun