Satir seharusnya tidak semudah itu. Kadangkala dia bisa membuat dahi bekernyit terlebih dahulu, sebelum mulut membentuk huruf 'O', atau tergelak tertawa.
Itulah kenapa, ketika ada karya-karya seni yang diklaim sebagai bentuk kritikan namun ternyata gampang ditebak maksudnya, jangan-jangan itu bukan satir. Mereka lebih cocok disebut sebagai letupan-letupan ekspresi yang bagai ayam tanpa kepala, dan biasanya seperti anak baru gede.
Ingin cepat eksis dan disebut sebagai barisan pembela rakyat. Padahal, mengisi perut sendiri saja masih minta orang tua. Bagaimana bisa membela rakyat?
Sebenarnya, saya salut dengan orang-orang yang mau mengerahkan talenta berkeseniannya untuk mewujudkan aspirasi komunal. Namun, alangkah baiknya jika diawali--atau jika terlambat harus segera diiringi--dengan pemahaman tentang dasar-dasar berkesenian.
Jangan mudah terbuai dengan "seni itu bebas" atau "seni itu tidak ada yang salah". Karena, itu hanyalah angan-angan abadi. Selama seni itu ditumbuhkan, dirawat, dan dikembangkan oleh manusia, selama itu juga dia akan punya batas-batas, ciri-ciri, dan perdebatan yang tiada akhir.
Hingga pada akhirnya, seni yang awalnya untuk mengkritik, juga memunculkan kritik untuk seni. Ini bisa terjadi karena, manusia selalu ingin menciptakan nilai-nilainya sendiri dan zona nyamannya masing-masing, termasuk lewat kesenian.
Malang, 20-31 Agustus 2021
Deddy Husein S.
Terkait: Liputan6.com, Kompas.com 1, Kompas.com 2, Kapanlagi.com, Gramedia.com, Zonareferensi.com, Artandpopularculture.com, Kompas.com 3, Journal.unnes.ac.id (pdf), Hardrockfm.com, Ketik.unpad.ac.id, Catatanpringadi.com, Media.neliti.com (pdf), Repository.unpar.ac.id, Hub.jhu.edu.
Baca juga: Menjadi Penulis pun Seperti Menjadi Atlet
Tersemat: Hellosehat.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H