Kalau Lukaku berhasil mencapai impiannya, termasuk dapat membela tim nasionalnya, berbeda dengan saya yang bisa dikatakan tinggal angan-angan belaka. Jangankan menjadi pemain profesional di Premier League, Barcelona, hingga membela timnas, menjadi pesepak bola profesional di Indonesia saja tidak kesampaian.
Lalu, apakah saya sedih?
Dulu, iya. Saya kalau tidak mengaku sedih, pasti saya sedang naif.
Bahkan, seingat saya kesedihan itu masih menjalar sampai setamat SMA. Karena, di masa itulah saya mulai merasakan betul yang namanya krisis identitas di fase remaja.
Saat itu, saya masih belum tahu akan menjadi siapa setelah lulus sekolah. Apakah menjadi karyawan toko, pekerja di warung kopi, penjual makanan, atau apa lagi?
Yang pasti, saat itu saya merasa semua pekerjaan yang umum dikerjakan banyak orang di sekitar saya adalah bukan kemampuan saya. Keinginan mencoba memang ada, tapi saya sering tertahan dengan pertanyaan apakah saya mampu?
Memang, terlihat seperti terlalu cepat membatasi diri. Namun, yang saya pikirkan adalah kemampuan orang bisa keluar ketika orang tersebut juga percaya diri untuk melakukannya. Kalau orang itu tidak merasa percaya diri, imbasnya menjadi tidak baik ke pekerjaan yang dilakukannya.
Itulah kenapa, kemudian, saya terus mencoba mencari jalan lain yang lebih memungkinkan dalam membuka potensi saya. Sampai akhirnya, tibalah saya dalam dunia yang bernama kepenulisan.
Mungkin, bagi beberapa orang berpikir kalau menulis itu mudah. Karena, tidak perlu bertenaga banyak, asalkan pandai berkata-kata.