Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Menjadi Penulis pun Seperti Menjadi Atlet

19 Agustus 2021   20:28 Diperbarui: 23 Agustus 2021   09:05 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak dan cita-cita menjadi atlet. Sumber: Pexels/Amina Filkins

Kalau berbicara tentang cita-cita, banyak anak yang mampu bercita-cita sangat tinggi. Saya pun merasa cita-cita saya bisa dikatakan tinggi.

Bagaimana tidak, saat masih kecil, saya ingin menjadi pemain sepak bola yang bermain di Premier League, alias EPL. Kemudian, saya juga ingin bermain di Barcelona.

Harapan saya juga seperti kebanyakan pemain profesional. Mereka biasanya memeroleh kesempatan sebagai pemain profesional di klub idolanya. Contoh yang paling segar, tentu adalah Romelu Lukaku.

Jika berdasarkan publikasi di media massa, Lukaku terindikasi menyukai Chelsea sejak remaja. Ia pun berhasil bermain di Chelsea saat pertama kali datang ke Premier League.

Lukaku saat remaja mendapatkan kesempatan mengunjungi Stamford Bridge, London. Sumber: via Footballreporting.com
Lukaku saat remaja mendapatkan kesempatan mengunjungi Stamford Bridge, London. Sumber: via Footballreporting.com

Sayangnya, dia gagal bersaing dan menepi ke klub lain, yaitu West Bromwich Albion dan Everton. Bersama klub terakhirlah, dia mendapatkan panggungnya sebagai penyerang tengah di EPL.

Atas dasar itu, Lukaku kemudian merapat ke Manchester United. Meskipun, dirinya bisa dikatakan berhasil mencetak banyak gol, kariernya bersama The Red Devils harus berakhir dengan kesepakatan transfer menuju Inter Milan.

Di situlah, Lukaku kembali mendapatkan panggung sebagai penyerang tengah yang subur dan mampu menjadi bagian dari skuad juara Serie A 2020/21. Selama dua musim, dia berhasil menjadi pencetak gol terbanyak Inter dalam kurun waktu tersebut.

Itu yang membuat Chelsea terpincut dan segera memulangkan 'si anak hilang'. Kini, Lukaku kembali ke pangkuan klub idolanya.

Lukaku mendapatkan nomor 9 di Chelsea. Sumber: Twitter.com/ChelseaFC
Lukaku mendapatkan nomor 9 di Chelsea. Sumber: Twitter.com/ChelseaFC

Kalau Lukaku berhasil mencapai impiannya, termasuk dapat membela tim nasionalnya, berbeda dengan saya yang bisa dikatakan tinggal angan-angan belaka. Jangankan menjadi pemain profesional di Premier League, Barcelona, hingga membela timnas, menjadi pesepak bola profesional di Indonesia saja tidak kesampaian.

Lalu, apakah saya sedih?

Dulu, iya. Saya kalau tidak mengaku sedih, pasti saya sedang naif.

Bahkan, seingat saya kesedihan itu masih menjalar sampai setamat SMA. Karena, di masa itulah saya mulai merasakan betul yang namanya krisis identitas di fase remaja.

Saat itu, saya masih belum tahu akan menjadi siapa setelah lulus sekolah. Apakah menjadi karyawan toko, pekerja di warung kopi, penjual makanan, atau apa lagi?

Ilustrasi pekerjaan yang membutuhkan keterampilan dan keramahan. Sumber: Pexels/Kampus Production
Ilustrasi pekerjaan yang membutuhkan keterampilan dan keramahan. Sumber: Pexels/Kampus Production

Yang pasti, saat itu saya merasa semua pekerjaan yang umum dikerjakan banyak orang di sekitar saya adalah bukan kemampuan saya. Keinginan mencoba memang ada, tapi saya sering tertahan dengan pertanyaan apakah saya mampu?

Memang, terlihat seperti terlalu cepat membatasi diri. Namun, yang saya pikirkan adalah kemampuan orang bisa keluar ketika orang tersebut juga percaya diri untuk melakukannya. Kalau orang itu tidak merasa percaya diri, imbasnya menjadi tidak baik ke pekerjaan yang dilakukannya.

Itulah kenapa, kemudian, saya terus mencoba mencari jalan lain yang lebih memungkinkan dalam membuka potensi saya. Sampai akhirnya, tibalah saya dalam dunia yang bernama kepenulisan.

Ilustrasi menulis. Sumber: Pexels/Tima Miroshnichenko
Ilustrasi menulis. Sumber: Pexels/Tima Miroshnichenko

Mungkin, bagi beberapa orang berpikir kalau menulis itu mudah. Karena, tidak perlu bertenaga banyak, asalkan pandai berkata-kata.

Tetapi, ada juga yang berpikir kalau menulis itu tidak mudah. Bahkan, kebanyakan orang yang menulis adalah orang-orang yang sudah berumur yang bisa dikatakan tugasnya membanting tulang di lapangan sudah usai dan selanjutnya beralih ke dunia berbagi kisah tentang pengalaman hidup dan sisa-sisa pengetahuan yang hampir susah dibedakan dengan pengalamannya.

Lalu, bagaimana menurut saya?

Saya berpikir 50-50. Terkadang, saya juga mengakui kalau menulis memang tidak perlu berpanas-panasan, terjebak macet, dan menghabiskan stok minyak wangi.

Tetapi, di lain waktu, saya juga berpikir kalau menulis itu sulit. Bahkan, sangat sulit. Apa pun konteks tulisannya.

Bahkan, kesulitan yang seringkali saya alami akhir-akhir ini adalah kebutuhan modal. Bisa materi dan imaterial. Yang materi tentu berbicara tentang uang untuk modal internetan dan sarapan, termasuk stok kopi instan.

Sedangkan, yang imaterial adalah informasi. Ini juga seringkali berkaitan dengan modal internetan tadi. Ketika saya selalu perlu mencari informasi lewat internet, namun saya tidak mempunyai kuota, tentu saya tidak bisa mengakses informasi.

Bukankah ada buku?

Betul, buku juga bisa dijadikan sumber menulis, terutama artikel bebas di media online. Tetapi, informasi di dalam buku biasanya perlu dikombinasikan dengan informasi aktual.

Dan, dewasa ini, informasi aktual dimediasikan oleh internet. Koran-koran yang sekarang sudah bukan primadona pun tidak mampu menjadi alternatif. Kenapa?

Misalkan, saya punya uang 10.000 rupiah yang baru saja saya temukan di saku celana yang akan saya cuci. Maka, pikiran saya adalah membeli pulsa daripada koran.

Dengan pulsa 10.000 rupiah, saya kemungkinan bisa berinternetan minimal dua hari. Dan, saya sudah pasti masih bisa menonton video-video di Youtube yang juga menyediakan tambahan informasi, dan tentu saja terbarui dari hari pertama ke hari kedua.

Apakah dengan media koran, saya sudah merasa puas dengan informasi yang disajikan?

Namun, itu tentu tergantung pemikiran, selera, dan keadaan. Mungkin, ada suatu tempat yang toko korannya lebih dekat daripada toko penyedia pulsa elektrik. Maka, ada kemungkinan orang yang malas bergerak akan (terpaksa) membeli koran, alih-alih pulsa.

Begitu pun dengan akses transaksi online, yang belum semua orang familier. Maka, ada kemungkinan orang-orang tersebut memilih menyambangi toko terdekat untuk mendapatkan 'modal informasi'.

Kemudian, permasalahan lain dari menulis adalah konsistensi dan tanggapan. Orang yang konsisten menulis, kemungkinan besar akan mendapatkan timbal-balik yang sepadan. Orang yang konsisten menulis juga, akan mendapatkan banyak tanggapan.

Soal baik-buruknya tanggapan, itu tergantung apa dan bagaimana kita menyajikan tulisan. Saya pun tidak bisa menjamin tulisan saya dapat diterima secara positif oleh semua yang membaca tulisan saya.

Itulah yang kemudian menjadi pertimbangan ketika akan menulis. Dapatkah kita memeroleh tanggapan positif?

Memang, ada orang yang bilang "biarkan tulisan itu menemukan hilirnya sendiri". Tetapi, tidak sedikit, orang yang menulis juga punya "mukjizat" terselubung, yaitu 'overthinking'.

Minimal, ada satu orang yang secara gerilya terserang 'overthinking' ketika menulis, yaitu saya. Terkadang, saya ketika menulis harus berhadapan dengan 'overthinking'.

Menurut saya, overthinking juga memberi sisi positif, yaitu kemampuan berpikir lebih banyak dan lebih dalam terkait suatu hal yang mungkin bagi orang lain hanya "bintang jatuh" yang sekali lewat. Tetapi, kalau menurut saya, sesuatu yang sekali lewat itu ibarat seperti teror hantu yang tanpa sengaja dapat kita lihat.

Bukan soal menyeramkannya, tapi tentang bagaimana kita bisa terus berpikir tentang kejadian yang singkat tersebut. Itulah yang kemudian, kalau diambil sisi positifnya bisa membuat kita terlatih untuk berkontemplasi.

Hasil dari kontemplasi itulah yang kemudian bisa disalurkan ke dalam bentuk tulisan. Artinya, menulis juga bukan pekerjaan yang mudah. Butuh banyak tahapan.

Bahkan, tidak sedikit orang yang masih berpikir kalau menulis itu adalah pekerjaan orang yang pintar dan sudah pernah terbukti dalam hal tindakan. Lalu, bagaimana dengan saya?

Kalau harus disebut pintar, itu relatif. Menurut saya, semua orang pasti pintar, tinggal konteks kepintarannya dalam hal apa.

Kemudian, kalau dalam hal pembuktian berupa tindakan, setahu saya, menulis juga bertindak. Bedanya, orang menulis terkadang tidak perlu terlihat jelas aktivitasnya di depan orang lain dan banyak orang.

Orang yang tiap hari bersembunyi di balik pintu kamar pun bisa menulis. Inilah yang kemudian membedakan antara cita-cita saya menjadi atlet dengan aktivitas saya saat ini dengan menulis.

Persediaan utama menulis, selain camilan. Sumber: Pexels/Mikhail Nilov
Persediaan utama menulis, selain camilan. Sumber: Pexels/Mikhail Nilov

Menjadi penulis sebenarnya hanya impian yang sporadis. Kadang muncul, kadang tidak. Berbeda dengan keinginan menjadi atlet, yang cenderung konsisten terbayang di imajinasi dari kecil sampai ketika memasuki masa-masanya ingin berpacaran.

Namun, pada kenyataannya saya lebih dekat peluang saya untuk menjadi penulis, walaupun masih sporadis. Sporadis di waktu dan jenis tulisan. Sporadis di waktu yang saya maksud ini adalah publikasi.

Sebagai orang yang sudah tidak tahu malu untuk mempublikasikan tulisan "ceker ayamnya", saya pun mulai membuat standar bahwa menulis akan terasa sempurna kalau juga dipublikasikan. Nahasnya, hal itu kadang masih saya lakukan dengan sporadis.

Begitu pun dengan jenis tulisan. Kadang kala saya menulis tentang olahraga, kadang juga non-olahraga. Kadang pula, saya menyediakan waktu untuk menulis karya fiksi.

Dari proses itulah, saya juga berpikir kalau menulis mirip seperti atlet. Roda kehidupannya fluktuatif.

Kadang kala lancar, kadang kala juga seret. Tingkat lancar dan seret ini juga berkaitan dengan dua hal yang selalu lekat di antara penulis dan atlet, yaitu mental dan finansial.

Greysia Polii dan Apriyani Rahayu, contoh atlet yang di Olimpiade Tokyo 2020 sedang bermental bagus. Sumber: Antara/Sigid Kurniawan/via Kompas.com
Greysia Polii dan Apriyani Rahayu, contoh atlet yang di Olimpiade Tokyo 2020 sedang bermental bagus. Sumber: Antara/Sigid Kurniawan/via Kompas.com

Ketika mental bagus, maka atlet dapat menunjukkan permainan yang bagus. Begitu juga dengan penulis yang membutuhkan mental bagus untuk berkarya.

Memang, ada yang bilang, orang yang sedang mental jatuh akan membuat karya tulisan yang bagus. Tetapi, pola pikir itu terkadang tidak berlaku di beberapa penulis, apalagi penulis non-fiksi.

Kemudian, tentang finansial. Atlet ketika masih di usia produktif, pundi-pundi kekayaannya akan melimpah-ruah. Tetapi, ketika sudah di usia non-produktif, kekayaannya bisa saja menukik tajam kalau tidak dikelola dengan baik.

Valentino Rossi contoh atlet yang mampu mengelola kekayaannya dari masa-masa kejayaannya di MotoGP. Sumber: Dok. Luca_Marini_97/via Kompas.com
Valentino Rossi contoh atlet yang mampu mengelola kekayaannya dari masa-masa kejayaannya di MotoGP. Sumber: Dok. Luca_Marini_97/via Kompas.com

Bahkan, atlet yang di usia produktif saja juga bisa tersendat finansialnya jika dirinya mengalami fase penampilan yang buruk atau kalah bersaing dengan yang lain. Ditambah, kalau dia tidak mendapatkan dukungan penuh dari sekitarnya. Makin mampet finansialnya.

Begitu juga dengan penulis. Terkadang, ada masanya banyak kucuran uang segar yang masuk ke kantung yang bernama rekening dan/atau sekarang bernama dompet digital.

Tetapi, tidak jarang pula, penulis mengalami krisis finansial. Bisa karena mentalnya terlampau fluktuatif, kualitasnya naik-turun, atau juga karena faktor jaringan yang mendukung proses berkaryanya.

Contohnya adalah saya. Ketika sedang banyak tawaran dan sumber pemasukan, maka finansial saya bisa dikatakan cukup untuk modal hidup sendirian.

Tetapi, kalau sedang sepi tawaran, modal tidak ada, dan mental sedang naik-turun yang kemudian menimbulkan kemalasan, maka pemasukan pun seret. Ketika sudah begini, menjadi penulis pun terasa seperti menjadi atlet. Pasang-surutnya sangat terlihat dan terasa.

Itulah kenapa, ketika saya gagal menjadi atlet pun seperti tidak ada bedanya ketika saya sekarang sedang menggeluti dunia kepenulisan. Di satu sisi, saya merasa seperti tahu kalau mungkin menjadi atlet akan begini. Di sisi lain, saya merasa jalan kehidupan tidak pernah ada yang tahu pasti.

Bahkan, konotasi atlet di masa lalu dengan masa sekarang dan masa depan, bisa saja berbeda. Artinya, impian menjadi atlet yang sepintas terlihat sangat membanggakan negara dan mengguncangkan dunia, bisa saja di lain waktu kebanggaan negara dan keguncangan dunia bisa disebabkan oleh bidang lain.

Meski begitu, orang atau anak yang ingin menjadi atlet tetaplah luar biasa. Bahkan, saya tetap menaruh respek sangat tinggi kepada atlet, karena sampai sejauh ini, saya masih menyukai momen menonton pertandingan olahraga dibandingkan tontonan lain.

Jadi, jangan malu kalau punya cita-cita menjadi atlet!

Terbangkan cita-citamu setinggi layang-layang. Kalau putus, menangis sebentar, dan beli yang baru. Sumber: Shutterstock/Evgeny Atamanenko via Kompas
Terbangkan cita-citamu setinggi layang-layang. Kalau putus, menangis sebentar, dan beli yang baru. Sumber: Shutterstock/Evgeny Atamanenko via Kompas

Malang, 14-19 Agustus 2021

Deddy Husein S.

Terkait: Kompas.com 1, Kompas.com 2, Kompas.com 3.

Baca juga: Mengolah Rasa dan Pentingnya Menulis Sesuai Tempatnya

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun