Karena, mereka terlihat seperti mulai mempelajari gaya bermain dari negara-negara lain. Tentu, lewat kompetisi antarklub.
Terutama, lewat pemain-pemain yang dipanggil. Mereka rata-rata dilatih oleh pelatih asing, dan ada kemungkinan mereka bisa membantu memberikan informasi terkait bagaimana cara bermain yang diterapkan pelatih dari negara-negara tertentu.
Mengapa saya tidak menyebut gaya bermain Italia? Walaupun, Italia sering disebut sebagai rumahnya filosofi sepak bola dengan pertahanan terbaik.
Meski begitu, saya tidak melihat Italia bermain pragmatis sepanjang pertandingan di tiap turnamen dalam satu dekade terakhir. Termasuk, ketika klub-klub asal Italia bermain di Liga Champions.
Misalnya, Juventus. Mereka biasanya bermain menyerang ketika kedudukan masih 0-0. Baru, ketika mereka berhasil unggul atau setelah babak pertama berakhir, mereka mulai menggunakan gaya bermain pragmatis.
Pola ini kemudian mulai seperti diperbaiki oleh timnas Italia, ketika mereka sepertinya sadar bahwa bermain pragmatis terkadang tidak menguntungkan. Terbukti, Juventus di tangan Masimilliano Allegri selalu kandas justru ketika mereka mulai bermain bertahan.
Itulah mengapa, Italia di tangan Roberto Mancini seperti diajak untuk bermain penuh percaya diri dan mengintimidasi. Walaupun, ada yang meragukan rival di Grup A, tapi pertemuan perdana dengan Turki bisa dikatakan sebagai kunci awal bagaimana Italia bisa meruntuhkan optimistis Turki bersama calon generasi terbaiknya.
Saya menyatakan demikian, karena Turki lolos ke putaran final Euro 2020 sebenarnya dengan cara yang cukup meyakinkan. Mereka juga sedang mempunyai pemain-pemain yang merasakan gelar di klub masing-masing seperti Burak Yilmaz dan Caglar Soyuncu.
Artinya, tim ini bukan sembarangan. Tetapi, setelah melawan Italia, saya pikir Turki seperti mulai kehilangan arah.
Itu yang kemudian membuat pertandingan melawan Wales seperti misi berat. Tentu, pada akhirnya kita tahu bagaimana hasil perjalanan Turki di Euro 2020.