Apakah ketika melihat sebuah tim nasional akan otomatis menilai liga domestiknya? Apakah ketika melihat Tim Nasional Inggris berarti akan memikirkan Premier League?
Atau, apakah ketika mendukung Brasil, berarti menonton Serie A Brasil?
Tulisan ini adalah lanjutan dari bagian sebelumnya dengan judul sama. Tulisan ini ditulis berdasarkan pemikiran tentang pilihan menyukai timnas sepak bola yang seperti cenderung berkaitan dengan kompetisi domestiknya.
Secara khusus, tulisan ini menjadikan Timnas Inggris sebagai contoh dari banyaknya orang menyukai dan menjadi pendukungnya. Tentu tidak masalah. Tapi, saya pikir, ini ada kemungkinan besar berkaitan dengan kefamilieran mereka terhadap Premier League.
Tentu, itu juga tidak salah. Tetapi, saya pikir, menyukai sebuah timnas akan lebih menarik kalau memisahkannya dengan kompetisi domestiknya.
Karena, walaupun antara kompetisi domestik dengan tim nasionalnya berkaitan erat. Mereka biasanya punya jalan cerita yang berbeda.
Contohnya, tim Inggris dengan Premier League. Sudah beberapa dekade, Premier League menjadi kompetisi sepak bola yang kompetitif. Tetapi, bagaimana dengan timnasnya?
Kalau berdasarkan satu dekade terakhir (2010-2020), saya pikir tim Inggris mengalami cukup peningkatan secara pencapaian. Terutama di Piala Dunia 2018.
Tetapi, secara permainan, saya pikir mereka seperti sudah mulai tidak seperti tim yang berasal dari Inggris. Terakhir saya lihat Inggris bermain seperti Inggris adalah saat Piala Dunia 2010.
Berani keluar menyerang, walau cara menyerangnya sering mengandalkan kualitas individu. Tetapi, itu cukup baik daripada sekarang. Terutama Euro 2020.
Hanya saja, nilai bagus dari Inggris saat ini adalah mereka mampu mengadaptasi gaya bermain yang berbeda. Mengapa bisa demikian?
Karena, mereka terlihat seperti mulai mempelajari gaya bermain dari negara-negara lain. Tentu, lewat kompetisi antarklub.
Terutama, lewat pemain-pemain yang dipanggil. Mereka rata-rata dilatih oleh pelatih asing, dan ada kemungkinan mereka bisa membantu memberikan informasi terkait bagaimana cara bermain yang diterapkan pelatih dari negara-negara tertentu.
Mengapa saya tidak menyebut gaya bermain Italia? Walaupun, Italia sering disebut sebagai rumahnya filosofi sepak bola dengan pertahanan terbaik.
Meski begitu, saya tidak melihat Italia bermain pragmatis sepanjang pertandingan di tiap turnamen dalam satu dekade terakhir. Termasuk, ketika klub-klub asal Italia bermain di Liga Champions.
Misalnya, Juventus. Mereka biasanya bermain menyerang ketika kedudukan masih 0-0. Baru, ketika mereka berhasil unggul atau setelah babak pertama berakhir, mereka mulai menggunakan gaya bermain pragmatis.
Pola ini kemudian mulai seperti diperbaiki oleh timnas Italia, ketika mereka sepertinya sadar bahwa bermain pragmatis terkadang tidak menguntungkan. Terbukti, Juventus di tangan Masimilliano Allegri selalu kandas justru ketika mereka mulai bermain bertahan.
Itulah mengapa, Italia di tangan Roberto Mancini seperti diajak untuk bermain penuh percaya diri dan mengintimidasi. Walaupun, ada yang meragukan rival di Grup A, tapi pertemuan perdana dengan Turki bisa dikatakan sebagai kunci awal bagaimana Italia bisa meruntuhkan optimistis Turki bersama calon generasi terbaiknya.
Saya menyatakan demikian, karena Turki lolos ke putaran final Euro 2020 sebenarnya dengan cara yang cukup meyakinkan. Mereka juga sedang mempunyai pemain-pemain yang merasakan gelar di klub masing-masing seperti Burak Yilmaz dan Caglar Soyuncu.
Artinya, tim ini bukan sembarangan. Tetapi, setelah melawan Italia, saya pikir Turki seperti mulai kehilangan arah.
Itu yang kemudian membuat pertandingan melawan Wales seperti misi berat. Tentu, pada akhirnya kita tahu bagaimana hasil perjalanan Turki di Euro 2020.
Meski begitu, saya pikir ini adalah awal dari perjalanan Turki menatap masa depan. Mereka saat ini sedang mempunyai banyak pemain berkualitas di usia yang masih muda.
Maka, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka juga bisa mengikuti jejak Belgia sebagai tim kuat penantang gelar juara di ajang internasional. Saya menyatakan demikian, bukan karena saya mengikuti Super Lig, liga utama Turki. Tetapi, saya cukup tahu kualitas para pemainnya.
Artinya, ketika saya melihat timnas, sebenarnya berbeda dengan bagaimana saya melihat kompetisi domestiknya. Saya bisa memuji dan berharap tentang masa depan tim Turki, tapi saya tidak terlalu mau tahu-menahu dengan Super Lig.
Walaupun benar, saya pernah sedikit membahasnya lewat drama antara Trabzonspor dengan John Obi Mikel.
Baca juga: John Obi Mikel Pilih Keluarga daripada Profesi
Tetapi, saya pikir kualitas Super Lig tidak bisa disandingkan dengan timnas Turki. Sekali lagi, saya melihat bahwa antara liga dan timnas terkadang punya jalan cerita yang berbeda.
Sama halnya dengan Portugal, negara yang sebelumnya saya singgung untuk mengaitkannya dengan timnas Inggris. Kenapa harus Portugal?
Karena, negara ini seperti menganut pragmatisme dalam sepak bola. Saya sebut negara, karena beberapa pelatih Portugal seperti menganut gaya bermain pragmatis.
Tidak hanya pelatih top seperti Jose Mourinho. Pelatih lain seperti Nuno Espirito Santo juga terlihat fasih memainkan sepak bola pragmatis bersama Wolverhampton Wanderers.
Tentu, rujukan selanjutnya adalah Fernando Santos. Pelatih Timnas Portugal ini juga cenderung bermain pragmatis, walaupun di sana ada pemain sehebat Cristiano Ronaldo.
Entah mengapa, Cristiano Ronaldo seperti berjodoh dengan sepak bola pragmatis. Real Madrid di era kepelatihan Mourinho, Ronaldo harus bermain pragmatis. Apalagi, ketika harus bertemu dengan Barcelona di El Clasico.
Uniknya, di Juventus, Ronaldo juga tidak sedikit bermain dengan taktik pragmatis. Padahal, skuad Juventus bisa dikatakan selalu lebih bagus dari klub Italia lainnya.
Apa memang Portugal sudah menanamkan akar pragmatisme sangat dalam sampai pemain dan pelatihnya seolah berjodoh dengan pragmatisme?
Sebenarnya, ada pelatih Portugal yang sedikit tidak pragmatis. Dia adalah Andre Villas-Boas.
Mantan pelatih FC Porto, Chelsea, dan Tottenham Hotspur itu terlihat lebih berani menggunakan taktik keluar menyerang. Tetapi, sayangnya dia masih kurang berhasil ketika melatih klub di luar Portugal.
Termasuk saat dirinya melatih di Ligue 1 bersama Olympique Marseille. Ini membuat saya berpikir, apa karena Villas-Boas tidak berjodoh dengan gaya main terbuka?
Sebenarnya, bermain pragmatis bukan berarti banyak bertahan. Tetapi, lebih ke mengefektifkan serangan. Itu yang saya lihat ketika klub yang dilatih Villas-Boas bermain.
Seperti FC Porto dan Marseille. Mereka bermain di liga domestiknya tentu sebagai tim kuat yang mampu mendominasi permainan.
Tetapi, mereka berupaya mengefektifkan serangan dengan cara membiarkan lawan berani bergerak maju mendekati garis dekat pertahanan mereka. Ketika serangan lawan mentah, di situlah momen untuk menyerang balik.
Apa itu dilakukan Mourinho dan Santos?
Menurut saya, Mourinho lebih berorientasi pada hasil. Bukan tentang efektif, efisien, alih-alih gaya bermain menghibur. Ini yang kemudian saya pikir seperti diduplikasi oleh Santos bersama tim Portugal.
Saya maklum, ketika itu dilakukan di Euro 2016. Tetapi, ketika itu juga dilakukan di Piala Dunia 2018, saya cukup heran.
Karena, skuadnya sudah lumayan bagus dibandingkan Euro 2016. Tetapi, mereka seperti ingin tetap bermain dengan mengandalkan serangan balik.
Memang, itu boleh saja kalau dilakukan karena hanya itu kelebihan dari tim tersebut. Tetapi, kalau melihat skuadnya yang lebih hebat dari tim Maroko atau lainnya, saya pikir itu adalah permainan yang terlampau pesimis sebagai tim besar.
Namun, karena Portugal sudah pernah mereguk sukses dengan cara bermain sedemikian rupa, maka gaya bermain seperti itu seperti sah saja. Apalagi, bagi orang-orang yang cenderung suka melihat hasil daripada proses. Yang penting, jadi orang yang tersenyum dan tertawa riang di akhir. Beres!
Itulah yang kemudian saya pikir bahwa tim Inggris juga seperti ingin menduplikasi gaya bermain Portugal. Memperkuat pertahanan dan mengefektifkan serangan. Apakah itu berhasil?
Selama Inggris bisa memenangkan pertandingan, atau minimal tidak kalah, strategi itu bisa dianggap berhasil. Tetapi, akan sejauh mana pencapaian Inggris?
Jika melihat produktivitas Inggris di fase grup Euro 2020 yang bisa dikatakan "paket hemat" seperti tim Argentina di fase grup Copa America 2021--sebelum menang 1-4 vs Bolivia, itu sangat memprihatinkan. Bahkan, lebih memprihatinkan Inggris daripada Argentina. Mengapa?
Karena, Argentina seret gol bukan sepenuhnya mereka tidak mau menyerang. Tetapi, mereka seperti berusaha mengendalikan tempo permainan.
Permainan sepak bola di Amerika Selatan cenderung mengandalkan transisi cepat, dan itu adalah kekuatan besar bagi tim-tim Amerika Selatan untuk memporak-porandakan pertahanan lawan. Inilah yang ingin diredam oleh Argentina.
Mereka meredamnya dengan penguasaan bola di lini tengah, bukan bertahan. Itulah mengapa, ketika mereka tidak seproduktif Brasil dan tim lainnya, itu bukan sepenuhnya menggambarkan kelemahan menyerang Argentina.
Bahkan, ketika mereka mencetak gol, itu karena mereka sedang mampu menguasai permainan di area pertahanan lawan, bukan mengandalkan serangan balik. Artinya, Argentina sangat berbeda dengan Inggris, walaupun dalam segi produktivitas sama-sama minim.
Inggris mengalami seret gol, karena mereka cenderung ingin meraih hasil 'yang penting tiga poin'. Caranya, memberikan penguasaan bola kepada lawan, dan mereka mengincar serangan balik.
Mereka juga seperti menempatkan diri sebagai tim semenjana ketika bertemu Kroasia. Mereka mencari gol dulu, lalu bertahan total hingga akhir.
Inilah yang kemudian membuat saya heran. Apakah tim dengan skuad berbanderol mahal di bursa transfer, ketika berkumpul, gaya mainnya seperti ini?
Memang, Prancis pun gaya mainnya tidak bagus amat. Mereka juga seperti bermain dengan pragmatis seperti yang dilakukan di final Piala Dunia 2018.
Tetapi, saya pikir itu bisa dimaklumi kalau di partai puncak. Seperti Portugal yang saya maklumi ketika mengalahkan Prancis di Euro 2016. Termasuk, juaranya Inter Milan di Liga Champions 2009/10. Atau, Chelsea yang juara Liga Champions 2020/21.
Kalau sudah di momen akhir, segalanya harus dilakukan untuk menang. Eksperimen taktik bermain indah mau tidak mau harus disingkirkan.
Tetapi, bagaimana kalau pola seperti itu dilakukan hampir sepanjang turnamen?
Itulah yang masih saya tunggu. Apakah tim seperti Inggris akan memeroleh hasil terbaiknya dengan gaya main sedemikian rupa.
Apakah tim dari negara yang mempunyai kompetisi terelit di dunia ini selamanya akan memberikan mimpi kepada pendukungnya? Terutama, bagi mereka yang mendukung tim Inggris karena Premier League.
Patut dinantikan.
Malang, 27-29 Juni 2021
Deddy Husein S.
Terkait: Bola.net, Panditfootball.com, Kompas.com 1 dan 2, Bola.com.
Baca juga: Empat Tim yang Patut Disorot dan
Copa America 2021, Sedikit Kontestan tapi Banyak Cerita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H