Namun, pada akhirnya saya masih menganggap Masjid Al-Munawwar adalah masjid yang paling favorit, meskipun sudah lama tidak ke sana. Bahkan, ketika berkesempatan pulang kampung, saya lebih memilih berkunjung ke Masjid Al-Muslimun, karena lebih dekat dengan tempat tinggal daripada Masjid Al-Munawwar.
Kalau dulu sewaktu kecil, memang masjid itu sangat dekat. Seperti yang sudah pernah saya ceritakan di artikel ini (klik warna biru).
Sekarang, masjid itu jauh, dan secara fisik sudah kurang ada keinginan untuk menjangkaunya. Tetapi, secara kenangan atau ikatan perasaan, saya masih cukup lekat untuk mengingatnya.
Hal semacam itu yang rasanya sulit digantikan dengan pengalaman saya di masa sekarang, meskipun pernah memasuki masjid-masjid yang desain eksterior dan interiornya terasa lebih bagus, maju, atau elegan.
Sebenarnya, Masjid Al-Munawwar sekarang juga terlihat sudah modern. Bahkan, tahun 2014 atau 2015, saat saya masih pernah masuk ke sana, sudah terasa seperti masjid-masjid di Malang.
Tetapi, yang membuat saya senang dan nyaman adalah rekam jejak saya di masa lalu. Masa-masa saya nakal dan peralihan menuju perbaikan moral menurut saya masjid itu adalah salah satu "saksi bisunya".
Itu yang membuat saya masih mengunggulkannya sebagai masjid favorit, sekalipun seharusnya masjid favorit adalah masjid yang paling rutin dikunjungi. Seperti saat diminta menyebutkan lagu favorit, maka lagu yang disebut kemungkinan besar adalah lagu yang paling sering diputar, bahkan tidak mengenal batas era.
Hanya saja, karena masjid adalah tempat, alias suatu benda besar yang tidak bisa begerak, maka dia hanya bisa merasuk ke dalam ingatan seseorang yang pernah memasukinya. Orang itulah yang akan menjadi pihak aktif dalam "menjaga" masjid itu untuk menjadi favoritnya.
Saya yakin bahwa banyak orang akan cenderung demikian dalam menjadikan benda takbegerak sebagai favoritnya. Walaupun, tidak menutup kemungkinan ada yang sudah mengubah favoritnya karena waktu.