Sejauh-jauh burung terbang berkelana, dia akan kembali pulang ke sarang. Sebanyak-banyaknya dahan yang dihinggapi, burung akan kembali ke liang jerami yang dimiliki.
Dua kalimat itu mengiaskan perjalanan saya ketika seiring berjalannya waktu akan mengalami perpindahan tempat. Ketika sudah berpindah-pindah, maka pengalaman untuk masuk ke masjid atau tempat ibadah menjadi cukup beragam.
Meskipun perpindahan tempat saya belum banyak, tetapi sudah beberapa masjid atau tempat ibadah berbeda telah saya masuki. Tulungagung, Malang, Surabaya, hingga Tuban pernah saya pijak ubin dingin tempat ibadahnya.
Kota yang paling lama saya tempati setelah Tulungagung adalah Malang. Otomatis, beberapa masjid pernah saya masuki.
Ada Masjid Al-Muhajirin yang terletak dekat dengan Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang. Kemudian, ada Masjid Raden Patah yang ada di dalam kawasan Universitas Brawijaya Malang, Masjid Ainul Yaqin UNISMA, Masjid Baabul Jannah, hingga Masjid Istiqomah di Jl Mayjen. Panjaitan.
Sebenarnya masih ada lagi, namun saya sudah lupa dengan lokasi daerahnya, maka saya tidak bisa menemukan namanya. Beberapa masjid tersebut juga punya jejak di dalam ingatan saya.
Seperti Masjid Al-Muhajirin yang pertama kali menjadi tempat saya singgah saat tiba di Malang. Seolah-olah sesuai dengan hakikat makna dari kata 'Muhajirin', yang identik dengan perpindahan.
Kemudian, ada Masjid Raden Patah yang lumayan sering saya kunjungi. Apalagi, masjid ini juga mengalami perubahan bentuk bangunannya menjadi lebih megah dari sebelumnya.
![Masjid Raden Patah. Sumber: via Kanal24.co.id/Sidik](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/04/30/whatsapp-image-2020-03-20-at-9-59-28-am-via-kanal24-co-id-608bf2f8d541df32913e5262.jpeg?t=o&v=770)
![Masjid Ainul Yaqin. Sumber: via Cendananews.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/04/30/dsc03841-masjid-ainul-yaqin-via-cendananews-com-jpg-608bf4388ede4847d12be5f3.jpg?t=o&v=770)
Kemudian, Masjid Istiqomah menurut saya ideal untuk orang-orang yang punya tingkat mobilitas tinggi dan perlu singgah untuk beribadah. Mirip Masjid Muhajirin yang terletak di jalan raya yang padat lalu-lalang kendaraan walaupun dengan ruas jalan tidak luas sekali.
![Masjid Istiqomah. Sumber: via Masjidmalang.wordpress.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/04/30/img-20151202-151635-masjid-istiqomah-via-masjidmalang-wordpress-com-608bf4cdd541df017a757252.jpg?t=o&v=770)
Namun, pada akhirnya saya masih menganggap Masjid Al-Munawwar adalah masjid yang paling favorit, meskipun sudah lama tidak ke sana. Bahkan, ketika berkesempatan pulang kampung, saya lebih memilih berkunjung ke Masjid Al-Muslimun, karena lebih dekat dengan tempat tinggal daripada Masjid Al-Munawwar.
Kalau dulu sewaktu kecil, memang masjid itu sangat dekat. Seperti yang sudah pernah saya ceritakan di artikel ini (klik warna biru).
Sekarang, masjid itu jauh, dan secara fisik sudah kurang ada keinginan untuk menjangkaunya. Tetapi, secara kenangan atau ikatan perasaan, saya masih cukup lekat untuk mengingatnya.
![Masjid Al-Munawwar, masih menjadi masjid favorit saya. Sumber: Dokumentasi Deddy Husein S.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/04/30/masjidalmunawwar-dokumentasi-deddyhuseins-1-608bf7f3d541df7d820270a5.jpeg?t=o&v=770)
Hal semacam itu yang rasanya sulit digantikan dengan pengalaman saya di masa sekarang, meskipun pernah memasuki masjid-masjid yang desain eksterior dan interiornya terasa lebih bagus, maju, atau elegan.
Sebenarnya, Masjid Al-Munawwar sekarang juga terlihat sudah modern. Bahkan, tahun 2014 atau 2015, saat saya masih pernah masuk ke sana, sudah terasa seperti masjid-masjid di Malang.
Tetapi, yang membuat saya senang dan nyaman adalah rekam jejak saya di masa lalu. Masa-masa saya nakal dan peralihan menuju perbaikan moral menurut saya masjid itu adalah salah satu "saksi bisunya".
Itu yang membuat saya masih mengunggulkannya sebagai masjid favorit, sekalipun seharusnya masjid favorit adalah masjid yang paling rutin dikunjungi. Seperti saat diminta menyebutkan lagu favorit, maka lagu yang disebut kemungkinan besar adalah lagu yang paling sering diputar, bahkan tidak mengenal batas era.
Hanya saja, karena masjid adalah tempat, alias suatu benda besar yang tidak bisa begerak, maka dia hanya bisa merasuk ke dalam ingatan seseorang yang pernah memasukinya. Orang itulah yang akan menjadi pihak aktif dalam "menjaga" masjid itu untuk menjadi favoritnya.
Saya yakin bahwa banyak orang akan cenderung demikian dalam menjadikan benda takbegerak sebagai favoritnya. Walaupun, tidak menutup kemungkinan ada yang sudah mengubah favoritnya karena waktu.
Maka dari itu, saya juga ingin mencari tahu, apakah pembaca tulisan ini punya masjid/tempat ibadah favorit, dan apa alasannya?
Silakan tulis di kolom komentar, atau pun menanggapinya secara pribadi ke saya. Terima kasih sudah berkenan membaca.
Malang, 29 April 2021
Deddy Husein S.
Tulisan Sebelumnya: Masih Berjuang Melekatkan Prinsip dengan Al Kafirun
Baca juga:
Mendem Kangen dengan Masjid di Tulungagung
Berwisata Kala Ramadan ke Tulungagung