Pernahkah saya mengalaminya? Tentu saja pernah. Bagaimana saya menyiasatinya? Itu rahasia dapur saya.
Karena, dengan uang sekian rupiah juga belum tentu cukup untuk membeli mi dengan porsi untuk dua-empat hari. Hampir mustahil. Tetapi, syukurlah saya masih bisa melaluinya dan masih bisa menulis untuk menyapa semua orang.
Secara teoritis, saya mengamini pernyataan tentang pengonsumsian mi yang tidak boleh berlebihan. Termasuk dalam hal mengonsumsi mi instan. Tetapi, secara realistis, hal itu masih sulit diterapkan.
Bahkan, bukan hanya dalam kacamata ekonomi. Dalam kacamata budaya dan sosial, mi masih dianggap perlu hadir sekalipun sudah ada makanan lain yang lebih bisa disebut sehat atau normal untuk dikonsumsi sehari-hari.
Misalnya, menu dalam brekat. Di sana pasti ada mi. Itu menunjukkan bahwa mi juga tidak jarang dianggap sebagai teman makan nasi. Bahkan dalam takaran nonekonomi. Bukankah itu lucu?
Itulah yang membuat saya memperdebatkan eksistensi mi. Karena, mi terkadang dianggap sebelah mata. Tetapi, ketika mi bersangkut paut pada nilai-nilai tertentu dan sarat prestis, ia akan dianggap penting dan menarik.
Ambil contoh, ramen, ramyeon, spageti--kalau ini kabarnya lebih bagus daripada mi, dan mi-mi lainnya. Orang-orang yang sebenarnya bisa makan nasi gulai kambing pun akan dengan bangga pamer di akun medsosnya bahwa dirinya sedang menyantap mi-mi tersebut.
Orang lain yang melihat unggahan itu kemudian iri dan ingin. Mereka pun menganggap orang yang sedang makan mi-mi itu adalah orang kaya atau sedang banyak uang.