Sebagai orang yang masih tinggal indekos, alias merantau, mi adalah salah satu makanan yang terkadang menjadi paling enak di momen-momen tertentu. Salah satu momen paling membuat mi terasa lezat adalah 'tanggal tua'.
Nahasnya, tanggal tua, bukan lagi hanya terjadi pada akhir bulan, justru juga bisa terjadi saat awal bulan. Ketika orang lain sedang berlomba mengeluarkan uang berwarna biru dan merah saat awal bulan, saya justru mengeluarkan uang paling besar warna ungu atau ungu-kebiruan, dan paling sering warna coklat muda.
Syukurlah, masih ada yang dikeluarin, daripada tidak sama sekali dan ngutang ke warungnya, kan?
Kalau bisa bayar, tidak masalah. Bagaimana kalau tidak? Malu.
Itulah mengapa, ketika uang yang dikeluarkan sudah berwarna coklat muda dan warna-warna pudar lainnya, saya pasti akan melirik dan mencomot bungkusan plastik berisi mi. Saat seperti inilah, saya menganggap mi adalah penyambung nafas surga dunia saya.
Lebay? Semoga Anda tidak merasakannya, ya! Hehe.
Ketika saya sudah menganggap mi sebagai penolong kantong di dalam perut saya, maka saya menepikan segala macam tulisan yang menyatakan bahwa mi merupakan makanan yang tidak sehat. Tentu, dengan catatan jika dikonsumsi secara berlebihan.
Contohnya, saya mengonsumsi mi instan 3 kali sehari persis seperti mengonsumsi nasi atau makanan yang dianggap pokok dan lebih "normal" di masyarakat sekitar. Itu akan membuat orang lain menganggap saya sudah melakukan pola hidup yang tidak sehat.
"Jangan makan mi mulu, Ded!"
Bayangkan, seandainya seseorang dalam kurun waktu nyaris tiga-empat hari, hanya tinggal memiliki uang 10-20 ribu. Apa yang akan ia makan?
Pernahkah saya mengalaminya? Tentu saja pernah. Bagaimana saya menyiasatinya? Itu rahasia dapur saya.
Karena, dengan uang sekian rupiah juga belum tentu cukup untuk membeli mi dengan porsi untuk dua-empat hari. Hampir mustahil. Tetapi, syukurlah saya masih bisa melaluinya dan masih bisa menulis untuk menyapa semua orang.
Secara teoritis, saya mengamini pernyataan tentang pengonsumsian mi yang tidak boleh berlebihan. Termasuk dalam hal mengonsumsi mi instan. Tetapi, secara realistis, hal itu masih sulit diterapkan.
Bahkan, bukan hanya dalam kacamata ekonomi. Dalam kacamata budaya dan sosial, mi masih dianggap perlu hadir sekalipun sudah ada makanan lain yang lebih bisa disebut sehat atau normal untuk dikonsumsi sehari-hari.
Misalnya, menu dalam brekat. Di sana pasti ada mi. Itu menunjukkan bahwa mi juga tidak jarang dianggap sebagai teman makan nasi. Bahkan dalam takaran nonekonomi. Bukankah itu lucu?
Itulah yang membuat saya memperdebatkan eksistensi mi. Karena, mi terkadang dianggap sebelah mata. Tetapi, ketika mi bersangkut paut pada nilai-nilai tertentu dan sarat prestis, ia akan dianggap penting dan menarik.
Ambil contoh, ramen, ramyeon, spageti--kalau ini kabarnya lebih bagus daripada mi, dan mi-mi lainnya. Orang-orang yang sebenarnya bisa makan nasi gulai kambing pun akan dengan bangga pamer di akun medsosnya bahwa dirinya sedang menyantap mi-mi tersebut.
Orang lain yang melihat unggahan itu kemudian iri dan ingin. Mereka pun menganggap orang yang sedang makan mi-mi itu adalah orang kaya atau sedang banyak uang.
Itulah yang membuat saya juga terheran-heran. Sebenarnya, kita hidup ini kenapa sering dihadapkan pada ketidakpastian terhadap nilai dan fungsi?
Kenapa selalu ada perdebatan kalau itu menyangkut ekonomi dan kesehatan? Mengapa ketika makanan itu bernilai ekonomi rendah langsung disangkut-pautkan dengan nilai kesehatan?
Mengapa makanan yang sebenarnya sama saja tapi terlihat mewah, dianggap sebagai penunjang nilai status sosial dan melupakan nilai kesehatannya?
Atau, ini sebenarnya juga faktor latah? Mentang-mentang orang-orang ganteng dan cantik suka makan mi, kita ingin makan mi. Begitu?
Memangnya, makan mi yang seperti di televisi atau layar digital akan bikin kita akan dipanggil 'mas ganteng' dan 'mbak cantik'?
Menurut saya tidak. Itu seperti ketika kita makan mi di warung kopi rasanya lebih nikmat daripada makan mi bikinan sendiri.
Jadi, kalau ada orang makan mi, sebaiknya tahan mulut dan jempol untuk tidak segera menganggap orang tersebut sedang menuju "gerbang keabadian". Siapa tahu, mereka sedang ingin jadi bintang iklan mi, biar tidak perlu lagi makan mi di luar layar.
Lewat tulisan ini, saya hanya ingin bilang, "Mi itu enak. Biar aku saja yang makan, kalau lagi pengen dan butuh banget. Kalau kamu iri, bilang!"
Deddy Husein S.
Terkait: Bisnis.com, Detik.com, Beautynesia.id, Kompas.com 1, Kompas.com 2, Kompas.com 3, Klikdokter.com, Suara.com, Doktersehat.com.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H