Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Terkadang, Mi Bisa Memicu Debat Kusir

29 Maret 2021   22:17 Diperbarui: 29 Maret 2021   22:43 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sesekali makan mi ayam. Gambar: Dokumentasi Deddy Husein S.

Pernahkah saya mengalaminya? Tentu saja pernah. Bagaimana saya menyiasatinya? Itu rahasia dapur saya.

Karena, dengan uang sekian rupiah juga belum tentu cukup untuk membeli mi dengan porsi untuk dua-empat hari. Hampir mustahil. Tetapi, syukurlah saya masih bisa melaluinya dan masih bisa menulis untuk menyapa semua orang.

Mi kuah dengan telur rasanya sudah nikmat. Gambar: Dokumentasi Deddy Husein S.
Mi kuah dengan telur rasanya sudah nikmat. Gambar: Dokumentasi Deddy Husein S.
Itulah mengapa, ketika ada orang yang mengatakan bahwa makan mi itu tidak sehat dan sebaiknya tidak dikonsumsi berlebihan, apakah orang tersebut punya solusi kepada orang lain yang sedang hanya bisa bergantung pada mi, khususnya saat kritis?

Secara teoritis, saya mengamini pernyataan tentang pengonsumsian mi yang tidak boleh berlebihan. Termasuk dalam hal mengonsumsi mi instan. Tetapi, secara realistis, hal itu masih sulit diterapkan.

Bahkan, bukan hanya dalam kacamata ekonomi. Dalam kacamata budaya dan sosial, mi masih dianggap perlu hadir sekalipun sudah ada makanan lain yang lebih bisa disebut sehat atau normal untuk dikonsumsi sehari-hari.

Misalnya, menu dalam brekat. Di sana pasti ada mi. Itu menunjukkan bahwa mi juga tidak jarang dianggap sebagai teman makan nasi. Bahkan dalam takaran nonekonomi. Bukankah itu lucu?

Penampakan mi bersama nasi brekat. Gambar: Dokumentasi Deddy Husein S.
Penampakan mi bersama nasi brekat. Gambar: Dokumentasi Deddy Husein S.
Kenapa tidak mi itu disingkirkan? Atau, mi itu saja yang menjadi menu pokok dalam brekat menggantikan nasi. Bukankah sama-sama karbohidrat?

Itulah yang membuat saya memperdebatkan eksistensi mi. Karena, mi terkadang dianggap sebelah mata. Tetapi, ketika mi bersangkut paut pada nilai-nilai tertentu dan sarat prestis, ia akan dianggap penting dan menarik.

Ambil contoh, ramen, ramyeon, spageti--kalau ini kabarnya lebih bagus daripada mi, dan mi-mi lainnya. Orang-orang yang sebenarnya bisa makan nasi gulai kambing pun akan dengan bangga pamer di akun medsosnya bahwa dirinya sedang menyantap mi-mi tersebut.

Orang lain yang melihat unggahan itu kemudian iri dan ingin. Mereka pun menganggap orang yang sedang makan mi-mi itu adalah orang kaya atau sedang banyak uang.

Terkadang kalau ingin makan 'mi setan', saya beli mi instan rasa pedas. Gambar: Dokumentasi Deddy Husein S.
Terkadang kalau ingin makan 'mi setan', saya beli mi instan rasa pedas. Gambar: Dokumentasi Deddy Husein S.
Coba bandingkan dengan kaum seperti saya yang mengonsumsi mi instan. Ketika saya mengunggah gambar mi instan rasa 'kuah mineral', pasti akan kena komentar, "mi terooos!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun