Alasannya sederhana, orang lebih suka melihat kebaikan daripada kebenaran. Itu seperti ketika kita menyukai superhero, sekalipun kita tahu bahwa superhero juga tidak beda jauh dengan villain yang menggunakan kekerasan untuk menumpas kejahatan.
Kita menyukai superhero karena yang dijargonkan superhero adalah kebaikan. Berbeda dengan aparat keamanan yang aksinya lebih tekstual, karena mereka berusaha menaati kebenaran yang ada di dalam hukum.
Inilah yang kemudian juga saya tangkap pada kisruh Lorenzo dengan Crutchlow. Jack Miller dan Aleix Espargaro kemudian muncul bagai superhero yang membawa pesan-pesan kebajikan.
Mereka jelas tidak salah. Hanya saja, mereka "mengeroyok" Lorenzo tanpa tahu bagaimana rasanya pernah menjadi pebalap terbaik. Artinya, komentar mereka juga tidak berbeda jauh dengan Lorenzo yang sama-sama menggunakan pola pikir dan pengalamannya sendiri.
Menurut saya, Miller dan Espargaro dapat bersikap baik seperti itu, karena mereka belum pernah berada di posisi Lorenzo. Sebagai orang yang pernah melihat dirinya berhasil melakukan sesuatu, lalu di kemudian hari gagal dan dianggap pecundang.
Saya tidak hanya menaruh simpati kepada Lorenzo, tetapi juga simpati kepada Crutchlow dan semua pebalap. Karena, mereka sampai kapan pun tetaplah sosok-sosok yang jauh lebih hebat daripada saya yang hanya berani memacu motor dalam kecepatan 80 km/jam di Jalibar Kepanjen--jalan bebas hambatan.
Artinya, ketika saya menilai pebalap, maka parameternya bukan diri saya (itu konyol), melainkan sesama pebalap yang menurut saya relevan--gaya balapnya mirip. Itulah mengapa, saya lebih memilih mengapresiasi mereka dalam sudut pandang penonton, bukan pelaku.
Jadi, kalau kemudian ada sosok yang gagap pensiun seperti Lorenzo, saya juga akan menilainya seperti orang lain yang baru saja pensiun yang terkadang gagap untuk hanya menjadi orang biasa di rumah. Itu yang membuat saya berharap, bahwa Lorenzo bisa belajar mengontrol diri dari peristiwa ini.
Salam MotoGP!
Malang, 10 Maret 2021
Deddy Husein S.