Lagi dan lagi, saya menemukan berita tentang Jorge Lorenzo yang beradu komentar di media sosial dengan pebalap MotoGP. Setelah identik berseberangan dengan mantan rekan setimnya di Ducati Team, Andrea Dovizioso, kini Lorenzo berseberangan dengan Cal Crutchlow.
Sejak Lorenzo gagal beradaptasi dengan motor Repsol Honda, ia menjadi pesakitan. Lorenzo kemudian memilih pensiun pada akhir 2019.
Saat itulah, ia mulai seperti kaum pensiunan yang kabarnya sering cemas saat menjadi pengangguran, Lorenzo pun terindikasi demikian. Cukup beruntung, di awal tahun 2020 dia mendapatkan jabatan sebagai pebalap penguji di Yamaha.
Hanya saja, secara takterduga, dunia sedang dilanda pandemi Covid-19. Akibatnya, seluruh tim gagal melakukan pengujian terhadap motor. Bahkan, juga tidak ada 'wild card' untuk pebalap penguji turun ke suatu seri balap.
Itu membuat sumbangsih Lorenzo kepada Yamaha bisa dikatakan tidak ada. Padahal, ia bukan pebalap penguji biasa. Ia adalah juara dunia MotoGP tiga kali.
Tetapi, alih-alih dapat privilese untuk mendesak tim manajemen atau juga kepala tim Yamaha untuk memberi jatah uji coba, Lorenzo cenderung hanya meratapi ketidakpercayaan tim terhadapnya. Ada dua contoh yang dapat melandasi hal tersebut.
Pertama, keberadaan pebalap penguji yang bisa turun di suatu seri. Saya ingat, bahwa pada suatu seri pada musim 2020, Ducati Team menurunkan satu motor lagi untuk dikendarai Michele Pirro.
Artinya, jika Ducati tetap dapat memberikan jatah 'wild card' kepada pebalap pengujinya, mengapa Yamaha tidak? Bahkan, KTM saja menurunkan Mika Kallio, walau Dani Pedrosa urung ambil bagian.
Kedua, pebalap penguji dapat turun menggantikan pebalap utama yang absen. Musim 2020 adalah musim yang berat bagi MotoGP. Jadwal pendek, pebalap rentan cedera, dan pebalap juga bisa absen karena terpapar virus Corona.
Tidak hanya Repsol Honda yang kehilangan Marc Marquez, akibat cedera parah. Yamaha pun sempat ditinggal Valentino Rossi akibat positif Covid-19.
Rossi sempat absen beberapa seri, namun Yamaha membiarkan Maverick Vinales bertarung sendirian membawa panji Yamaha Monster Energy. Bahkan, mereka memilih menurunkan pebalap asal Amerika Serikat, Garrett Gerloff, untuk meminjam motor Rossi, alih-alih Lorenzo.
Apa hasilnya?
Tidak ada. Rossi yang akhirnya kembali membalap setelah motornya dipinjam untuk latihan bebas, malah tersungkur saat balapan. Di mana Lorenzo?
Hasil pengujian sirkuit itu bisa dikatakan takmaksimal, sekalipun motor itu nyatanya bisa mengantarkan Morbidelli sebagai runner-up di akhir musim. Dari sini kemudian, muncul anggapan bahwa Lorenzo sudah tidak cocok membalap lagi.
Itu dapat dilihat dari jarak waktu yang jauh antara catatan waktu Dani Pedrosa dengan Jorge Lorenzo. Padahal, Pedrosa setahun lebih dulu pensiun, dan dirinya juga bukan penyandang juara dunia.
Penilaian terhadap kualitas Lorenzo yang cukup identik mampu memberikan pengaruh pada perkembangan motor saat masih aktif membalap, seketika menguap. Lorenzo seperti sudah bukan Lorenzo yang mampu menaklukkan Marc Marquez di Mugello pada 2016 dan di Austria 2018.
Saat ini, Lorenzo adalah orang yang sudah menikmati masa-masa pensiun dan enggan bersusah-payah memacu adrenalin di lintasan. Artinya, keputusan Yamaha untuk mendepak Lorenzo juga bukan keputusan yang 100% salah.
Yamaha secara rasional memilih Cal Crutchlow sebagai pebalap penguji baru. Alasannya sudah jelas, Crutchlow baru saja mengakhiri musim balap profesionalnya tepat di akhir 2020.
Artinya, secara kebugaran, Crutchlow lebih siap daripada Lorenzo. Ia juga tidak seperti Lorenzo yang baru saja cedera panjang sebelum memutuskan pensiun.
Itu membuat Crutchlow tidak memiliki traumatik. Berbeda dengan Lorenzo yang punya kemungkinan masih trauma dengan cedera yang dia alami sejak akhir musim 2018--pasca insiden jatuh di lap pertama Aragon.
Dari sini, kita bisa memperkirakan skenario terbaik untuk Yamaha, yaitu menggunakan sosok yang lebih tahan banting daripada sosok yang terlihat berkualitas, tapi rapuh. Namun, pemilihan itu membuat Lorenzo seperti galau.
Dia juga semakin terlihat gusar, ketika negosiasinya dengan Aprilia gagal berbuah kesepakatan. Uniknya, Aprilia memilih Lorenzo lainnya, yaitu Lorenzo Savadori sebagai pebalap pengganti Andrea Iannone untuk bertandem dengan Aleix Espargaro.
Kalau boleh jujur, saya sepakat, bahwa Yamaha dan Aprilia sedang tidak memilih yang terbaik. Mereka cenderung memilih yang paling siap. Mengapa?
Secara logika sederhana, setiap motor dapat diketahui kecepatan maksimalnya oleh orang yang berani memacunya sampai ambang batas maksimal. Jika tidak, bagaimana bisa kita tahu batas maksimal kecepatan motor itu?
Perlu diketahui pula, bahwa semakin ke sini batas kecepatan motor terus bertambah. Itu artinya, tidak hanya pebalap utama yang harus mampu membawa motor itu pada kecepatan yang lebih baik dari musim sebelumnya, tetapi juga pebalap penguji.
Maksimal, hanya berbeda 1 detik dari pebalap utama. Menurut saya, itu sudah sangat bagus. Karena, memang tugas pebalap penguji bukan untuk menjadi yang terbaik, tetapi menjadi yang paling mengenal dasar dari kualitas motor tersebut.
Tetapi, kalau sampai kecepatan si pebalap penguji berbeda jauh dengan pebalap utama, maka secara sederhana, kita kehilangan kepercayaan terhadap data yang dikumpulkan si pebalap penguji. Buat apa menengok dasar yang terlalu jauh dari pencapaian si pebalap utama?
Baca Peran Pebalap Penguji Di Sini.
Artinya, pebalap penguji perlu memberikan bukti terbaiknya, sekalipun sudah tidak berada di level terbaiknya. Saya tahu, Lorenzo adalah pebalap yang sangat cepat dan bahkan dia bisa disebut sebagai pebalap yang stabil dalam memacu kecepatan motornya.
Namun, saya juga tahu, bahwa dia sudah mengalami perubahan. Lebih tepatnya adalah penurunan.
Sekalipun, dia sempat terlihat bangkit di musim keduanya bersama Ducati, ia tetap saja harus menerima kenyataan terhadap apa yang dia raih bersama Repsol Honda. Inilah titik akhir Lorenzo yang terbaik dan titik awal Lorenzo yang biasa saja.
Maka dari itu, rasanya lucu, kalau kita terus diajak menengok fakta keberhasilan Lorenzo di masa lalu. Itu sudah tidak relevan.
Memang, apa yang dikatakan Lorenzo tentang Cal Crutchlow menurut saya benar. Sepanjang saya menonton MotoGP, saya lebih sering melihat Crutchlow jatuh daripada dia finis.
Tetapi, itu bukan tanpa alasan. Crutchlow bisa membalap seperti itu karena dia bukan Lorenzo, bahkan juga bukan Pedrosa.
Crutchlow adalah Crutchlow, pebalap yang tahu bahwa konsep sederhana sebagai pebalap adalah memacu motornya lebih kencang dari pebalap lain. Menurut saya, Crutchlow bukan pebalap yang perhitungan seperti Rossi, Marquez, apalagi Lorenzo yang sudah memilih tidak sembrono dalam memacu motornya.
Semua pebalap itu sebenarnya seperti Crutchlow, yaitu berusaha mendorong habis-habisan motornya. Itulah mengapa, Crutchlow sulit untuk memenangkan balapan. Kebetulan juga, motor yang ditungganginya memang lebih cocok dibawa dengan cara demikian.
Seandainya Crutchlow tidak membalap seperti sedang "diburu polisi", motor Honda jauh di belakang. Kita bisa melihat pada awal musimnya Alex Marquez (2020). Atau, pada Lorenzo sendiri. Ia sangat kesulitan, karena dia tidak membawa motornya dengan agresif.
Keagresifan itu tidak lepas dari kepercayaan diri. Marc Marquez bisa menjadi yang terdepan dengan Honda, karena dia percaya diri. Ini yang kemudian memuluskan gaya membalapnya yang agresif. Bahkan, sampai diberi bukti dampak dari gaya membalapnya--kecelakaan parah.
Tetapi, kembali lagi pada prinsip dasar membalap tadi, bahwa menjadi pebalap memang seharusnya selalu berusaha melampaui kecepatan motor yang lain. Tidak ada pemenang yang hanya bermain aman dan menunggu pebalap lain yang ada di depannya jatuh.
Itulah mengapa, ketika Lorenzo mengatakan bahwa Yamaha telah memilih pebalap yang sering jatuh, itu adalah komentar yang tidak baik. Sekalipun memang ada faktanya, alias benar, tetapi itu tidak baik untuk diungkapkan.
Apalagi, dia adalah figur publik, yang punya potensi dapat menginspirasi banyak orang. Maka, sebaiknya juga perlu mengerem hasratnya dalam menilai orang lain yang mana juga merupakan rekan seprofesinya.
Memang, saya juga tahu, bahwa Lorenzo bukan orang yang berusaha membuat pencitraan. Dia ekspresif, sekalipun sering dianggap tidak seramah Rossi. Tetapi, apa yang ia lakukan di media sosial membuat orang lain justru menganggap dia salah.
Alasannya sederhana, orang lebih suka melihat kebaikan daripada kebenaran. Itu seperti ketika kita menyukai superhero, sekalipun kita tahu bahwa superhero juga tidak beda jauh dengan villain yang menggunakan kekerasan untuk menumpas kejahatan.
Kita menyukai superhero karena yang dijargonkan superhero adalah kebaikan. Berbeda dengan aparat keamanan yang aksinya lebih tekstual, karena mereka berusaha menaati kebenaran yang ada di dalam hukum.
Inilah yang kemudian juga saya tangkap pada kisruh Lorenzo dengan Crutchlow. Jack Miller dan Aleix Espargaro kemudian muncul bagai superhero yang membawa pesan-pesan kebajikan.
Mereka jelas tidak salah. Hanya saja, mereka "mengeroyok" Lorenzo tanpa tahu bagaimana rasanya pernah menjadi pebalap terbaik. Artinya, komentar mereka juga tidak berbeda jauh dengan Lorenzo yang sama-sama menggunakan pola pikir dan pengalamannya sendiri.
Menurut saya, Miller dan Espargaro dapat bersikap baik seperti itu, karena mereka belum pernah berada di posisi Lorenzo. Sebagai orang yang pernah melihat dirinya berhasil melakukan sesuatu, lalu di kemudian hari gagal dan dianggap pecundang.
Saya tidak hanya menaruh simpati kepada Lorenzo, tetapi juga simpati kepada Crutchlow dan semua pebalap. Karena, mereka sampai kapan pun tetaplah sosok-sosok yang jauh lebih hebat daripada saya yang hanya berani memacu motor dalam kecepatan 80 km/jam di Jalibar Kepanjen--jalan bebas hambatan.
Artinya, ketika saya menilai pebalap, maka parameternya bukan diri saya (itu konyol), melainkan sesama pebalap yang menurut saya relevan--gaya balapnya mirip. Itulah mengapa, saya lebih memilih mengapresiasi mereka dalam sudut pandang penonton, bukan pelaku.
Jadi, kalau kemudian ada sosok yang gagap pensiun seperti Lorenzo, saya juga akan menilainya seperti orang lain yang baru saja pensiun yang terkadang gagap untuk hanya menjadi orang biasa di rumah. Itu yang membuat saya berharap, bahwa Lorenzo bisa belajar mengontrol diri dari peristiwa ini.
Salam MotoGP!
Malang, 10 Maret 2021
Deddy Husein S.
Terkait: Kompas.com 1, Akurat.co, Liputan6.com, Detik.com 1, CNNIndonesia.com, Bola.net, Kompas.com 2, Detik.com 2.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H