Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Namaku bukan Namamu, Namamu bukan Namaku

19 Februari 2021   19:24 Diperbarui: 19 Februari 2021   20:05 942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Formasi 10 nama paling banyak digunakan di Indonesia. Gambar: diolah dari Nakita.grid.id

Membuat judul ini saya jadi membayangkan meme tentang judul sinetron di salah satu tivi nasional yang dikenal punya judul sinetron unik. Tetapi, saya membayangkan kisah untuk tulisan ini dari pengalaman saya saat SMP.

Saat itu, saya masih kelas VII, dan baru tahu kalau ada kakak tingkat yang namanya memiliki lafal sama, De-di. Saya kurang ingat, apakah namanya Deddy, Dedy, atau Dedi.

Yang pasti, saya ingat nama belakangnya yang diawali huruf S. Saya sengaja tidak menyebut secara vulgar nama aslinya.

Berhubung selama SD saya belum pernah menemukan nama yang menyerupai nama saya, saya menjadi "demam panggung". Saya pun menceletuk, "Ih, namamu mirip denganku. Niru nih!"

Dia pun membalas dengan telak, "Aku lebih tua darimu (sambil menyebut angka tahun kelahirannya)."

Karena, dia menyebut angka tahun kelahirannya, saya pun terbungkam. Mungkin juga karena, baru kali ini saya beradu argumen dengan orang yang tahun kelahirannya satu tahun di atas saya. Walau, saya juga tidak mencari bukti di KTP-nya (kartu tanda pelajar).

Biasanya, saya kalau melihat kakak tingkat satu setrip di atas saya, angka tahun kelahirannya sama. Itu karena saya masuk kelas 1 SD tepat saat saya umur 7 tahun. Sedangkan, teman sekelas saya rata-rata umur 6 tahun. Curang? Entah.

Akibat pengalaman kocak itu, saya mulai belajar untuk 'stay cool' kalau ada orang bernama sama. Sebelumnya, saya norak karena saya pikir yang punya nama Deddy sangat langka.

Apalagi, kalau merujuk pada inspirasinya, saya diberi nama Deddy karena ibu terinspirasi oleh Deddy Dukun. Walau, kemudian yang paling familiar di mata saya adalah Deddy Mizwar.

Ini juga saya tidak mau menilik langsung ke KTP beliau. Tapi yang pasti, saya lebih akrab dengan nama Deddy karena Deddy Corbuzier.

Saat masih sekolah, saya bisa dikatakan bangga punya nama Deddy karena ada role model-nya. Selain itu, ketika berkenalan dengan teman baru namanya pasti bukan Deddy.

Beda kalau misalnya saya punya nama Irfan, pasti potensi saya bertemu dengan nama Irfan lebih besar. Apalagi Bambang. Banyak. Bahkan, bisa beregenerasi namanya.

Namun, seiring berjalannya waktu saya mulai berada di fase yang labil. Antara over-proud terhadap nama, dan keberatan dalam mengusung nama Deddy, yang biasanya dipelesetin jadi kata ganti 'ayah' (daddy).

Artinya, saya menelaah nama Deddy itu berat. Selain ada role model-nya, secara pelafalan juga mirip dengan lambang kebijaksanaan, yaitu ayah. Berarti, saya harus (bersikap) dewasa sesuai nama saya.

Ilustrasi bocah bersikap dewasa. Gambar: Pexels/Victoria Borodinova
Ilustrasi bocah bersikap dewasa. Gambar: Pexels/Victoria Borodinova
Akibat penelaahan itu, saya pernah terjatuh ke lubang yang buruk. Itu menjadi pelajaran saya agar tidak terlalu kebablasan dalam membangun interaksi di luar rumah.

Beruntung, saya punya kesempatan untuk bangkit. Pola hidup yang kemudian saya perbaiki, dan membuat saya setidaknya lebih terkontrol sebelum terperosok lebih dalam.

Setelah itu, saya punya waktu untuk menjadi diri sendiri. Menjadi Deddy yang kalaupun nakal, nakalnya karena memang sifat saya, bukan karena saya ingin menonjolkan nama saya untuk dikenal orang lain.

Saat itu, saya berpikir kalau saya bertingkah, orang lain akan memperhatikan, daripada saya hanya diam saja. Menurut "hukum di kelas", anak pintar dan anak nakal selalu diperhatikan gurunya.

Berhubung saya tidak merasa pintar, maka saya memilih jalur kedua, yaitu menjadi anak nakal. Namun, kenakalan itu juga bisa tidak terkontrol.

Saya baru bisa mengontrol atau menganggap kenakalan saya "ideal" adalah saat SMA. Walau masih di bawah tingkatan yang paling nakal, saya juga tidak di dekat tingkatan atas murid baik.

Saya cenderung masih tanggung, dan menurut saya itu ideal. Walau terkadang kurang puas juga.

Sekali lagi, ini masih berkaitan dengan nama. Bahkan, ini masih tentang nama depan. Belum nama kedua dan nama ketiga saya.

Saat itu, saya belum terlalu menyelami karakter orang berdasarkan Zodiak Tahun Kelahiran (Shio) dan Zodiak Bulan Kelahiran (Horoscope). Sekalipun saya sering menilik kolom zodiak saat membaca majalah dan koran, saya masih kurang banyak mencocokkan antara apa yang tertulis di situ dengan apa yang saya amati terkait orang-orang di sekitar saya.

Termasuk tentang karakter saya. Saya masih fokus dengan membangun jati diri lewat label nama. Bahkan, termasuk nama orang tua.

Kalau anak bertingkah, entah positif atau negatif, pasti nama orang tuanya akan disebut, kan? Misal, "Itu anak si Deddy (saya) nakal banget, persis bapaknya".

Eh, saya berharap anak saya pintar, baik, dan lucu. Tapi, kalau pernah nakal, tidak apa-apa, daripada pernah baik.

Lewat pemahaman itu, saya kemudian berusaha menjaga sikap. Ini bukan hanya tentang nama saya, tapi juga nama orang tua.

Ketika saya mulai hidup merantau, saya mulai memasuki fase membawa nama sendiri secara mutlak. Jika dulu, saya bertingkah akan dikaitkan dengan orang tua saya, maka sekarang saya hanya mengusung nama sendiri.

Apakah itu berarti saya semakin bebas?

Bisa iya, bisa tidak.

Iya, kalau saya adalah "burung kemarin sore" yang baru keluar dari sangkar. Tapi, apabila saya sudah pernah keluar dari sangkar dan lama di luar, maka saya akan berkata tidak.

Hidup merantau bukan berarti sepenuhnya bebas. Melainkan belajar bertanggung jawab, walau sulitnya minta ampun.

Tapi, lewat fase itulah, saya mulai bisa mengemas nama saya sesuai dengan jati diri sendiri. Saya tidak lagi perlu mendompleng kebanggaan dengan melihat atau mengajak teman saya menonton siniar (podcast) Deddy Corbuzier, juga tidak merasa bahwa kehebatan orang bernama Deddy adalah gambaran saya saat ini atau masa depan.

Gambaran saya saat ini dan masa depan murni adalah milik saya. Saya juga punya nama Deddy. Asli tercatat di akta kelahiran tanpa "revisi" dan tanpa mencari nama panggung.

Bahkan, kalau saya menjadi sosok yang gagal pun itu bukan untuk membuat nama Deddy lainnya akan merasa terhina. Karena, yang bertanggung jawab atas kegagalan saya adalah saya, bukan orang lain yang punya nama sama.

Ilustrasi nama. Gambar: Pexels/Heiner
Ilustrasi nama. Gambar: Pexels/Heiner
Uniknya, setelah lama mengenang kisah masa SMP itu, saya kemudian dikejutkan dengan keberadaan nama 'Deddy Husein S', yang ternyata ada dan tercatat di kolom ISBN iPusnas sebagai penulis sebuah buku, bukan editor--kalau itu saya. Sampai saat ini, saya belum menemukan jejak penulisnya, termasuk rupa bukunya.

Namun, saya sukses dibuat terheran-heran. Karena, ternyata ada nama yang nyaris identik dengan nama yang sering saya sematkan di akhir tiap tulisan saya di Kompasiana.

Akibat kesamaan itu, saya mencoba membuat pijakan kokoh, bahwa saya juga pengguna nama Deddy Husein S. Sekalipun, mungkin nama S pada orang tersebut dan saya berbeda.

Kalau S-nya sama, yaitu Suryanto. Makin lucu, dan sulit membayangkan bagaimana saya bisa melihat nama milik orang lain yang 100% identik.

Kalau saya membaca nama Husein, sudah biasa. Apalagi membaca nama Deddy, sangat biasa.

Namun, suatu waktu saya sempat terkejut ketika membaca nama Suryanto. Ternyata, ada juga yang punya nama Suryanto, bahkan di Kompasiana banyak.

Hanya saja, seperti yang saya sematkan di judul, bahwa nama saya adalah nama saya, bukan nama Anda. Begitu juga sebaliknya.

Saya punya hak dan kewajiban "menghidupkan" nama saya sendiri. Dan, orang lain yang kebetulan namanya sama juga punya hak untuk "menghidupkan" namanya sendiri.

Kalau kemudian ada kontroversi atau prestasi, itu juga milik masing-masing. Bukan milik sesama nama tersebut.

Sekalipun, saya tahu bahwa nama depan saya mirip dengan figur publik, saya tidak punya tanggung jawab untuk menyelamatkan nama figur publik tersebut. Karena figur publik tersebut juga pasti sudah tahu diri.

Begitu pun dengan saya. Saya tahu bahwa dengan nama Deddy, Husein, dan Suryanto, saya adalah saya, bukan orang lain.

Kalau kemudian ada nama panggilan di buku pelajaran yang menyerupai nama saya, seperti Pak Deddy, Pak Husein, Pak Surya, atau Pak Yanto, itu bukan berarti nama saya yang dicantumkan di buku pelajaran atau sejenisnya. Itu adalah nama milik tokoh yang menjadi ilustrasi di dalam buku pelajaran tersebut. Bukan saya.

Kecuali, kalau tiba-tiba saya dihubungi seorang penulis atau redaktur yang meminta izin menggunakan nama saya, apalagi nama lengkap. Maka, saya baru menganggap nama itu adalah nama saya.

Tetapi, apakah pembaca tulisan itu akan menganggap itu nama saya? Bagaimana kalau mereka menganggap itu adalah Deddy Husein Suryanto yang lain?

Sebenarnya, mencantumkan nama yang 100% identik dengan sosok yang asli di dalam buku pelajaran atau sejenisnya, jarang terjadi. Khususnya di Indonesia yang masih banyak stok nama.

Bahkan, sekalipun ada kesamaan di nama milik pribadi, biasanya akan dibedakan dengan nama marga (fam). Begitu juga kalau nama marganya sama, tapi nama depannya rata-rata berbeda.

Misal, Joko Anwar dan Joko Pinurbo. Atau, Valentino Simanjuntak dan Riko Simanjuntak.

Selain itu, nama rekaan di dalam buku pelajaran dan sejenisnya biasanya hanya menggunakan nama panggilan. Jarang ada yang sampai menggunakan nama detail, kecuali pembuatan naskah cerpen atau novel.

Itu pun masih bisa dihindari. Toh, terkadang pembacanya lebih fokus dengan jalan cerita, daripada silsilah nama.

Jadi, kalau misalnya menemukan nama panggilan sendiri atau orang yang dikenal ada di buku pelajaran, jangan norak. Kalau yang norak anak sekolah masih bisa dimaklumi, karena saya dulu juga begitu.

Tapi, kalau yang norak adalah orang yang usianya sudah dewasa itu mengenaskan. Lebih baik piknik, atau minimal ngopi dengan teman biar kepala tidak pusing hingga mau menyaingi level kenorakan saya di masa SMP. Tolong!

Malang, 17 Februari 2021
Deddy Husein S.

Terkait: Nakita

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun