Beda kalau misalnya saya punya nama Irfan, pasti potensi saya bertemu dengan nama Irfan lebih besar. Apalagi Bambang. Banyak. Bahkan, bisa beregenerasi namanya.
Namun, seiring berjalannya waktu saya mulai berada di fase yang labil. Antara over-proud terhadap nama, dan keberatan dalam mengusung nama Deddy, yang biasanya dipelesetin jadi kata ganti 'ayah' (daddy).
Artinya, saya menelaah nama Deddy itu berat. Selain ada role model-nya, secara pelafalan juga mirip dengan lambang kebijaksanaan, yaitu ayah. Berarti, saya harus (bersikap) dewasa sesuai nama saya.
Beruntung, saya punya kesempatan untuk bangkit. Pola hidup yang kemudian saya perbaiki, dan membuat saya setidaknya lebih terkontrol sebelum terperosok lebih dalam.
Setelah itu, saya punya waktu untuk menjadi diri sendiri. Menjadi Deddy yang kalaupun nakal, nakalnya karena memang sifat saya, bukan karena saya ingin menonjolkan nama saya untuk dikenal orang lain.
Saat itu, saya berpikir kalau saya bertingkah, orang lain akan memperhatikan, daripada saya hanya diam saja. Menurut "hukum di kelas", anak pintar dan anak nakal selalu diperhatikan gurunya.
Berhubung saya tidak merasa pintar, maka saya memilih jalur kedua, yaitu menjadi anak nakal. Namun, kenakalan itu juga bisa tidak terkontrol.
Saya baru bisa mengontrol atau menganggap kenakalan saya "ideal" adalah saat SMA. Walau masih di bawah tingkatan yang paling nakal, saya juga tidak di dekat tingkatan atas murid baik.
Saya cenderung masih tanggung, dan menurut saya itu ideal. Walau terkadang kurang puas juga.
Sekali lagi, ini masih berkaitan dengan nama. Bahkan, ini masih tentang nama depan. Belum nama kedua dan nama ketiga saya.