Sekalipun, saya tahu bahwa nama depan saya mirip dengan figur publik, saya tidak punya tanggung jawab untuk menyelamatkan nama figur publik tersebut. Karena figur publik tersebut juga pasti sudah tahu diri.
Begitu pun dengan saya. Saya tahu bahwa dengan nama Deddy, Husein, dan Suryanto, saya adalah saya, bukan orang lain.
Kalau kemudian ada nama panggilan di buku pelajaran yang menyerupai nama saya, seperti Pak Deddy, Pak Husein, Pak Surya, atau Pak Yanto, itu bukan berarti nama saya yang dicantumkan di buku pelajaran atau sejenisnya. Itu adalah nama milik tokoh yang menjadi ilustrasi di dalam buku pelajaran tersebut. Bukan saya.
Kecuali, kalau tiba-tiba saya dihubungi seorang penulis atau redaktur yang meminta izin menggunakan nama saya, apalagi nama lengkap. Maka, saya baru menganggap nama itu adalah nama saya.
Tetapi, apakah pembaca tulisan itu akan menganggap itu nama saya? Bagaimana kalau mereka menganggap itu adalah Deddy Husein Suryanto yang lain?
Sebenarnya, mencantumkan nama yang 100% identik dengan sosok yang asli di dalam buku pelajaran atau sejenisnya, jarang terjadi. Khususnya di Indonesia yang masih banyak stok nama.
Bahkan, sekalipun ada kesamaan di nama milik pribadi, biasanya akan dibedakan dengan nama marga (fam). Begitu juga kalau nama marganya sama, tapi nama depannya rata-rata berbeda.
Misal, Joko Anwar dan Joko Pinurbo. Atau, Valentino Simanjuntak dan Riko Simanjuntak.
Selain itu, nama rekaan di dalam buku pelajaran dan sejenisnya biasanya hanya menggunakan nama panggilan. Jarang ada yang sampai menggunakan nama detail, kecuali pembuatan naskah cerpen atau novel.
Itu pun masih bisa dihindari. Toh, terkadang pembacanya lebih fokus dengan jalan cerita, daripada silsilah nama.
Jadi, kalau misalnya menemukan nama panggilan sendiri atau orang yang dikenal ada di buku pelajaran, jangan norak. Kalau yang norak anak sekolah masih bisa dimaklumi, karena saya dulu juga begitu.