Saat itu, saya belum terlalu menyelami karakter orang berdasarkan Zodiak Tahun Kelahiran (Shio) dan Zodiak Bulan Kelahiran (Horoscope). Sekalipun saya sering menilik kolom zodiak saat membaca majalah dan koran, saya masih kurang banyak mencocokkan antara apa yang tertulis di situ dengan apa yang saya amati terkait orang-orang di sekitar saya.
Termasuk tentang karakter saya. Saya masih fokus dengan membangun jati diri lewat label nama. Bahkan, termasuk nama orang tua.
Kalau anak bertingkah, entah positif atau negatif, pasti nama orang tuanya akan disebut, kan? Misal, "Itu anak si Deddy (saya) nakal banget, persis bapaknya".
Eh, saya berharap anak saya pintar, baik, dan lucu. Tapi, kalau pernah nakal, tidak apa-apa, daripada pernah baik.
Lewat pemahaman itu, saya kemudian berusaha menjaga sikap. Ini bukan hanya tentang nama saya, tapi juga nama orang tua.
Ketika saya mulai hidup merantau, saya mulai memasuki fase membawa nama sendiri secara mutlak. Jika dulu, saya bertingkah akan dikaitkan dengan orang tua saya, maka sekarang saya hanya mengusung nama sendiri.
Apakah itu berarti saya semakin bebas?
Bisa iya, bisa tidak.
Iya, kalau saya adalah "burung kemarin sore" yang baru keluar dari sangkar. Tapi, apabila saya sudah pernah keluar dari sangkar dan lama di luar, maka saya akan berkata tidak.
Hidup merantau bukan berarti sepenuhnya bebas. Melainkan belajar bertanggung jawab, walau sulitnya minta ampun.
Tapi, lewat fase itulah, saya mulai bisa mengemas nama saya sesuai dengan jati diri sendiri. Saya tidak lagi perlu mendompleng kebanggaan dengan melihat atau mengajak teman saya menonton siniar (podcast) Deddy Corbuzier, juga tidak merasa bahwa kehebatan orang bernama Deddy adalah gambaran saya saat ini atau masa depan.