Saat itu, saya malah sepertinya dapat dua bungkus beras, selain buah dan jajanan. Kata orang yang memberi, itu karena ada jatah lain yang sudah habis. Entah apa, mungkin angpao?
Saya sudah tidak ingat apakah waktu itu saya dapat angpao atau tidak. Saya hanya mengingat momen membawa hasil mencari "rezeki kaget" itu yang aduhai berat.
Menjinjing beras yang bobotnya antara 6/10 kg dengan beberapa isi lainnya, dan ditambah tinggi saya yang belum ideal. Lalu, harus berjalan sekitar 100 meter. Berat, walau tidak seberat rindu yang ditanggung Dilan.
Bukan karena saya menganggap rezeki dari orang Tionghoa haram seperti yang pernah saya dengar dan baca "kabar burungnya". Tetapi, karena saya kadang merasa mungkin ada yang lebih tepat untuk menerima itu.
Sekalipun saya belum mentas-mentas banget dalam segi ekonomi, kadang saya menganggap saya belum layak dibantu. Entah dengan persyaratannya, atau juga karena saya malas untuk mengharap sesuatu yang bisa saja tidak kesampaian.
Namanya juga "rezeki kaget", kadang datangnya tidak sesuai harapan. Atau, di luar dugaan.
Misalnya, ketika saya menduga tidak akan dapat, malah dapat. Sebaliknya, kalau saya menduga akan dapat, malah tidak dapat.
Pemikiran itu yang seringkali membuat saya urung datang ke acara-acara bagi-bagi rezeki. Termasuk Imlek.
Namun, saya sangat senang pernah merasakan rezeki dari Imlek. Seperti ketika saya dapat banyak rezeki dari perayaan hari raya lainnya.
Saya juga beruntung berada di Indonesia yang sekalipun ada saja praktik primordial secara gerilya/implisit. Namun, selalu ada juga momen-momen yang mewujudkan toleransi besar antarumat manusia.