Meski demikian, mereka punya syarat untuk membuat Papu tidak menyeberang ke klub rival, seperti AC Milan dan Inter Milan. Seandainya, dia berseragam Inter mungkin dia akan merasa masih bermain di Atalanta. Hehe.
Kini, Papu resmi berseragam "putih" Sevilla. Dia ditebus dengan hanya 8,5 juta Euro dan memperoleh kontrak 3,5 tahun.
Faktor harga murah bukan hanya karena usia Papu yang sudah 32 tahun, melainkan karena pihak Atalanta ingin segera memisahkan Papu dengan Gasperini. Mengapa?
Karena, dengan masih adanya konflik internal, maka konsentrasi klub akan terpecah dan dapat berlarut-larut. Ini seperti Arsenal dengan Mesut Ozil, yang sempat membuat adanya dua kubu. Satu kubu pro Ozil, satu kubu pro Arteta.
Situasi semacam itu tentu mengganggu konsentrasi pemain di lapangan. Termasuk sang pelatih yang harus terganggu dengan sentimentil dalam urusan meracik strategi.
Akhirnya, keputusan Atalanta melepas Papu adalah tindakan tepat. Sekalipun, Papu adalah pemain penting di Atalanta, mereka berani bermain tanpa Papu.
Para pemain pun terlihat tetap menghormati Gasperini, karena mereka masih percaya dengannya dan karena pihak petinggi klub juga cepat mengambil keputusan.
Berdasarkan pengalaman Atalanta ini, saya berpikir bahwa semua klub juga bisa belajar dari Atalanta. Berani melepas ketergantungan pada sosok penting dan berani menentukan keberpihakan pada salah satu kubu yang dinilai lebih tepat untuk dipertahankan.
Ini seperti ketika Manchester United sedang menghadapi konflik internal antara Jose Mourinho dengan Paul Pogba. Perbedaannya, Man. United memilih Paul Pogba, bukan Mourinho.
Walaupun, saya juga tidak tahu bagaimana nasib Man. United jika mereka memilih keputusan yang berbeda. Karena, setiap keputusan pasti ada konsekuensinya masing-masing.