Meski demikian, jika saya berada di dalam lingkup Atalanta, saya juga akan memilih pro Gasperini. Alasannya, Atalanta bisa seperti saat ini sebagian besar karena Gasperini.
Sekalipun Papu adalah kapten, dia bukan pihak yang akan selalu siap bermain dengan siapa saja dan dengan strategi apa saja. Berbeda dengan Gasperini. Dia pasti sudah siap dengan pemain yang diincar dan yang dimainkan.
Gasperini pasti melakukan riset lebih dalam, daripada Papu yang akan lebih fokus ke eksekusi taktik. Dan di sisi lain, mengeksekusi taktik di lapangan tidak hanya menjadi beban Papu, melainkan juga semua pemain Atalanta yang ada di lapangan.
Bahkan, sosok super-sub seperti Luis Muriel juga memiliki beban menjalankan taktik Gasperini walau sering bermain di babak kedua. Artinya, keberadaan pelatih yang sudah tepat bagi sebuah klub sebaiknya dipertahankan, alih-alih memilih pemain yang belum tentu dia dapat menyetel dengan pelatih baru.
Lalu, bagaimana dengan Antonio Conte dan Christian Eriksen? Atau, bagaimana dengan PSG dan Thomas Tuchel?
Ah, itu cerita lain. Mungkin, nanti akan saya tulis juga tentang itu.
Inti dari tulisan ini adalah dalam menentukan keputusan, sebaiknya memilih "variabel" yang paling kuat. Khusus dalam urusan sepak bola, menurut saya sosok pelatih adalah pihak paling kuat. Seburuk-buruknya pelatih, ia pasti sudah siap untuk membuat langkah terlebih dahulu daripada pemainnya.
Itulah mengapa, saya salut dengan Atalanta yang berani memilih Gasperini daripada Papu, walaupun sebagai penonton saya tentu ingin melihat Papu tetap di Atalanta. Tetapi, jika melihat performa Atalanta di perempat final Coppa Italia (27/1), saya yakin bahwa keputusan Atalanta benar.
Kalaupun kemudian, Atalanta tidak mencapai posisi 4 besar di liga seperti musim sebelumnya, saya pikir itu adalah konsekuensi dari ketiadaan Papu. Dan, seharusnya Atalanta mampu menempatkan pemain di posisi yang ditinggalkan Papu.
Papu bisa sehebat sekarang juga karena proses. Maka, pemain yang mengisi posisi Papu juga bisa menjadi hebat karena proses.