Biasanya kalau berjalan dan dari arah berlawanan ada orang berjalan pasti ada upaya sedikit melihat orang tersebut, apakah dikenal atau tidak. Sesederhana itu.
Namun, saya tidak menampik bahwa kepala saya tidak diam ketika menangkap hal-hal baru yang diambil oleh mata. Ketika saya melihat WNA, pikiran saya otomatis menebak-nebak asalnya. "Dari mana dia?"
Soal mengapa saya tidak menegurnya atau malah mengajak berswafoto, itu jelas tidak mungkin. Karena, saya menganggap mereka tidak ada keperluan dengan saya. Saya pun jarang mengajak berswafoto bahkan dengan teman, apalagi dengan orang yang belum saya kenal. Buat apa?
Tetapi, saya tidak memungkiri bahwa ketika ada WNA, ada suatu pemandangan yang unik dan sulit dijelaskan dengan pasti, yaitu gumun. Kegumunan menurut saya kadang seperti orang yang sedang jatuh cinta, tidak bisa dijelaskan dengan gamblang mengapa seseorang bisa jatuh cinta.
Menurut saya orang gumun juga begitu. Mereka kalau ditanya mengapa memandang sesuatu yang baru dilihat atau terlihat berbeda, pasti susah menjelaskan. Itulah yang membuat saya tidak sekonyong-konyong menginterogasi orang-orang yang saya tangkap mata sedang gumun dengan keberadaan WNA.
Omong-omong, WNA yang saya gambarkan di sini tidak terikat ras, alias warna kulit. WNA berkulit putih dan hitam, sama-sama menciptakan kegumunan.
Selain momen gumun, saya juga memiliki pengalaman terkait konteks 'murah senyum'. Saat itu, saya melihat WNA perempuan muda yang saya duga juga seorang pelajar sedang berjalan berlawanan arah dengan saya. Momen itu terjadi lama sekali, tetapi masih saya ingat sampai sekarang. Mengapa?
Karena, saya tidak membalas senyumnya. Bener!
Sejak itu, saya sering memikirkan apakah saya adalah gambaran orang Indonesia yang salah, karena tidak mudah tersenyum kepada WNA. Konon, kata orang-orang WNA yang pernah ke Indonesia, penduduk di sini terkenal ramah dan murah senyum.
Tetapi, kata teman saya, itu bukan kesalahan. Itu justru bukti kalau masing-masing orang punya karakter berbeda.