Mereka baru terkejut saat filmnya sudah jadi. Ternyata, sedemikian beratnya isi di dalam film animasi yang mereka buat.
Artinya, gelombang emosi tidak sepenuhnya tersebar ke tim kreatif. Tetapi, itu malah bagus untuk membuat tim kreatif fokus pada sisi teknisnya, bukan pada sisi nonteknis seperti yang dirasakan penonton--termasuk saya.
Saya pun mendapatkan kesempatan bertanya setelah ada partisipan lain bertanya melalui forum obrolan. Pertanyaan saya tidak jauh-jauh dari konsekuensi dari penggarapan film ini.
Ternyata, saya melihat Mbak Chonie sangat percaya diri dan yakin dengan karyanya. Dia pun sangat optimis dengan konsekuensi yang dia terima dengan catatan bahwa setiap apresiasi itu datang juga dengan proses diskusi. Itu akan lebih baik daripada hanya sekadar menilai--suka atau tidak suka.
Saya sangat mengapresiasi tanggapan itu, karena saya juga berharap karya ini bisa menembus tebalnya dinding-dinding konservatif yang telanjur mengitari kehidupan masyarakat kita. Itu juga tersampaikan dengan sangat estetik lewat lagu-lagu pengiring di film KOSONG yang diciptakan Nada Bicara.
Salah satu lagu yang rupanya sangat tepat untuk mengiringi akhir film ini adalah "Sudah Usang". Lagu itu menurut saya suatu sentilan keras yang tepat untuk masyarakat yang sulit lepas dari pikiran yang konservatif dan patriarki.
Hidup itu akan damai kalau kita bisa memaknai kehadiran kita dengan baik. Salah satunya dengan melihat perempuan tetap seutuhnya perempuan tanpa harus berpangku pada "aksesorisnya"; anak.
Melahirkan anak memang membuat perempuan terlihat sempurna, alias mengikuti kodratnya. Tetapi, perempuan seharusnya tetaplah perempuan walau tidak melahirkan anak.
Karena, di balik sebuah akibat pasti ada sebabnya. Di situlah kita seharusnya mencari tahu, bukan hanya memperdebatkan apa yang terlihat (akibatnya).
Jadi, masihkah kita memperdebatkan kesempurnaan perempuan hanya karena faktor melahirkan anak?