Artinya, sudah jelas bahwa setiap hari saya mencium aneka makanan laut yang digoreng, ditumis, atau dijadikan menu ikan kuah kuning. Duh, pengen!
Walaupun saya masih kecil yang artinya masih belum sebandel saat ini, tetap saja ibu saya tahu kalau saya pasti punya keinginan untuk mencicipi makanan yang dicicipi oleh semua orang di rumah. Itulah yang membuat ibu saya membuatkan alternatif yang tidak kalah enaknya dengan makanan laut itu, yaitu abon daging sapi.
Setiap hari selalu menunya itu. Bosan? Pasti. Tetapi, berhubung saya merasa itu paling enak dibandingkan tempe-tahu, maka saya pun tetap lahap dengan menu nasi abon.
Sebenarnya, saya juga suka dan sering mengonsumsi tempe-tahu dengan segala olahannya. Itu adalah makanan alternatif saya untuk mendapatkan asupan protein. Karena, ternyata saya juga alergi dengan telur dan tentunya ayam.
Ibu saya pusing? Tentu saja. Punya anak kok sulit menemukan makanan yang pas, termasuk untuk kantong keluarga.
Mungkin bagi orang kota, makanan laut itu mahal dan dimasukkan sebagai makanan orang kaya. Tetapi, di tanah kelahiran saya makanan laut justru lebih murah dari setengah kilo daging ayam apalagi sapi. Itulah yang membuat saya seperti si kecil yang bak "pangeran bertubuh kaca", karena rapuh.
Tetapi, seiring berjalannya waktu saya harus beradaptasi dengan makanan yang memicu alergi. Khususnya, ketika saya harus pindah ke pulau saat ini, Jawa.
Di sini jelas saya tidak akan menemukan aroma cumi-cumi berkuah kecap pedas serutin di sana. Kalau ada, sudah pasti orang itu habis gajian.
Kalau di sini, aroma paling menyengat sebenarnya ikan pindang goreng. Tetapi, yang paling menggoda adalah ayam goreng dan telur dadar atau telur mata sapi.
Tiga menu itu berhasil membuat saya berupaya keras untuk dapat mencicipinya. Menariknya, tubuh saya berhasil diajak kompromi.
Satu menu harus dapat saya taklukkan, dan itu diawali oleh telur. Entah dalam bentuk apa pun, telur itu akhirnya menjadi makanan "surga" saya.