Namun, kedisiplinan dan pengawalan proses itu membuat saya terkadang (merasa) satu garis di depan teman sekelas. Walau demikian, tetap saja, saya lebih membanggakan kemampuan membaca saya, dibandingkan berhitung.
Setelah makanan dan pendidikan, maka saya juga punya kaitan erat dengan ibu terkait hobi. Saya menyukai banyak hal. Seperti, membaca komik/majalah, mendengarkan musik, bahkan sempat suka menggambar, hingga tentunya saya sangat suka bermain bola.
Jika bacaannya masih belum boleh saya baca, maka bacaan itu akan disembunyikan. Sekali-sekali memang saya tetap mencoba membacanya--di luar sepengetahuan ibu. Tetapi, seiring berjalannya waktu, saya sangat menghargai upaya itu.
Artinya, meskipun membaca itu bagus, bahkan dianggap lebih bagus daripada bermain game, tetap saja membaca itu adalah hobi. Jika sudah menjadi hobi, maka aktivitas membaca pun sama seperti game, akan ada dampak positif dan negatifnya.
Itulah mengapa, perlu ada kontrol. Hal ini pula yang diterapkan ketika saya ternyata suka dengan sepak bola.
Bahkan, ketika saya sudah SMP dan mulai sering menonton siaran bola. Ibu juga menemani saya menonton, khususnya kalau Persija bertanding. Di sana ada Bambang Pamungkas yang menjadi pilihan pemain yang ia sukai.
Artinya, dalam hal bola pun saya juga tidak lepas dari peran ibu. Tetapi, ibu juga memiliki kesan yang sangat membatasi keinginan saya untuk semakin dekat dengan sepak bola.
Dulu saya menganggap bahwa sepak bola adalah jalan saya. Saya suka bermain bola sebelum petang menyipit. Saya juga beranggapan bahwa menjadi pesepak bola akan sangat menyenangkan.
Tetapi, pada kenyataannya tidak demikian. Meski nyaris semua pesepak bola berangkat dari gairah dan kegemaran, tetapi pada akhirnya tidak ada hobi yang dibayar. Pembayaran itu muncul karena profesionalitas, alias bukan hobi semata.