Apabila membaca istilah Ducati, apa yang ada di pikiran Anda?
Kalau saya, ketika mendengar dan membaca istilah Ducati langsung berpikir tentang MotoGP dan pembalap legendarisnya, Casey Stoner. Sama seperti ketika mendengar dan membaca istilah Ferrari. Langsung terbayangkan sosok Fernando Alonso dan kendaraan jet darat Formula 1 berwarna merah.
Sama seperti Ferrari, Ducati juga identik dengan warna merah. Saya pun masih mengingat salah satu livery legendarisnya yang ditempel sponsor produk rokok terkenal.
Saat itu juga, saya melihat ada pembalap yang mampu merusak dominasi pembalap legendaris lainnya, Valentino Rossi. Kala itu setiap akan menonton MotoGP cara paling mudah untuk membujuk orang tua agar merelakan remote tv dipegang anak adalah, "aku mau nonton Rossi".
Saat itulah saya menjadi bagian dari banyak orang yang menyaksikan kehebatan Rossi. Namun, di sela-selanya ternyata ada nama Stoner. Pembalap asal Australia itu bahkan menjadi perhatian bagi orang sekitar, karena ia berasal dari negara/benua yang bersebelahan dengan Indonesia.
Tidak sedikit yang berkata, "jarang-jarang ada pembalap dari luar Eropa yang begini. Apalagi tetanggaan dengan kita". Kurang lebih begitulah yang sempat saya ingat dari momen juaranya Stoner bersama Ducati.
Stoner dan Ducati Corse menikmati gelar juara dunia di tahun 2007. Setahun sebelum sosok Jorge Lorenzo naik kelas ke MotoGP.
Raihan prestasi itu kemudian menjadi dongeng, karena Ducati sampai tulisan ini ditulis tak lagi mampu merengkuh gelar juara dunia. Sejak itu, pembalap dari Yamaha dan Honda menjadi raja di akhir musim secara bergantian.
Bahkan, Stoner sendiri menjadi bagian dari dominasi pabrikan Jepang di MotoGP. Penyebabnya seperti yang kita ketahui, bahwa ia memutuskan pindah ke Repsol Honda pada 2011.
Suatu keputusan yang sebenarnya patut disesali, karena Ducati memiliki kekuatan bersama Stoner. Namun, hengkangnya Stoner dari Ducati juga tak lepas dari keberadaan masalah di Ducati.
Saat itu dikabarkan sudah tidak ada kesepakatan lagi antara Ducati dengan Stoner. Begitu pun dengan keadaan motor yang mulai terlihat tidak mampu lagi menyaingi Yamaha dan Honda yang memiliki ciri tersendiri.
Ducati sebenarnya memiliki ciri tersendiri, yaitu kuat di lintasan lurus. Ketika beradu cepat dengan motor Ducati di trek lurus selama 15 tahun terakhir, sudah pasti motor Ducati yang menang.
Tetapi, balap MotoGP bukan seperti drag bike* yang hanya mengandalkan kecepatan sekali pacu di trek lurus. Itulah yang membuat motor di MotoGP juga butuh adanya kelincahan dalam melibas tikungan, dan saat itu motor seperti Yamaha dan Honda terlihat lebih baik.
Bahkan, termasuk Suzuki yang sempat vakum dari MotoGP. Suzuki juga tergolong lebih lincah di tikungan meski saat di lintasan lurus tak sekuat pabrikan rival senegaranya, apalagi Ducati.
Pemandangan ini seharusnya menjadi peringatan bagi Ducati. Motor mereka tak sempurna, bahkan meski mereka merekrut pembalap yang terlihat cocok dengan karakteristik mesin mereka.
Sesuai dugaan, Ducati pun harus rela melihat Stoner langsung berjaya dengan motor barunya. Bersama Repsol Honda, Stoner langsung juara di musim debut (2011).
Itu adalah pemandangan yang horor bagi Ducati, karena terlihat bahwa mereka telah membuat keputusan yang salah. Mereka membiarkan pembalap andalannya pergi saat motor mereka hanya bisa dipacu untuk juara bersama Stoner.
Artinya, Ducati memiliki arogansi dalam menentukan misi di kejuaraan MotoGP. Seolah yang salah adalah pembalapnya yang tidak mampu mengendarai motor mereka, bukan mereka yang tidak mampu memberikan motor yang bisa dikendalikan oleh pembalapnya.
Pandangan ini kemudian bisa terlihat gamblang ketika pasca perginya Stoner, tak ada lagi nama pembalap Ducati yang mampu bersaing di depan. Bahkan, persaingan pembalapnya justru hanya di lingkup internal.
Siapa yang selalu finis paling depan dengan Ducati, maka pembalap itulah yang punya peluang bertahan lebih lama. Ini seperti ketika di suatu seri di Amerika Serikat yang memperlihatkan adanya pertarungan sengit antara dua pembalap Ducati untuk melalui garis finis.
Seolah seperti heri, heboh sendiri, begitulah Ducati saat itu. Mereka hanya mampu menciptakan pesta kecil-kecilan di lingkup internal dan semakin kesulitan untuk bersaing dengan pembalap dari pabrikan lain.
Pemandangan itu semakin memuncak ketika ada insiden "serudukan"* yang dilakukan Andrea Iannone kepada Andrea Dovizioso. Dua pembalap Italia yang diharapkan dapat menciptakan suasana yang lebih harmonis, malah melahirkan tragedi konyol.
Entah berimbas atau tidak, yang pasti sejak insiden itu Ducati memutuskan pisah jalan dan tetap mempertahankan Andrea Dovizioso yang saat itu masih menjadi "good man". Bisa dikatakan begitu, karena saat itu ia tidak banyak bicara, fokus dengan balapan saja, dan terkadang terlihat inferior.
Maklum, ia saat itu belumlah seperti Jorge Lorenzo apalagi Marc Marquez yang secara konsisten bersaing di papan atas klasemen pembalap. Ia pun belum menjadi jagoan publik Italia, karena mereka masih sangat menggilai Valentino Rossi.
Meski Rossi tidak menang pun flare warna kuning tetap menghiasi langit sirkuit dari tribun suporter. Hal ini wajar, karena Ducati dan pembalap Italia-nya masih malu-malu macan.
Mereka sebenarnya sudah mulai memiliki perbaikan, khususnya ketika sudah menduetkan duo Andrea itu. Namun, sepertinya untuk menjadi juara dunia bukanlah hal yang mudah. Perlu faktor-faktor tertentu yang menyertai.
Salah satunya adalah pengalaman bersaing di papan atas. Dovizioso dan Iannone tidak begitu menggaransinya, karena keduanya seringkali dinomorduakan sebelum bergabung di pabrikan Ducati.
Ia pun kemudian memperkuat Yamaha Tech3 yang artinya menjadi pembalap tim satelit. Saat itu juga kariernya diprediksi akan tamat, karena ia juga cenderung kalah bersaing dengan rekannya, Cal Crutchlow.
Satu-satunya keunggulan Dovi saat itu adalah kesabaran. Ia tergolong pembalap yang tekun menyisir setiap putaran di belakang pembalap lain. Ia hanya akan menyalip jika perhitungannya tepat.
Artinya, ia bukan pembalap yang sembrono. Poin ini rupanya menjadi modal besar untuk bisa menjadi pembalap Ducati di kemudian hari. Terbukti motor merah itu dibawa secara bertahap untuk menuju level yang lebih baik.
Lalu, bagaimana dengan Iannone?
Hal ini disebabkan oleh gaya balapnya yang 180 derajat berbeda dengan Dovizioso. Jika Dovi sering mengandalkan momentum, sedangkan Iannone cenderung grusa-grusu*. Salah satu wujudnya seperti yang telah dibahas itu.
Dari situlah kemudian Ducati merasa timnya masih memiliki banyak PR. Salah satunya adalah kebutuhan pembalap bermental pemenang. Jorge Lorenzo akhirnya menjadi pilihan. Pembalap asal Spanyol itu datang dengan embel-embel peraih gelar juara dunia 3 kali dengan Yamaha Factory.
Meski, karakter motor Yamaha sangat berbeda dengan Ducati, publik bisa berkaca bahwa Dovi saja bisa, kenapa tidak dengan Lorenzo?
Jawabannya pun sudah kita lihat, bahwa Lorenzo butuh waktu untuk bisa kembali ke performa yang seharusnya. Ia pun hanya bisa meraih 3 kali podium di musim pertama (2017).
Namun seolah seperti yang terjadi pada Stoner di Ducati, Jorge Lorenzo gagal bertahan. Faktor paling mencolok adalah karena Dovizioso akhirnya bisa berada di performa terbaiknya bersama Ducati dengan bukti runner-up di musim 2017.
Ducati seolah terbuai dengan statistik dan tidak peduli dengan kapasitas pembalapnya. Bukan berarti kita menyepelekan Dovi. Tetapi, keberhasilan Lorenzo beradaptasi di musim keduanya bisa menggarisbawahi tentang adanya kualitas pembalap yang perlu dipertimbangkan oleh tim dan manajemennya.
Proses itu nyata, bukan mitos. Proses juga seperti statistik. Terbukti Dovizioso bisa menemukan performanya karena adanya proses. Jika tim Ducati tidak menghargai proses, jelas nama Dovi akan segera lenyap sebelum Lorenzo bergabung.
Seolah sedang mendapatkan giliran, kini Dovizoso yang harus pergi dari Ducati. Menariknya, apa yang ia lakukan nyaris mirip dengan apa yang dilakukan Jorge Lorenzo pasca mengumumkan pisah jalan bersama Ducati, yaitu juara seri.
Jika Lorenzo langsung menang di Mugello pasca mengumumkan perpindahannya dari Ducati ke Repsol Honda. Dovi langsung mengakhiri puasa podium pertama di musim 2020 di Red Bull Ring, Austria, pasca mengumumkan perpisahannya dengan Ducati Mission Winnow.
Bak lagu lama, kejadian ini mengingatkan kita seperti apa yang terjadi pada Lorenzo. Bahkan, seandainya Lorenzo tidak mengalami cedera di Catalunya, bisa saja ia akan memberikan lebih banyak poin untuk Ducati saat itu.
Hal ini yang kemudian seolah terulang pada Dovi. Pembalap yang identik dengan angka 04 itu langsung mampu meraih kemenangan secara dramatis di Red Bull Ring, pasca meresmikan perpisahannya dengan Ducati di akhir musim 2020.
Lalu, apakah ia nanti akan seperti Stoner yang dapat juara pasca mengalami keretakan hubungan dengan Ducati? Atau, malah segera pensiun seperti Jorge Lorenzo yang gagal melaju sesuai harapan dengan Repsol Honda?
Patut dinantikan.
BREAKING: @AndreaDovizioso will not continue with Ducati past 2020! #AustrianGP pic.twitter.com/zTGWiyAWAq--- MotoGP (@MotoGP) August 15, 2020
Malang, 22 Agustus 2020
Deddy Husein S.
Berita terkait:
Kompas.com, Okezone.com, Motorplus-online.com, Rungansport.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H