Ducati sebenarnya memiliki ciri tersendiri, yaitu kuat di lintasan lurus. Ketika beradu cepat dengan motor Ducati di trek lurus selama 15 tahun terakhir, sudah pasti motor Ducati yang menang.
Tetapi, balap MotoGP bukan seperti drag bike* yang hanya mengandalkan kecepatan sekali pacu di trek lurus. Itulah yang membuat motor di MotoGP juga butuh adanya kelincahan dalam melibas tikungan, dan saat itu motor seperti Yamaha dan Honda terlihat lebih baik.
Bahkan, termasuk Suzuki yang sempat vakum dari MotoGP. Suzuki juga tergolong lebih lincah di tikungan meski saat di lintasan lurus tak sekuat pabrikan rival senegaranya, apalagi Ducati.
Pemandangan ini seharusnya menjadi peringatan bagi Ducati. Motor mereka tak sempurna, bahkan meski mereka merekrut pembalap yang terlihat cocok dengan karakteristik mesin mereka.
Sesuai dugaan, Ducati pun harus rela melihat Stoner langsung berjaya dengan motor barunya. Bersama Repsol Honda, Stoner langsung juara di musim debut (2011).
Itu adalah pemandangan yang horor bagi Ducati, karena terlihat bahwa mereka telah membuat keputusan yang salah. Mereka membiarkan pembalap andalannya pergi saat motor mereka hanya bisa dipacu untuk juara bersama Stoner.
Artinya, Ducati memiliki arogansi dalam menentukan misi di kejuaraan MotoGP. Seolah yang salah adalah pembalapnya yang tidak mampu mengendarai motor mereka, bukan mereka yang tidak mampu memberikan motor yang bisa dikendalikan oleh pembalapnya.
Pandangan ini kemudian bisa terlihat gamblang ketika pasca perginya Stoner, tak ada lagi nama pembalap Ducati yang mampu bersaing di depan. Bahkan, persaingan pembalapnya justru hanya di lingkup internal.
Siapa yang selalu finis paling depan dengan Ducati, maka pembalap itulah yang punya peluang bertahan lebih lama. Ini seperti ketika di suatu seri di Amerika Serikat yang memperlihatkan adanya pertarungan sengit antara dua pembalap Ducati untuk melalui garis finis.
Seolah seperti heri, heboh sendiri, begitulah Ducati saat itu. Mereka hanya mampu menciptakan pesta kecil-kecilan di lingkup internal dan semakin kesulitan untuk bersaing dengan pembalap dari pabrikan lain.
Pemandangan itu semakin memuncak ketika ada insiden "serudukan"* yang dilakukan Andrea Iannone kepada Andrea Dovizioso. Dua pembalap Italia yang diharapkan dapat menciptakan suasana yang lebih harmonis, malah melahirkan tragedi konyol.