Entah berimbas atau tidak, yang pasti sejak insiden itu Ducati memutuskan pisah jalan dan tetap mempertahankan Andrea Dovizioso yang saat itu masih menjadi "good man". Bisa dikatakan begitu, karena saat itu ia tidak banyak bicara, fokus dengan balapan saja, dan terkadang terlihat inferior.
Maklum, ia saat itu belumlah seperti Jorge Lorenzo apalagi Marc Marquez yang secara konsisten bersaing di papan atas klasemen pembalap. Ia pun belum menjadi jagoan publik Italia, karena mereka masih sangat menggilai Valentino Rossi.
Meski Rossi tidak menang pun flare warna kuning tetap menghiasi langit sirkuit dari tribun suporter. Hal ini wajar, karena Ducati dan pembalap Italia-nya masih malu-malu macan.
Mereka sebenarnya sudah mulai memiliki perbaikan, khususnya ketika sudah menduetkan duo Andrea itu. Namun, sepertinya untuk menjadi juara dunia bukanlah hal yang mudah. Perlu faktor-faktor tertentu yang menyertai.
Salah satunya adalah pengalaman bersaing di papan atas. Dovizioso dan Iannone tidak begitu menggaransinya, karena keduanya seringkali dinomorduakan sebelum bergabung di pabrikan Ducati.
Ia pun kemudian memperkuat Yamaha Tech3 yang artinya menjadi pembalap tim satelit. Saat itu juga kariernya diprediksi akan tamat, karena ia juga cenderung kalah bersaing dengan rekannya, Cal Crutchlow.
Satu-satunya keunggulan Dovi saat itu adalah kesabaran. Ia tergolong pembalap yang tekun menyisir setiap putaran di belakang pembalap lain. Ia hanya akan menyalip jika perhitungannya tepat.
Artinya, ia bukan pembalap yang sembrono. Poin ini rupanya menjadi modal besar untuk bisa menjadi pembalap Ducati di kemudian hari. Terbukti motor merah itu dibawa secara bertahap untuk menuju level yang lebih baik.
Lalu, bagaimana dengan Iannone?