Salah satu dampak dari kehidupan bermedia sosial adalah mudahnya menemukan dan menanggapi setiap kejadian. Nyaris setiap wujud yang kita lihat akan memancing keinginan kita untuk memberikan respon.
Hal ini juga terjadi pada momen perayaan Hari Ulangtahun Republik Indonesia yang ke-75. Sebagai warga negara yang baik, tentu momen ini akan sangat dinantikan untuk dirayakan bersama.
Namun, bukan Indonesia jika dalam setiap waktu menjelang suatu seremonial, masyarakatnya tidak melakukan kegaduhan. Seperti yang terjadi pada momen HUT RI ini. Dan sayangnya, topiknya lagi-lagi tentang agama.
Sungguh tak habis pikir, mengapa masyarakat Indonesia masih membicarakan tentang agama sebagai salah satu pemantik perdebatan. Padahal sudah 75 tahun negeri ini berdiri, tetapi bukannya semakin bijak selayaknya seorang eyang, malah sebaliknya.
Jika merujuk pada usia manusia, angka 75 adalah simbol kedewasaan. Contoh paling mudah--seperti yang dikenal para pembaca Kompasiana--adalah dua sosok Kompasianer, Pak Tjiptadinata Efendi dan Bu Roselina Tjiptadinata.
Mereka adalah representasi dari usia dan pendewasaan pola pikir ketika menanggapi bentuk-bentuk fenomena di sekitarnya. Contohnya seperti saat menghadapi peraturan di Australia, menanggapi kehidupan yang pernah terdegradasi, termasuk saat menemukan adanya ragam warna dalam hal beragama. Bagaimana itu?
Pak Tjipta pernah membagikan bagaimana pengalamannya ketika harus bermalam di masjid ketika sedang momen bulan Ramadan. Nyatanya, beliau yang harus mengaku sebagai orang non muslim ketika dibangunkan untuk sahur tetap mendapatkan perlakuan baik oleh seorang lelaki tua di masjid tersebut.
Salah satu kisah Pak Tjipta: Apakah Non-Muslim Boleh Terima Daging Kurban?
Begitu pun dengan Bu Lina yang pernah jalan-jalan ke China lalu beliau menunjukkan sisi positif yang perlu diketahui oleh masyarakat Indonesia tentang China. Yaitu tentang keterkaitan negara itu dengan komunisme.
Jika selama ini kita menganggap komunisme adalah anti-agama, nyatanya di China agama masih diyakini dan dijalankan. Tentu ini menjadi penyadaran kepada kita bahwa kita sangat perlu untuk mengenali sesuatu terlebih dahulu sebelum menilainya.
Silakan Baca Artikel Bu Lina:Â Menjelajahi Benua Asia Bagian 2
Hal ini pula yang sebenarnya terjadi pada polemik saat ini. Yaitu, ketika menanggapi adanya motif desain perayaan HUT RI ke-75. Mirisnya, kita langsung menanggapi desain tersebut dengan penilaian sekali pandang (PSP).
Pertama, kita harus melihat lingkupnya terlebih dahulu. Kita perlu melihat di mana pernyataan berdasarkan sekali pandang itu dapat diungkap. Karena, pernyataan yang hanya berdasarkan sekali pandang perlu menyesuaikan pemahaman dan pemakluman dari orang di lingkup tersebut.
Contoh sederhananya seperti ketika seseorang mendapatkan permintaan untuk menanggapi sebuah karya bernama puisi. Namun, ternyata orang yang dimintai pendapat itu sedang berhalangan untuk mencermati karya tersebut. Sehingga, ia memilih hanya menilai dengan berdasarkan sekali pandang.
Tidak lupa, orang itu juga menyertakan istilah "berdasarkan sekali pandangku" karya ini memiliki blablabla dan memberikan dampak blablabla ke pembaca. Penilaian ini tentu akan menjadi perdebatan seandainya tidak dibubuhi istilah "sekali pandang".
Karena, penilaian dengan sekali pandang hanya berdasarkan apa yang mudah ditangkap alias kulitnya saja. Tentu, ini bisa membuat si pemilik karya puisi tersebut akan kurang puas. Namun, dengan adanya pemberitahuan sebelumnya, maka dia bisa memaklumi.
Penilaian berdasarkan sekali pandang juga berguna untuk mengajak orang lain kembali memahami hal-hal yang mendasar dari setiap hal termasuk karya seni. Karya semacam puisi identik dengan perenungan dan pemahaman.
Itulah mengapa, ketika ada seseorang yang berani menggunakan PSP untuk menanggapi sebuah karya puisi, maka ia juga sedang mengajak orang lain termasuk pemiliknya untuk menyadari bagaimana rupa sampul yang telah ditampilkan. Sebelum perbincangan itu melangkah lebih dalam.
Sudah bukan rahasia, bahwa setiap karya dewasa ini selalu mengundang kepala kita untuk berpikir lebih jauh, apalagi si empu karyanya. Malah bisa saja dia hanya fokus dengan intisari karyanya bukan pada sampulnya.
Padahal, sampai detik ini buku bisa laris dibeli juga tak lepas dari daya tarik desain sampulnya. Kira-kira hanya ada dua tipe orang yang akan berkata tidak. Pertama, orang naif. Kedua, temannya atau penggemar fanatiknya si empu buku tersebut.
Dan, sebagai empu karya, tak sedikit dari mereka juga ingin melihat sampul karyanya terlihat menarik agar sepadan dengan apa yang telah ia rasakan dalam membuat karya tersebut. Itu adalah kerja kerasnya!
Berdasarkan syarat pertama itulah, si penilai yang akan menggunakan PSP patut mempertimbangkan terlebih dahulu lingkupnya. Apakah hanya di lingkup orang-orang yang mengerti apa tujuannya berpendapat demikian atau tidak.
Sebaiknya menggunakan penilaian berdasarkan sekali pandang harus mempertimbangan itu agar tidak terjadi kesalahpahaman dan dianggap tidak menghargai kerja keras orang lain. "Memangnya kamu bisa bikin puisi sepertiku?" (Waduh!)
Persyaratan kedua adalah adanya perbandingan (second opinion). Ketika seseorang pernah menilai secara PSP, alangkah baiknya juga pernah menilai karya berdasarkan bagaimana jika ia mengamati karya tersebut lebih lama lagi.
Menilai dengan PSP sudah jelas hanya mengungkap apa yang ditangkap dalam sekali pandang. Itulah yang membuat orang tersebut juga harus mampu menilai berdasarkan pengamatan yang lebih jeli.
Di dalam hal berkarya seni, cara ini harus dilakukan agar seimbang. Kita bisa menilai dengan sekali pandang, juga bisa menilai dengan pengamatan hingga perenungan.
Tujuannya pun sama seperti persyaratan sebelumnya, yaitu menghindari kesalahpahaman dan ketidakpuasan. Karena, penilaian berdasarkan PSP terkadang dianggap mudah untuk dilakukan, dan ini harus diminimalisir agar tak terjadi perdebatan yang kurang penting.
Berdasarkan dua syarat itu, sepertinya apa yang terjadi pada polemik seputar desain HUT RI ke-75 itu berkaitan dengan penilaian sekali pandang. Namun, sayangnya pengungkapan itu berada di lingkup yang tidak tepat dan tidak ada perbandingan tentang bagaimana jika orang yang menilai itu mengetahui apa yang ada di dalam desain tersebut.
Menariknya, apa yang terjadi di Indonesia juga terjadi di luar negeri. Tepatnya di Jerman. Jerman yang memiliki kompetisi sepak bola elit bernama Bundesliga itu terdapat salah satu klub bernama FC Koln.
Klub yang juga diidentikkan dengan Lukas Podolski itu ternyata menimbulkan polemik karena adanya corak siluet pada sisi kanan jersey tersebut yang jika diamati dengan jeli ternyata menampakkan sebuah masjid. Benar, masjid!
Masjid yang digambarkan secara siluet di jersey itu ternyata Masjid Agung Koln yang menjadi salah satu landmark di kota Koln. Masjid terbesar di Jerman itu telah diresmikan pada 2018 oleh Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan.
Keberadaan masjid itu juga tak lepas dari adanya populasi penduduk muslim di Koln yang mencapai 11 persen dari jumlah penduduk kotanya. Mereka sebagian besar dari imigran Turki dan sekitarnya.
Melihat desain itu, ada penggemar FC Koln yang menyatakan keberatan dan akan mundur dari keanggotaan--sebagai penggemar--di klub tersebut. Pihak klub pun segera menanggapi.
Mereka mengaku tidak gentar kehilangan suporter karena desain jersey tersebut. Menurut mereka, jersey itu bagian dari misi menciptakan inklusivitas di dalam sepak bola.
Jika dibandingkan dengan polemik desain HUT RI ke-75, polemik jersey FC Koln ini sedikit berbeda. Alibi penolakannya bukan berdasarkan PSP, tetapi dengan stereotip.
Si pengkritik jersey ada kemungkinan telah memandang jersey itu sebagai representasi politisasi sepak bola dengan agama dan tentunya dengan politik--dugaannya karena keterlibatan Turki dalam pembangunan masjid tersebut.
Sudah bukan rahasia pula, jika negara seperti Turki akan dianggap sebagai negara yang banyak menimbulkan isu keamanan dunia. Suka atau tidak, itulah stereotip yang dapat diduga telah menjadi alasan ketidaksetujuan terhadap desain jersey tersebut.
Walau Jerman telah terlihat sebagai negara yang menerima perbedaan dan keberadaan kaum imigran. Namun, bisa saja masih ada orang-orang yang memiliki stereotip tentang bagaimana itu kaum muslim, dan apa yang akan terjadi jika kaum muslim banyak terlibat di sepak bola, khususnya di FC Koln.
Beruntung, pihak FC Koln berani membuat tanggapan, dan secara sudut pandang sepak bola dan agama, keputusannya tepat. Sepak bola harus inklusif, dan agama juga bukanlah suatu hal yang perlu dikhawatirkan.
We received notice from a member who wanted to cancel their membership due to the mosque on our kit.
To that we say: goodbye, and thanks for the idea! #effzeh pic.twitter.com/2y2OHTiz1j--- 1. FC Cologne (@fckoeln_en) August 11, 2020
Hal ini pula yang kemudian bisa dikorelasikan dengan polemik desain HUT RI ke-75. Seandainya, memang itu perlambangan salib, apakah Indonesia telah melakukan kesalahan?
Bukankah Indonesia telah mengakui keberadaan agama Kristen dan Katolik sebagai agama sah untuk penduduk Indonesia? Bagaimana jika ternyata nanti di perayaan HUT RI selanjutnya kita melihat simbol agama Islam, Buddha, Hindu, hingga Konghucu?
Apakah nanti giliran orang-orang non muslim yang akan protes?
Sebenarnya, polemik ini bisa dicegah jika kita bisa mengontrol diri dalam membuat tanggapan berdasarkan PSP dan stereotip. Keduanya memang sekilas sama, namun ada yang membedakan stereotip dengan PSP.
PSP cenderung subjektif, alias tidak tercampuri oleh pemikiran orang lain. Sedangkan stereotip cenderung kolektif terbatas.
Artinya, pandangan yang berasal dari stereotip adalah hasil dari pandangan terbatas namun sudah terkuak dan diyakini oleh banyak orang. Merekalah yang kemudian membentuk kolektivitas dalam memandang suatu hal dan disebut stereotip.
Sebenarnya jika diakui secara jujur, setiap orang pasti memiliki dua pemikiran itu ketika melihat suatu hal. Tetapi, yang membuat dua pemikiran itu tak sepatutnya muncul secara sembarangan ke permukaan adalah faktor lingkup dan perbandingannya--menilai dengan sudut pandang yang lebih dalam.
Begitu pun dengan penampakan desain HUT RI ke-75. Apabila desainnya menyimbolkan masjid, Kabah, bulan sabit dan satu bintang, dan sebagainya, apakah orang yang sama akan menyindir desain itu adalah simbol agama?
Satu hal lagi yang sebenarnya nyaris selalu ada di benak seseorang ketika melihat adanya simbol keagamaannya terpampang di suatu hal adalah terbesit kebanggaan. Kira-kira tidakkah orang muslim bangga ketika melihat ada penampakan masjid di jersey FC Koln?
Lalu, bagaimana jika kita saling bertukar perasaan?
"Jika aku bangga melihat masjid menjadi simbol toleransi. Aku pikir temanku juga bangga jika melihat simbol keagamaannya menjadi spirit persatuan negara ini."
Bagaimana?
Pidato Presiden RI dalam rangka Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI Tahun 2020#PidatoPresiden2020#BangkitIndonesiaMaju pic.twitter.com/Clwdy03xHN--- Sekretariat Negara (@KemensetnegRI) August 14, 2020
Malang, 14-8-2020
Deddy Husein S.
Berita terkait:
Goal.com, Skor.id, CNNIndonesia.com, Setneg.go.id 1 dan 2.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H