Melihat desain itu, ada penggemar FC Koln yang menyatakan keberatan dan akan mundur dari keanggotaan--sebagai penggemar--di klub tersebut. Pihak klub pun segera menanggapi.
Mereka mengaku tidak gentar kehilangan suporter karena desain jersey tersebut. Menurut mereka, jersey itu bagian dari misi menciptakan inklusivitas di dalam sepak bola.
Jika dibandingkan dengan polemik desain HUT RI ke-75, polemik jersey FC Koln ini sedikit berbeda. Alibi penolakannya bukan berdasarkan PSP, tetapi dengan stereotip.
Si pengkritik jersey ada kemungkinan telah memandang jersey itu sebagai representasi politisasi sepak bola dengan agama dan tentunya dengan politik--dugaannya karena keterlibatan Turki dalam pembangunan masjid tersebut.
Sudah bukan rahasia pula, jika negara seperti Turki akan dianggap sebagai negara yang banyak menimbulkan isu keamanan dunia. Suka atau tidak, itulah stereotip yang dapat diduga telah menjadi alasan ketidaksetujuan terhadap desain jersey tersebut.
Walau Jerman telah terlihat sebagai negara yang menerima perbedaan dan keberadaan kaum imigran. Namun, bisa saja masih ada orang-orang yang memiliki stereotip tentang bagaimana itu kaum muslim, dan apa yang akan terjadi jika kaum muslim banyak terlibat di sepak bola, khususnya di FC Koln.
Beruntung, pihak FC Koln berani membuat tanggapan, dan secara sudut pandang sepak bola dan agama, keputusannya tepat. Sepak bola harus inklusif, dan agama juga bukanlah suatu hal yang perlu dikhawatirkan.
We received notice from a member who wanted to cancel their membership due to the mosque on our kit.
To that we say: goodbye, and thanks for the idea! #effzeh pic.twitter.com/2y2OHTiz1j--- 1. FC Cologne (@fckoeln_en) August 11, 2020
Hal ini pula yang kemudian bisa dikorelasikan dengan polemik desain HUT RI ke-75. Seandainya, memang itu perlambangan salib, apakah Indonesia telah melakukan kesalahan?