Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dipilih atau Tidak, Anak akan Mengikuti Jejak Orangtuanya

23 Juli 2020   11:51 Diperbarui: 23 Juli 2020   12:12 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akan menjadi unik kalau seorang anak justru mengikuti jejak tetangganya. Nanti dikira anak itu adalah anak tetangga.--intermeso

Beberapa hari terakhir pemberitaan tentang Gibran yang maju ke pilkada serentak menghiasi kolom-kolom berita dan media sosial. Di platform menulis seperti Kompasiana pun banyak tulisan tentang sepak terjang si anak presiden tersebut.

Menariknya, ingatan saya terhadap tulisan dari seorang kompasianer* (sayangnya saat dicari lagi tidak ketemu) masih cukup segar. Tulisan itu membahas tentang "buah jatuh tak jauh dari pohonnya".

Tanpa perlu saya bahas lebih dalam, tentu kalian paham gambaran umumnya. Saya pun cukup sepakat dengan ulasan tersebut, karena ketika buah jatuh pertama kali pasti masih ada di sekitar pohon itu. Kecuali ada faktor lainnya yang membuat si buah menjauh dari pohonnya.

Faktor-faktor pembentukan jati diri maupun masa depan pada anak inilah yang nantinya merujuk ke strategi yang dimiliki orangtuanya. Diantaranya adalah menerima dan mendukung pilihan anak.

Hal ini seperti yang saya temukan beberapa waktu lalu, ketika ada berita tentang Laurencia Wiratama. Ia merupakan seorang putri dari sepasang legenda bulu tangkis Indonesia, Susi Susanti dan Alan Budikusuma.

Meski dia tahu bahwa orangtuanya merupakan pebulutangkis yang luar biasa, tetapi dia tidak memiliki ketertarikan untuk menjadi atlet profesional di cabang olahraga tersebut. Begitu pun dengan saudaranya yang terlihat belum menemukan tanda-tanda akan meneruskan jejak orangtuanya.

Beruntung, Susi maupun Alan tidak menentang keputusan anak-anaknya. Mereka mengerti bahwa cita-cita dan potensi harus selaras dengan minat, bukan paksaan.

Jika merujuk pada kabar internasional, kita juga bisa menemukan contohnya pada keluarga David Beckham dan Victoria. Tentu kita sudah familiar dengan nama-nama anaknya, salah satunya adalah Brooklyn.

Brooklyn lebih memilih menjadi figur yang tak jauh dari entertainment, alih-alih menjadi pesepakbola seperti ayahnya. Namun, pilihan ini masih masih satu jalan dengan apa yang digariskan oleh orangtuanya, yaitu dari Victoria.

Di masa mudanya, Victoria adalah penyanyi grup di Spice Girls. Bahkan, sampai saat ini masih dikenal sebagai entertainer, meski juga sudah merambah ke dunia enterpreneurship. Inilah yang membuat keputusan Brooklyn untuk tidak menjadi pesepakbola juga bukan perkara yang patut diperdebatkan.

Gambaran semacam ini memperlihatkan bahwa dalam membangun masa depan, anak juga diberi kebebasan untuk memilih. Ada faktor daya tarik dari bidang tersebut ke anak, peminatan anak, hingga bagaimana si anak mengenal orangtuanya.

Kedekatan antara anak dengan orangtuanya disinyalir juga dapat menjadi salah satu pendorong si anak untuk mengikuti jejak orangtuanya. Contohnya seperti Debora Calamita, seorang angkatan TNI AL yang merupakan putri dari sepasang TNI.

Dia yang kebetulan anak semata wayang rupanya sangat terinspirasi oleh jejak kedua orangtuanya. Meski pekerjaannya berat, dan cenderung rawan seksis, namun tekadnya telah mampu membawanya menjadi penerus orangtuanya.

Artinya, selain ada kedekatan antara anak dengan orangtua, pemilihan masa depan juga diperlukan adanya tekad. Jika tekadnya belum besar, maka keinginan untuk menggapainya akan terombang-ambing.

Soal tekad ini juga mengingatkan saya dengan film "Hua Mulan" 2009. Berhubung saya belum bisa menonton film live-action "Mulan" 2020, maka saya ingin membekali pengetahuan saya tentang Mulan dengan menonton film versi lamanya.

Film ini juga merepresentasikan tentang jalan anak mengikuti jejak orangtuanya. Gambar: IMDb.com
Film ini juga merepresentasikan tentang jalan anak mengikuti jejak orangtuanya. Gambar: IMDb.com
Di film itu saya menemukan adanya kedekatan, passion, kemampuan, dan tekad di dalam sosok anak. Kedekatan, membuat Hua Mulan sangat tahu tentang kondisi ayahnya yang sudah tidak mampu lagi untuk ke medan peran.

Passion (gairah), mengarahkan Mulan untuk belajar dan mengasah kemampuan bela dirinya, meski dia adalah perempuan. Hal ini selaras dengan kemampuannya yang terus berkembang dan menghasilkan tekad yang kuat untuk turun ke gelanggang tempur menggantikan ayahnya.

Dari sini kita bisa melihat bahwa untuk menyerupai orangtuanya, si anak perlu memiliki banyak faktor. Bahkan meski rintangan juga seringkali hadir baik dari segi internal (keluarga/orangtua) dan eksternal (lingkungan sosialnya).

Tetap saja sebagai anak, masa depan sebisa mungkin diraih dengan usaha dan kemampuannya. Termasuk jika ternyata pilihannya tidak sesuai harapan orangtuanya.

Lalu, bagaimana dengan anak yang berusaha tidak mengikuti jejak orangtuanya?

Sebelum mengetahui caranya, kita tentu perlu mengetahui alasan dari keputusan anak untuk tidak mengikuti jejak orangtua.

Setiap anak pasti berupaya meniru orangtuanya, sebelum mencari kelebihannya sendiri. Gambar: Pexels.com/Valeria Ushakova
Setiap anak pasti berupaya meniru orangtuanya, sebelum mencari kelebihannya sendiri. Gambar: Pexels.com/Valeria Ushakova
Pertama, si anak tahu kekurangannya. Biasanya ada suatu momen yang membuat si anak mencoba mengikuti jejak orangtuanya. Di momen itulah, kemudian si anak akan memikirkan tentang tingkat keberhasilannya jika menjadi seperti orangtuanya.

Kita ambil contoh tentang anak pedagang yang ternyata dirinya tidak memiliki kemampuan seperti orangtuanya. Kemampuan pedagang biasanya adalah memiliki sikap ramah dan pandai berbicara. Termasuk pandai bernegosiasi.

Jika si anak tahu dirinya tidak mampu melakukan itu semua, maka dirinya akan mencoba mencari jalan lain untuk menggapai masa depan. Biasanya si anak juga berpikir bahwa nanti ia tidak akan menjadi pedagang seperti orangtuanya.

Alasan kedua, si anak tahu kesukaannya. Sebenarnya menjadi pedagang juga ada yang karena kesukaan. Misalnya, ada yang merasa bahwa memegang uang adalah hal yang sangat menyenangkan, termasuk ketika dapat berinteraksi dengan banyak orang dan orang baru.

Berhubung si calon pedagang ulung ini sudah mengetahui kesukaannya, maka jadilah dirinya menjadi pedagang. Hal ini juga bisa terjadi pada si anak yang tidak suka berdagang lalu menemukan kesukaan lainnya. Maka, kesukaan itulah yang akan dia jadikan sebagai kendaraan menggapai masa depan.

Misalnya, si anak ternyata suka melukis, maka ia akan rajin melukis dan berharap akan menjadi pelukis yang mampu menghasilkan uang. Apakah nanti akan diingatkan bahwa ia juga telah menjadi pedagang? Kita lewati dulu pembahasan ini.

Ketiga, si anak ternyata mendapatkan dukungan dari orang di sekitarnya. Misalnya dari guru di sekolah. Biasanya ketika ada momen pembagian rapor dan sejenisnya, si guru atau wali kelas akan memberikan review terkait kelebihan dan kekurangan si anak. Dari sanalah percikan-percikan masa depan mulai terkuak.

Tentu kita menjadi paham bahwa menumbuhkan masa depan anak juga diperlukan adanya apresiasi dan pengakuan. Jangan sampai menyembunyikan kelebihan anak, karena itu bisa membuat si anak menjadi kehilangan kepercayaan diri terhadap kemampuannya.

Dari tiga alasan tadi, kemudian kita melangkah ke cara-cara untuk membuat si anak bisa tidak menyerupai rekam jejak orangtuanya.

Pertama, bercerita tentang apa yang disukai. Jika tidak pandai bercerita, maka tunjukkan langsung apa yang disukai. Pada langkah ini, tanggapan orangtua akan sangat menentukan kelanjutan dari apa yang dilakukan si anak.

Kedua, mencaritahu tentang figur-figur yang sesuai dengan apa yang disukai. Jika anak generasi 2000-an, saat itu masih sulit menemukan informasi selain dari tv, maka inspirasinya sebagian besar terbantu oleh cerita-cerita dari orangtua.

Pada langkah ini, tingkat keikhlasan orangtua dalam membuka kesempatan bagi anak untuk mencari inspirasi yang berbeda dari orangtua akan terlihat. Semakin terbatasnya pilihan inspirasi yang diberikan, maka peluang anak untuk "main jauh" menjadi nyaris tidak ada.

Semakin banyak pilihan, maka orangtua juga semakin perlu untuk terus mengawal atau memantau si anak agar tidak terlalu kebablasan. Artinya, antara anak dan orangtua pada tahap ini mulai berbicara tentang kompromi. Ada "negosiasi" antara anak dan orangtua untuk menempuh masa depan.

Cara ketiga, si anak harus memiliki pemahaman bahwa hidup itu tidak statis. Hidup itu dinamis. Bahkan dalam ranah percintaan saja, masih sulit untuk menemukan angka 100% pasangan setia di sebuah negara.

Hal ini juga berlaku dalam menentukan masa depan. Jika gagal menjadi pelukis, cobalah jadi yang lain. Misalnya menjadi penyanyi, penulis, bahkan jika ternyata menjadi karyawan toko pun seharusnya tidak diratapi.

Bukan hanya karena "ada banyak jalan menuju ke Roma", tetapi memang cara itulah yang ampuh untuk menjaga semangat tetap membara. Ditambah dengan adanya perubahan era, maka tentang masa depan juga akan seperti itu; semakin banyak pilihan.

Namun, ketika si anak berupaya menempuh jalan yang berbeda, biasanya si anak juga memiliki peluang untuk mengikuti jejak orangtuanya. Menariknya, hal ini bisa disadari maupun tidak.

Contohnya, ketika seorang anak yang tidak ingin menjadi pedagang, kemudian menjadi seorang pelukis. Sebenarnya saat dirinya berhasil menjadi pelukis terkenal, dia juga telah menjadi pedagang. Bukankah cara memperkenalkan hasil lukisannya juga dengan strategi berdagang?

Gibran maju ke pilkada 2020. Gambar: Kompas.com/Labib Zamani
Gibran maju ke pilkada 2020. Gambar: Kompas.com/Labib Zamani
Sama halnya dengan Gibran Rakabuming yang awalnya (berharap) hanya ingin menjadi pebisnis saja seperti ayahnya sebelum menjadi walikota dan presiden. Namun, sewaktu-waktu jalan untuk mengikuti jejak ayahnya di kursi pemerintahan juga akan terbuka.

Pasti akan ada dorongan baik dari segi internal maupun eksternal untuk mengantarkannya mengikuti jejak ayahnya. Tentang cepat atau lambat rentang waktu untuk mengikuti jejak ayahnya, itu pengaruh proses.

Jika prosesnya cepat, maka hasilnya juga demikian. Saya pun memilih untuk memaklumi apa yang terjadi pada Gibran, terlepas dari apakah dia prematur atau sudah waktunya untuk bekerja di kursi pemerintahan.

Menurut saya, apa yang terjadi pada Gibran adalah hal yang wajar. Semua orang yang sudah mampu membuka usaha--seperti Gibran--dan mengajak orang lain untuk bekerja dengannya, maka peluangnya untuk menjadi pemimpin di sendi-sendi pemerintahan sudah (cukup) terbuka.

Tinggal keputusan si individu yang akan membuka dan/atau menutup kesempatan itu. Jika ternyata Gibran memilih untuk membukanya lebih lebar, maka sudah dipastikan bahwa Gibran telah memikirkan konsekuensinya.

Sama halnya bagi seorang anak yang mencoba untuk tidak mengikuti jejak orang tuanya, maka dia juga akan menerima konsekuensinya. Setiap pilihan pasti ada konsekuensinya, termasuk urusan mengikuti atau tidak mengikuti jejak orang tua.

Dan, kalau saya menjadi Gibran, pilihan saya juga tak akan jauh-jauh dari apa yang dilakukan Gibran saat ini. Karena, saya yang dulunya tidak ingin menjadi pedagang, ternyata sekarang mulai harus belajar mempromosikan karya saya, seperti pedagang. Serius!

Malang, 22-23 Juli 2020
Deddy Husein S.

Keterangan:

*) Jika ada yang tahu tulisan yang saya maksud, boleh diberikan link-nya di kolom komentar. Seingat saya awalnya antara Hennie Triana Oberst dan Gaganawati Stegmann. Namun, setelah saya cari-cari belum ketemu. Duh!

Berita terkait:
Tempo, Kompas 1, Kompas 2.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun