Melalui pembaitan angka--semoga benar istilahnya, Sapardi mengenalkan cara untuk membuat puisi yang juga bisa menyampaikan sebuah kronologi peristiwa. Fantastis!
Itulah yang membuat saya masih menyukai puisi, meski saya sampai sekarang belum mampu berpuisi dengan baik. Ketidakmampuan ini juga yang membuat saya selalu mengapresiasi orang-orang yang gigih berkarya dengan puisi. Meski di satu sisi, saya menangkap adanya anggapan bahwa berpuisi itu lebih mudah dibandingkan membuat artikel. Benarkah?
Tentu saya tidak tahu kebenarannya. Hanya, saya merasa terbantukan dengan keberadaan puisi yang membuat saya bisa melihat banyak ekspresi di sekitar. Tentang lebih bagusan puisinya siapa, saya tidak mau tahu.
Lalu, bagaimana dengan keterikatan saya dengan puisi Sapardi?
Betul, bagi saya berpuisi tidaklah mudah. Perlu banyak pertimbangan dalam mengeluarkan apa yang ada di pikiran ke bentuk tulisan. Memang, soal jam terbang bisa membuat segala kesulitan menjadi hal yang biasa.
Namun, berpuisi tetap perlu daya imajinasi, interpretasi, dan implementasi yang luar biasa solid. Ditambah dengan penemuan ide serta pengaruh zaman. Hal ini yang saya lihat ketika mulai mencoba membaca beberapa puisi dari pemuisi lainnya.
Tentu ada banyak perbedaan antara puisi karya Sapardi dengan yang lainnya. Namun saya tetap merasa bahwa, karena puisi Sapardi saya berani mengenal puisi. Seolah seperti cinta pertama, maka buku puisi "Melipat Jarak" tak akan pernah saya lupakan dalam perjalanan saya membaca puisi.
Malang, 19-21 Juli 2020
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H