Sebenarnya terasa bohong jika saya mengatakan bahwa mengetahui puisi karena puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Tetapi secara jujur, saya memperoleh jembatan untuk mengenal puisi adalah dengan beberapa puisi beliau.
Diawali dengan saya membeli buku puisi "Melipat Jarak". Ini adalah buku kumpulan puisi pertama yang saya beli. Hanya, kalau mengingat buku kumpulan puisi pertama yang saya lihat, maka buku itu adalah "Selamat Menunaikan Ibadah Puisi", karya Joko Pinurbo.
Itu pun karena punya teman, dan saat itu dititipkan di rak buku milik sekretariat sebuah organisasi kampus saya. Saya pun saat itu belum tertarik untuk membuka dan membacanya. Maklum, saya jarang menyentuh barang orang lain, kecuali sangat tertarik dengan barang tersebut atau pun ingin dekat dan basa-basi dengan pemiliknya.
Ditambah jika itu adalah puisi. Maklum, saya saat itu masih berstereotip bahwa puisi cenderung melankolis dan kompleks.
Satu-satunya puisi yang familiar di telinga saya adalah puisi milik WS Rendra, dan itu juga karena momen peringatan HUT RI yang biasanya dihelat oleh Pemkab di kampung halaman saya.
Meski puisi-puisi yang dibacakan sangat patriotis, alias penuh semangat. Namun, saya berpikir bahwa puisi tersebut cenderung kompleks dan bergantung pada momen.
Nyaris seperti musik. Terikat oleh suasana dan kebutuhan tempat. Artinya, saya juga memikirkan bahwa puisi tidak begitu mudah untuk dinikmati. Seperti musik yang terkadang tidak semuanya easy listening--perlu suasana atau situasi yang sinkron dengan musik tersebut.
Namun, sejak saya membeli buku kumpulan puisi milik Sapardi, di sana ada upaya untuk mengenal, "bagaimana sih puisi itu?". Apakah puisi harus tentang cinta? Bagaimana jika ada perasaan-perasaan terkait sosial dan lingkungan, hingga ranah yang paling sakral, yaitu kemanusiaan?
Ternyata puisi bisa menjadi jembatan untuk merasakan itu semua, dan secara kebetulan dimulai dari saya membeli buku kumpulan puisi "Melipat Jarak". Di situ ada beberapa judul yang membuat saya akhirnya tertarik untuk mengenali puisi, hingga ingin berada di lingkungan berbau puisi.
Bahkan, saya juga mendemonstrasikan diri saya ke lingkup puisi bersama satu-dua judul puisi Sapardi. Meski saat itu saya belum terbiasa untuk merenungkan atau memaknai isi dari setiap puisi yang saya baca.
Terkadang saya masih membaca puisi dengan kepalanya pembaca cerpen atau novel. Mengikuti alur saja. Soal paham atau tidak, urusan belakang.
Seiring berjalannya waktu, saya mulai terbiasa untuk memikirkan setiap barisan kata yang tertuang dalam cangkir-cangkir puisi, baik dari pemuisi tersohor seperti Sapardi atau juga pemuisi berlabel teman.
Bahkan, satu kata yang ada di sebuah puisi bisa saya pikirkan dua kali atau lebih demi menemukan apa makna yang sebenarnya. Meski pada akhirnya saya seperti berjudi, karena tidak sepenuhnya dapat menerka secara akurat apa yang ingin disampaikan si empu puisi tersebut.
Perjalanan saya membaca puisi kemudian semakin terbantu oleh adanya sebuah wadah untuk mengapresiasi puisi. Namun, sayangnya saya tak begitu bertahan lama dalam berkubang di sauna puisi.
Saya berpikir bahwa mengenali puisi itu sangat perlu ketelatenan. Selain harus rajin berkontemplasi, juga harus rajin membaca banyak karya dari beragam pemuisi. Ditambah lagi dengan fakta bahwa puisi juga beragam bentuk.
Bahkan, bagi saya puisi bisa juga untuk mendekatkan orang-orang yang sebelumnya antipati terhadap ranah politik dan pemerintah, menjadi cukup familiar. Karena, menurut sepemahaman saya, hidup tanpa mengenal politik dan pemerintahan akan menjadi buta peta.
Seolah harus berjalan ke rumah pacar, tapi belum pernah tahu lewat jalan mana agar sampai ke alamatnya. Itulah mengapa perlu ada media yang dapat membantu perjalanan itu.
Jika dalam proses ngapelin pacar perlu ada G-maps untuk membantu mencari rute, maka puisi juga bisa menjadi alat bantu untuk mengetahui seperti apa sih politik dan pemerintahan itu?
Saya lebih suka membaca ungkapan pendapat seseorang tentang kritik politik dan pemerintahan dengan puisi dibandingkan dengan artikel opini. Meski perlu diakui pula, bahwa antara keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan.
Pada puisi, jelas nilai estetikanya membantu pembaca untuk terbius dan seolah lupa bahwa yang sedang dibicarakan oleh si empunya adalah tentang politik dan pemerintahan. Sedangkan pada artikel opini, mereka lebih unggul dalam hal penyajian bukti yang relevan terkait pendapat penulisnya.
Sebenarnya di puisi juga bisa menjabarkan suatu peristiwa dengan berbagai situasi--runtutan adegan. Seperti pada puisi Sapardi yang berjudul "Dongeng Marsinah".Â
Melalui pembaitan angka--semoga benar istilahnya, Sapardi mengenalkan cara untuk membuat puisi yang juga bisa menyampaikan sebuah kronologi peristiwa. Fantastis!
Itulah yang membuat saya masih menyukai puisi, meski saya sampai sekarang belum mampu berpuisi dengan baik. Ketidakmampuan ini juga yang membuat saya selalu mengapresiasi orang-orang yang gigih berkarya dengan puisi. Meski di satu sisi, saya menangkap adanya anggapan bahwa berpuisi itu lebih mudah dibandingkan membuat artikel. Benarkah?
Tentu saya tidak tahu kebenarannya. Hanya, saya merasa terbantukan dengan keberadaan puisi yang membuat saya bisa melihat banyak ekspresi di sekitar. Tentang lebih bagusan puisinya siapa, saya tidak mau tahu.
Lalu, bagaimana dengan keterikatan saya dengan puisi Sapardi?
Betul, bagi saya berpuisi tidaklah mudah. Perlu banyak pertimbangan dalam mengeluarkan apa yang ada di pikiran ke bentuk tulisan. Memang, soal jam terbang bisa membuat segala kesulitan menjadi hal yang biasa.
Namun, berpuisi tetap perlu daya imajinasi, interpretasi, dan implementasi yang luar biasa solid. Ditambah dengan penemuan ide serta pengaruh zaman. Hal ini yang saya lihat ketika mulai mencoba membaca beberapa puisi dari pemuisi lainnya.
Tentu ada banyak perbedaan antara puisi karya Sapardi dengan yang lainnya. Namun saya tetap merasa bahwa, karena puisi Sapardi saya berani mengenal puisi. Seolah seperti cinta pertama, maka buku puisi "Melipat Jarak" tak akan pernah saya lupakan dalam perjalanan saya membaca puisi.
Malang, 19-21 Juli 2020
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H