Kedua, karena bersepeda itu spesial. Seperti orang yang bisa ke tempat gym. Maka, bersepeda hanya untuk orang-orang yang mau menjaga tubuhnya.
Ketiga, karena biasanya kita melihat orang bersepeda dengan pakaian ala pembalap sepeda. Begitu juga dengan adanya rombongan bersepeda, membuat seolah bersepeda adalah sesuatu yang hanya untuk bersenang-senang, bukan untuk kebutuhan yang serius.
Jika melihat konsep-konsep tersebut, saya pikir memang pola pandang terhadap bersepeda sudah tergeser. Dari yang biasa menjadi tidak biasa.
Ini juga seolah kembali ke masa pra-kemerdekaan yang mana masyarakat Indonesia lebih jamak berjalan kaki dibandingkan bersepeda. Karena orang yang bersepeda identik sebagai kalangan borjuis.
Hingga kemudian muncullah mindset bersepeda untuk olahraga atau pun untuk senang-senang belaka. Ini pun berkaitan dengan penggolongan usia. Seperti menghadiahkan sepeda ketika lulus SD, lalu ketika lulus SMP hadiahnya adalah sepeda motor.
Begitu pun ketika tua, bisa saja kita berpikir bahwa bersepeda adalah cara untuk bernostalgia. Bahwa dulu saya pernah muda, pernah bisa menggowes sampai 10 km, dan sebagainya.
Penggambaran ini terasa menyedihkan bagi saya, karena bersepeda seperti aplikasi joget yang harus diviralkan. Padahal seharusnya bersepeda itu masih masuk kategori pola hidup yang primer, yang artinya biasa saja.
Menggunakan istilah tren kesehatan sebenarnya sudah cukup terpaparkan di penjelasan sebelumnya. Bahkan, tanpa membaca pemaparan di sini, pembaca sudah bisa memikirkannya sendiri berdasarkan update dari feed dan story di akun media sosial para figur publik.
Namun untuk istilah intimidasi, saya ungkap karena berdasarkan pengalaman saya ketika menggowes di jalan raya. Bukan karena pembagian ruas jalan, melainkan karena sulitnya penggowes untuk melakukan pembelokan ke sisi jalur yang berbeda.