Berbicara soal kalap sudah pasti tidak baik. Entah apapun bentuknya, itu adalah tindakan yang tak perlu ditiru. Bahkan, meski kalapnya adalah tentang membeli buku.
Membeli buku-buku baru hingga buku-buku mahal juga tak sepenuhnya direkomendasikan jika uang kita tak banyak. Apalagi jika esok belum tentu dapat menjamin makan nasi goreng pakai telor setengah matang.
Jika membeli buku secara kalap saja tak disarankan, apalagi yang lain?
Salah satunya adalah membeli makanan. Jujur saja, saya salah satu orang yang diramal susah hidup hemat. Bahkan, sering dicap boros. Saya tentu tak mengelak. Terkadang memang demikian.
Contohnya, ketika saya mendapatkan kiriman dari orang tua. Di hari saya ambil uang, biasanya akan mampir ke minimarket.
Memang, secara nominal jika dibandingkan yang lain, bisa saja jumlah uang yang saya belanjakan tergolong kecil. Apalagi jika mereka memaklumi karena dasarnya adalah untuk stok.
Tetapi, bagi saya pribadi, itu sudah kalap. Membelanjakan uang untuk camilan yang terkadang harganya lebih mahal dari sebungkus nasi lalapan.
Begitu pula jika saya tiba-tiba ingin membeli terang bulan atau martabak manis dengan toping tertentu yang otomatis harganya juga lumayan. Ketika pulang atau keesokan hari lihat dompet, terkadang merasa menyesal.
Selain makanan, saya juga pernah kalap soal paket data internet. Pernah suatu waktu saya mengeluarkan uang yang menurut saya itu bisa untuk makan 2 hari dengan menu sedap, namun justru saya gunakan untuk membeli paketan.
Di saat uang mulai menipis dan perut mulai was-was, saya teringat dengan pulsa paketan yang masih banyak. Apakah saya akan makan gambar-gambar dan video-video di media sosial?
Penyesalan selalu di akhir, sama seperti kesedihan yang selalu datang saat tanggal tua. Sedangkan saat tanggal muda, rasanya hidup seperti di surga. Apa saja dapat mampir di hadapan.
Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah apakah pemikiran semacam ini juga ada di orang lain?
Berhubung saya bukan peramal, tentu saya tak mampu menerka apalagi membandingkan antara hidup saya dengan orang lain. Namun, saya mencoba mengira beberapa hal yang membuat saya ataupun orang lain dapat kalap.
Pertama, kita punya keinginan yang terpendam.
Saya secara pribadi selalu punya keinginan. Misalnya ketika Tahun Baru, saya ingin membeli Roti Bakar, maka saya akan berupaya menyisihkan uang ataupun memanfaatkan uang kiriman orang tua untuk membelinya.
Sebenarnya, saya berusaha menahan itu. Tapi, saya merasa bahwa apa yang saya lakukan ini hanya sekali. Alias, hanya untuk ikut merayakan momen-momen tertentu.
Uniknya, justru orang tua saya memaklumi itu. Seringkali mereka sengaja mengirimi uang di momen seperti itu untuk membuat saya dapat mewujudkan keinginan yang bagi orang lain tentu sangat remeh.
"Duh, cuma 15.000 Ded, sini kuborongin!"
Ketika kemarin saya lapar, dan hari ini baru datang kiriman, saya secara sadar dan tidak sadar segera membalas dendam. "Hari ini aku harus kenyang!"
Hal ini juga berlaku ketika saya lama tidak membeli buku baru. Ketika ada uang, apalagi banyak, rasanya semua buku yang tempo hari hanya bisa saya tandai, ingin saya borong semua.
Memang sih, belum kejadian saya memborong semua buku yang saya tandai. Tapi, seingat saya, ada momen saya membeli buku sampai merogoh kocek sekitar 200.000 rupiah lebih. Padahal, jika dipikir ulang, itu bisa untuk mentraktir gebetan makan bakso enak 10 porsi dalam seminggu. Huh!
Ketiga, kita menjadikan orang lain sebagai cermin.
Padahal beda orang pasti akan beda isi kantongnya. Meskipun misalnya sama-sama mahasiswa bokek, pasti kata "tidak punya uang" si C dengan si E berbeda.
Si C menganggap uang tinggal 200.000 rupiah itu sudah tidak ada uang ketika ada yang ingin pinjam 20.000 rupiah untuk bayar fotokopi jurnal. Sedangkan si E menganggap tidak punya uang itu ya sama sekali tidak ada uang, sampai-sampai melongok di mesin ATM cuma ada 55.000 rupiah sisa saldo. Astaga!
Namun, becermin pada orang lain seringkali terjadi. Baik saat seseorang itu merasa kaya ataupun merasa miskin.
Begitu pula dengan si mental miskin. Meski sudah punya sepeda motor dua dan mobil satu, tetap saja merasa susah hidupnya, karena melihat tetangga mengaku susah ke Pak RT dan langsung dapat bantuan dari pemerintah.
Tapi yang ini mungkin fiksi. Saya juga kurang tahu faktanya. Hehe.
Lalu, bagaimana cara untuk tidak kalap?
Paling pasti adalah melihat diri sendiri. Seberapa banyak kita punya uang dan seberapa banyak keinginan pribadi kita. Jangan sampai, kita membeli buku apalagi makanan, karena melihat orang lain membelinya.
Tetapi saya juga pernah melakukannya, baik saat beli buku dan beli makanan. Beruntung saya tidak punya pantangan berlebihan terhadap makanan. Hanya sekadar mau dan tidak mau saja yang membatasi selera saya.
Begitu pula dengan buku. Memang, imbasnya adalah buku-buku itu tak kunjung saya buka plastiknya, alih-alih sudah saya baca. Tetapi, saya berpikir kembali bahwa siapa tahu itu adalah investasi saya.
Ya, semacam pembenaran dan mencoba untuk ikhlas. Hehe.
Nah, jika membaca cerita saya, apakah itu sudah menggambarkan bahwa saya pernah kalap saat berbelanja?
Kalau bagi saya sih iya. Karena, saya sadar dengan status ekonomi saya. Walau pas sedang ada uang, saya sedikit lupa. Tetapi, bisa saja bagi orang lain ini belumlah apa-apa.
Karena, standar hidup orang berbeda-beda, bahkan meskipun golongannya sama (sama-sama miskin). Artinya, tingkat kekalapannya juga pasti berbeda.
Jadi, jika ada yang pernah kalap, bilang saja, "ini kalapku, bukan kalapmu!", dan setelah itu jangan lupa untuk segera memperbaiki pola mengeluarkan pasaknya. Biar tiangnya tetap kokoh walau tak harus dari Pohon Jati, apalagi Adamantium.
Selamat menunaikan ibadah puasa! Semoga lancar dan sehat selalu!
Malang, 2 Mei 2020
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H