Memang sih, belum kejadian saya memborong semua buku yang saya tandai. Tapi, seingat saya, ada momen saya membeli buku sampai merogoh kocek sekitar 200.000 rupiah lebih. Padahal, jika dipikir ulang, itu bisa untuk mentraktir gebetan makan bakso enak 10 porsi dalam seminggu. Huh!
Ketiga, kita menjadikan orang lain sebagai cermin.
Padahal beda orang pasti akan beda isi kantongnya. Meskipun misalnya sama-sama mahasiswa bokek, pasti kata "tidak punya uang" si C dengan si E berbeda.
Si C menganggap uang tinggal 200.000 rupiah itu sudah tidak ada uang ketika ada yang ingin pinjam 20.000 rupiah untuk bayar fotokopi jurnal. Sedangkan si E menganggap tidak punya uang itu ya sama sekali tidak ada uang, sampai-sampai melongok di mesin ATM cuma ada 55.000 rupiah sisa saldo. Astaga!
Namun, becermin pada orang lain seringkali terjadi. Baik saat seseorang itu merasa kaya ataupun merasa miskin.
Begitu pula dengan si mental miskin. Meski sudah punya sepeda motor dua dan mobil satu, tetap saja merasa susah hidupnya, karena melihat tetangga mengaku susah ke Pak RT dan langsung dapat bantuan dari pemerintah.
Tapi yang ini mungkin fiksi. Saya juga kurang tahu faktanya. Hehe.
Lalu, bagaimana cara untuk tidak kalap?
Paling pasti adalah melihat diri sendiri. Seberapa banyak kita punya uang dan seberapa banyak keinginan pribadi kita. Jangan sampai, kita membeli buku apalagi makanan, karena melihat orang lain membelinya.
Tetapi saya juga pernah melakukannya, baik saat beli buku dan beli makanan. Beruntung saya tidak punya pantangan berlebihan terhadap makanan. Hanya sekadar mau dan tidak mau saja yang membatasi selera saya.