Apakah ketika terjadi cek-cok atau perselisihan yang diingat atau yang merekatkan kembali adalah pesta pernikahannya--karena menguras tabungan? Bukankah yang seharusnya menyelamatkan biduk rumah tangga adalah kisah-kisah pertemuan pertama para pasangan tersebut?
Tanpa pertemuan pertama, bagaimana cinta itu bisa bersemi dan bermuara ke janji hidup semati, bukan? Apa ikatan pernikahan harus dipertahankan karena tidak mau rugi akibat gelaran resepsi tujuh hari-tujuh malam? Seharusnya tidak.
Itulah mengapa, ketika corona sedang merajalela seperti ini kita harus meminimalisir adanya social interaction. Termasuk yang diciptakan oleh pesta pernikahan.Â
Toh, KUA masih bisa kok melayani akadnya. Jadi, mengapa masih memaksakan untuk menggelar resepsi, jika tujuannya hanya meresmikan hubungan?
Baca juga: Gantikan Resepsi dengan Bagi-bagi Makanan (Arif Pangerans)
Apabila memang ingin menyiarkan rasa syukurnya, maka bisa diganti perwujudannya. Misalnya, dengan aksi membagikan makanan ke tetangga sekitar.Â
Atau, bisa juga mengalihkan dana resepsinya ke bakti sosial untuk membantu tim medis memenuhi kebutuhan APD-nya. Perwujudannya memang berbeda, tapi nilainya sama, bukan?
Melalui banyak ilustrasi seperti di atas, sebenarnya kita bisa mengetahui bahwa masyarakat adalah pihak yang masih banyak pilihan untuk tetap hidup dan terhindar dari corona.Â
Namun, kitalah yang acapkali tak menyadari hal itu. Terbukti, masih ada kerumunan, pesta pernikahan, hingga penyambutan artis asal kampungnya yang pulang dari Jakarta.
Baca juga: Kejadian Ini Sia-siakan Social Distancing di Acara TV (Deddy Husein S.)
Ini yang sebenarnya membuat pemerintah semakin pusing tujuh keliling, dan kita juga semakin tak kunjung keluar dari cengkeraman pandemi covid-19. Apakah kita hanya menunggu kebijakan pemerintah tanpa benar-benar melakukan apa yang sebaiknya dilakukan?