"Cidro janji tegane kowe ngapusi
Nganti seprene suwene aku ngenteni
Nangis batinku nggrenthes uripku
Teles kebes netes eluh,
(Bang Edu) cendol dawet!"
Semua, "cendol dawet!"
"Cendol cendol, dawet dawet
Cendol cendol, dawet dawet
...
Piro? Limaratusan!
Opo? ra pake ketan!
Ji ro lu pat limo enem pitu wolu!
Takgintakgintak jos!
..."
Duarrrr! Akhirnya, malam Dies Natalis selesai, diiringi dengan ucapan terimakasih dan selamat hari musik nasional oleh Bang Edu yang juga disambut meriah oleh para hadirin.
"Jok, Selamat Hari Musik ya! Semoga kamu semakin cinta dengan musik." Lagi-lagi Mbak Chyntia membuyarkan lamunanku tentang Hari Musik yang seharusnya memang dirayakan oleh siapa saja, bahkan para musisi jalanan.
Itulah kenapa aku juga mengundang Mas Bayu di acara ini. Awalnya aku tidak yakin jika dirinya mau datang, tapi ternyata dia benar-benar hadir dengan membawa istrinya dan dua anaknya.
"Selamat Hari Musik, masbro! Baru kali ini, saya benar-benar merasakan Hari Musik Na-sio-nal. Oya, ngomong-ngomong, kalian berdua cocok loh. Ya kan dek?" Dia menoleh ke istrinya yang disambut dengan senyum dan anggukan.
Duh! Lagi-lagi musim perjodohan masih ada di kala Hari Musik terasa tak lagi bersekat. Tapi, mungkin benar. Kami cocok untuk membawakan semua lagu di masa depan, termasuk campursarian ala Om Didi Kempot.
Terimakasih, Om Didi, Mas Bayu, Mas Andrew, Bang Edu, dan tentunya ibu-bapak yang telah melahirkanku untuk mencintai musik. Semoga aku bisa mencintai musik selamanya seperti yang diucapkan Mbak Chyntia.
Selamat Hari Musik, slur!
Oya, cerita ini aku titipkan ke temanku yang bernama Deddy. Dia kabarnya suka musik dari berbagai genre dan negara walau keliatannya dia hanya seonggok manusia pengetik kata, dan sering bikin telingaku risih mendengar ketikannya yang cepet itu. Tapi, kali ini aku mendukungnya, karena dia mau menceritakan kisah keluguanku yang mungkin tidak asyik untuk dibaca banyak orang.
Salam untukmu, Ded, dan Selamat Hari Musik juga!
Malang, 10 Maret 2020
Deddy Husein S.