Namaku Joko. Bener, tahun 2020 ini sampeyan-sampeyan masih harus mendengar nama itu. Jangan kaget! Tapi, aku juga awalnya kaget. Karena saat masih TK, aku sudah jarang mendengar lagi nama-nama yang sering diceritakan oleh ibuku seperti Agung, Candra, Dwi, Eko, bahkan Ganjar.
Maaf, bukan Pak Ganjar Gubernur Jateng loh. Tapi...
"Joko Urip Santosa!"
"Eh! Iya bu, hadir!"
Ya, begitulah kebiasaanku kalau di kelas, melamun. Padahal baru saja badan ini menemukan tempat untuk duduk dan bersandar. Tapi karena aku selalu memilih tempat duduk di depan jadi tak ada kesempatan bagiku untuk tolah-toleh dan ngobrol bisik-bisik dengan teman.
Oya, tahun ini adalah tahun keduaku jadi arek mahasiswaan. Eh, nggak usah pakai -an, karena nanti dikira ibu, aku tidak niat kuliah. Aku sekarang sudah semester 4, jadi sudah mulai akrab dipanggil kak, bang, dan tentunya mas. Karena aku kalau bicara dengan bahasa nasional memang masih medok.
Lha bagaimana lagi? Aku memang tumplek-bleg di Jawa, karena ibu asli Jawa dan bapak ngakunya Sunda, dan aku belum pernah naik pesawat. Lhoh, tidak ada hubungannya!
Nah, setelah mengenal sedikit tentang jejakku di sisi akademik, mari ikuti perjalananku di bidang lain. Mu-sik!
Sebenarnya aku galau untuk mengungkapkan ini, tapi bagaimana lagi? Faktanya memang aku nyemplung di dunia musik, meski aku gak bisa main musik. Ya bisa sih, cuma genjreng-genjreng fals. Tapi karena kakak tingkat saat itu sedang butuh penggitar, ya aku lolos screening. Katanya, aku langsung bakalan nemenin kating yang diundang jadi ge-es di acara kampus.
Wah, keren dong! Aku kira bakalan jadi pengalaman pertama untuk ngeband. Namun, ndelalah! Justru main akustikan, dan cuma aku dengan si kating yang ternyata mbak-mbak cantik. Duh!
Sebenarnya aku tidak menolak kesempatan itu, apalagi kalau sampai dikaitkan dengan orientasi. Bisa-bisa ibuku malu kalau melihat anak tergantengnya ini ternyata nggak doyan lare estri. Bukan!
Tapi aku ini masih malu. Kualitas genjrenganku masih kalah dengan mas-mas di bus antar kota. Lha kok sekarang mau jadi pengiring nyanyian si mbak cantik, piye toh?
Akhirnya, suatu hari aku kembali bertemu dengan Mas Bayu. Dia sudah aku anggap sebagai teman berbagi cerita tentang musik. Memang, dirinya hanya musisi jalanan yang harus lompat dari satu bus ke bus lainnya, tapi aku menganggap dia punya banyak hal yang dapat kuserap. Termasuk obrolan sambil lalu kami sore itu.
Â
"Saya pernah bilang kan, kalau musik adalah jiwa. Meski saya tidak mampu menjadi musisi beneran, tapi saya sangat menikmati. Dari bus ke bus, saya dapat melihat banyak tanggapan dari para penumpang saat mendengar genjrengan saya. Itulah gajian tetapku."