Ketika mereka melakukan pergantian pelatih, maka yang terjadi adalah progres positif. Di tangan kepelatihan Jacksen F. Tiago (JFT), Persipura kembali ke papan atas secara bertahap.
Namun, hal ini dapat terjadi dengan catatan adanya trustment terhadap pelatih baru--walau JFT bukan orang baru di Persipura.
Baca artikel tentang reuni JFT dan Persipura di sini.
Jika hal ini dapat dilakukan, baik oleh tim manajemen, pemain, dan suporter, maka pihak pelatih juga akan memiliki kepercayaan diri dalam melatih tim tersebut, dan itu terjadi di Persipura.
Memang, pergantian pelatih ini bisa disebut sebagai reunian antara JFT dengan Persipura. Namun, perlu diingat bahwa tidak semua pelatih dan klub yang bereuni dapat menghasilkan kisah manis yang sama.
Namun, di masa reunian tersebut yang terjadi adalah kegagalan. Salah satu faktornya adalah laju modernitas permainan sepak bola di Inggris yang membuat pelatih-pelatih lama berguguran, dan ini juga dialami oleh Liverpool bersama Kenny Dalglish.
Berkaca dengan hal itu, kita dapat melihat bahwa "struktur kehidupan" di dalam sepakbola sangatlah kompleks. Kita tidak bisa seratus persen menargetkan juara hanya dalam masa kerja di satu musim.
Kita juga harus memiliki banyak plan, dan seharusnya ini dapat dijalankan oleh pihak tim manajemen seluruh klub di Liga 1.
Sebenarnya, mereka juga telah berupaya maksimal dalam urusan membangun plan. Namun jika boleh memilih, ada sebuah klub yang merepresentasikan adanya planning matang khususnya di kompetisi Liga 1, klub itu adalah Bali United.
Bali United memang secara manajemen sempat menuai banyak kritikan, seperti yang pernah tersampaikan di artikel beberapa waktu lalu (baca di sini). Di situ, kita dapat melihat pula bahwa pihak manajemen Bali United telah belajar dari "kekacauan" di Liga 1 2018.
Mereka yang sebenarnya menjadi pesaing kuat dalam perebutan gelar juara selama dua musim berturut, justru terpuruk dan itu disebabkan oleh pergantian pelatih secara mendadak--lebih tepatnya Widodo C. Putro mundur dari kursi pelatih Bali United.