Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Timnas Indonesia Kalah Lagi, Siapa Kambing Hitamnya?

17 Oktober 2019   08:00 Diperbarui: 17 Oktober 2019   08:04 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Starting line-up di laga menjamu Vietnam (15/10) di Stadion I Wayan Dipta, Bali. (Indosport.com)

Inilah yang selalu dilakukan oleh masyarakat Indonesia baik di dunia nyata dan maya (netizen), ketika timnas Indonesia untuk keempat kalinya menderita kekalahan di fase pra-kualifikasi Piala Dunia 2022 Qatar. Dari pemain, pelatih, hingga PSSI, mereka semua seperti tidak ada yang melakukan hal yang benar. Ironis!

Apakah memang seperti itu? Itulah yang kemudian dipertanyakan.

Kita mulai dari pemain. Karena, pemain adalah pihak yang sangat disorot ketika setiap tim sepakbola menuai beragam hasil pertandingan; menang, kalah, dan imbang. Timnas Indonesia di pra-kualifikasi Piala Dunia 2022 ini menjadi salah satu negara yang melakukan banyak perombakan dalam skuadnya termasuk di dalam starting eleven-nya.

Sebenarnya situasi tersebut bisa dirasa wajar, walau di sisi lain juga patut dipertanyakan. Namun yang pasti, keberadaan banyak pemain yang dipanggil di skuad pra-kualifikasi ini sangat patut untuk diperhatikan termasuk dinilai (layak dan tidaknya dipanggil).

Dimulai dari penjaga gawang. Tentu kita tahu kiper Indonesia yang pertama kali dipercaya untuk memperkuat timnas di ajang ini adalah Andritany Ardhiyasa. Kiper asal Persija itu bahkan didapuk pula sebagai kapten tim. Bagaimana hasilnya?

Dua laga dengan kemasukan 6 gol, membuat masyarakat khususnya penggila bola timnas Garuda merasa Andritany patut diganti atau diparkir terlebih dahulu. Tentu saran ini menuai pro dan kontra. Ada yang bilang, bahwa menentukan kiper timnas bukan perkara mudah, bahkan penentuannya bisa dikatakan paling sulit dibandingkan posisi yang lain. Apakah itu benar?

Jika merujuk pada sejarah kiper timnas dalam 1-2 dekade, hal itu bisa diamini. Berapa tahun posisi di bawah mistar gawang timnas harus digantikan dari masa Jendri Pitoy, Hendro Kartiko, Markus Horison, Kurnia Meiga, hingga Andritany. Bisa dikatakan, merekalah kiper sesungguhnya timnas Indonesia meski tak memungkiri, bahwa ada nama-nama Ferry Rotinsulu, I Made Wirawan, termasuk Wahyu Tri Nugroho, dan Endra Prasetya pun pernah menyicipi posisi kiper timnas Indonesia.

Namun, publik lebih familiar dengan deretan nama yang disebutkan terlebih dahulu. Karena, memang mereka yang paling banyak mengisi pos itu dalam kurun waktu yang cukup sesuai dengan "periode masa bakti". Mungkin, satu-satunya kiper yang disayangkan karirnya tidak mampu berbicara banyak di level timnas adalah Ferry Rotinsulu. Karena, dia berada di satu masa dengan Markus Horison yang saat itu memang menjadi kiper terbaik Indonesia (hingga 2010).

Bagaimana dengan sekarang? Tidak perlu berandai bahwa bagaimana jika Kurnia Meiga tidak "cuti", melainkan kita menerima saja waktunya Andritany seperti saat ini. Maka, apa yang terjadi? Apakah layak atau beruntung?

Baca juga: Menanti Aksi Wawan di Timnas Indonesia

Terlepas dari statistik selama di timnas maupun di klubnya (Persija), Andritany memiliki pola permainan yang menarik dibandingkan kiper-kiper yang lain. Jika kemudian apakah dirinya memiliki leadership atau tidak, bisa dikatakan sejauh ini hanya ada dirinya yang paling senior dan pola komunikasinya paling terasah dibandingkan pemain lain yang ada di timnas saat ini. Sehingga, Andritany masih dapat dikedepankan.

Lalu, bagaimana dengan permainannya secara teknis?

Jika kembali pada filosofi jadul pada sepakbola, maka tidak ada pemain yang mutlak hebat (superior) dan inferior. Karena, di lapangan ada 11 pemain. Ketika ada satu pemain yang sedang tidak bagus -ketika sudah terlanjur di lapangan, maka rekan yang lain akan berupaya menutupi. Itu berlaku pada setiap posisi, termasuk kiper dan tentunya pada Andritany.

Maka, dengan perhitungan yang demikian, permainan negatif dan positif pada Andritany juga dapat disandingkan dengan Wawan dan M. Ridho. Wawan di level klub memang bagus. Kenapa? Rutinitas di klub, pertemanan, komunikasi, itu membuat Wawan dapat nyetel dengan rekannya. Situasi ini juga sama seperti M. Ridho. Dia juga (pasti) lebih memahami gaya permainannya Jaimerson dan Fandi Imbiri ataupun Fachrudin Aryanto (sebelum dipinjamkan ke Persija) dibandingkan Yanto Basna, Hansamu, dan Otavio Dutra.

Di sini kemudian yang diperlukan adalah kebiasaan -bertemu dengan banyak pemain di TC timnas- dan pemain yang paling bisa mengatasinya adalah Andritany. Karena dia sudah ada di bagian timnas sejak Kurnia Meiga masih di bawah mistar timnas Indonesia. Wawan dan M. Ridho? Bahkan, mereka seharusnya tidak dipilih soal jam terbang. Karena, ada Awan Setho yang sudah sering dipanggil timnas senior.

Bahkan, dua nama ini di level junior juga tidak memiliki track record sebaik Awan Setho dan M. Riyandi yang kini menjadi kiper timnas U-23. Artinya, patokan untuk memilih kiper timnas lebih rumit dibandingkan di level klub dan di situlah nama Andritany masih pantas diutamakan.

Namun, keputusan yang dilakukan Simon bisa dikatakan "positif". Karena, dia berani berisiko dalam upaya menjawab "tantangan" yang diberikan masyarakat khususnya netizen Indonesia. Yaitu, ketika Andritany diteriaki "boo-boo" saat laga menjamu Thailand, kini mereka kelimpungan untuk menentukan siapa yang akan diteriaki "boo-boo" ketika melihat Wawan dan M. Ridho juga tidak memberikan kenyamanan bagi gawang timnas.

Jadi, apakah ini salah mereka (kiper-kiper timnas itu)?

Beranjak ke bek. Ada deretan nama beken. Hingga, kemarin muncul nama Otavio Dutra. Pemain naturalisasi Brazil yang sudah sangat dinantikan kiprahnya itu akhirnya debut di laga melawan Vietnam. Apa hasilnya? Pertahanan Indonesia tetap bisa ditembus. Apakah kemudian langkah naturalisasi itu lagi-lagi nihil? Jawabannya jelas tidak. Karena, masih ada Yanto Basna, Hansamu, dan lainnya -yang bisa disalahkan.

Keputusan krusial, namun patut diacungi jempol ketika Simon lebih memilih Yanto dibandingkan Hansamu untuk berduet dengan Otavio Dutra. Ini lagi-lagi diprediksi sebagai langkah Simon untuk menjawab kritikan netizen (bahkan juga penulis) yang menginginkan timnas Indonesia memarkir Hansamu. Bagaimana hasilnya?

Nyaris 1-4. Beruntung penalti kedua Vietnam mampu ditahan M. Ridho, betul?

Inilah yang kemudian menjadi polemik ketika tidak ada jaminan bahwa siapa yang patut disalahkan. Termasuk bek-bek sayap. Di seluruh pertandingan timnas, kebanyakan bek-bek sayap timnas adalah posisi yang bisa disebut paling aman. Karena, kebanyakan pemain yang mengisi lini ini masih bisa dikatakan tepat. Atau lebih tepatnya disebut sebagai pemain yang minim melakukan blunder.

Lalu apakah ini salah pemain gelandang bertahan, khususnya ketika pertahanan timnas mudah dikoyak?

Ada nama Zulfiandi, Hanif Sjahbandi, hingga Bayu Pradana dimunculkan oleh Simon McMenemy dan hasilnya? Seperti yang kita lihat di Stadion I Wayan Dipta tersebut. Apakah kemudian ini menjadi beban pemain inisiator serangan?

Evan Dimas adalah pemegang kendali ketika di lapangan tidak ada nama Andik Vermansah. Tentu itu adalah keniscayaan. Namun, bagaimana dengan perannya, apakah sudah patut disebut jenderal lapangan tengah timnas? Apakah dia sudah lebih baik dari Stefano Lilipaly?

Tentu saja tidak bisa dibandingkan. Namun, terbukti keberadaan Evan Dimas di laga keempat ini adalah upaya mengembalikan fungsi dan tujuan timnas di laga ini untuk menguasai penyerangan. Karena, ini adalah penebusan dari strategi defensif timnas kala bertandang ke Uni Emirat Arab sebelumnya. Apakah kemudian keputusan ini salah?

Jika timnas menang (tipis) dan Evan Dimas mencetak assist atau gol, pasti pemain Barito Putera ini akan disebut sebagai pemain yang berhasil menjalankan perannya sebagai penguasa lini tengah. Namun, yang menjadi persoalan adalah timnas kalah dan hanya mencetak sebiji gol dan itu ditorehkan oleh akselerasi Riko dan finishing Irfan Bachdim. Akhirnya, permainan Evan Dimas disebut-sebut telah gagal. Namun, apakah itu betul?

Hal ini juga menjadi rancu, ketika Simon masih memercayai Riko bertahan sampai akhir pertandingan dengan didukung adanya Irfan Bachdim. Di sini pula kita mulai bisa melihat satu hal yang kemudian dapat menyadarkan kita tentang apa yang harus dilakukan timnas. Apa itu?

Trustment dan team work.

Kepercayaan kepada rekannya telah berhasil dilakukan oleh Irfan Bachdim. Dirinya terus mengikuti pergerakan Riko yang berusaha keras membawa bola menembus pertahanan Vietnam. Hasilnya, pemain binaan Ajax tersebut mendapatkan bola second opinion dari Riko Simanjuntak. Serrrr! Gol hiburan tercipta.

Sedangkan team work lebih terlihat dilakukan oleh Riko meski ada upaya dari pemain lain saat terjadi momen serangan balik untuk timnas Indonesia.

Namun, apa yang dilakukan Riko adalah bentuk sesungguhnya dari team work dan dia juga menjalankan peran sesungguhnya yang dicari oleh timnas sejak laga-laga sebelumnya. Yaitu, sebagai pemain yang ngeyel dan yakin untuk membentuk kerja sama dan tentunya dia perlu menyeret pemain depan (rekannya) untuk mengikuti dirinya ketika dia berhasil menguasai bola.

Ketika keyakinan membangun team working ini berhasil dilakukan, maka yang terjadi adalah seperti yang dilakukan Riko. Sebenarnya, pola seperti ini juga sering dilakukan oleh Andik Vermansah.

Namun entah mengapa, di dua laga terakhir saat membela timnas, kita sulit melihat Andik sangat suportif terhadap lini depan dan beruntungnya Riko sedikit mampu memulihkan itu.

Lalu, apakah kemudian keberadaan Riko menjadi jawaban tepat bagi Simon untuk misi "epic comeback" di second leg (sisa laga di pra-kualifikasi)?

Jawabannya tentu 50-50. Ya, jika Riko berhasil menjaga polanya yang tidak egois seperti itu. Namun juga dapat dijawab tidak, jika Riko mulai kambuh selfish-nya dan menyia-nyiakan momentum seperti ketika dirinya sulit untuk membagi bola ke rekannya saat di Persija dalam beberapa waktu kemarin. Biasanya hal ini timbul ketika Riko tidak menemukan sosok yang tepat untuk menjadi sasaran end-passing darinya.

Artinya, dari segi pemain timnas Indonesia sangat sulit untuk dicari kambing hitamnya. Bahkan, kita tidak bisa juga menyebutkan nama Beto apalagi Lerby di sini. Karena Beto juga sudah berupaya keras, alih-alih Lerby yang masih minim kesempatan. Sulit!

Apakah kemudian ini salah Simon?

50% jawabannya adalah iya. Karena, dirinya sejak dua laga kekalahan di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) semakin tidak terlihat pola yang jelas. Walau, di babak pertama lawan UEA bisa dikatakan bagus -baca ulasannya di sini. Namun, di laga itu dirinya dapat dikatakan seperti banyak berjudi dengan eksperimen. Ternyata hal ini juga disebutkan oleh Binder Singh*. Di sini pun, Simon disebutkan sebagai pihak yang sedang bereksperimen.

*tonton videonya/ungkapan Binder Singh:

Salah satu wujud nyatanya adalah melalui pemain. Wawan Hendrawan masuk, Dendi Santoso masuk, M. Ridho masuk (di laga kemarin), Riko masuk, Dutra masuk, hingga Wawan Febrianto pun masuk. Hampir "paket komplit" dalam eksperimen tersebut. Wow!

Di satu sisi jelas ini menunjukkan Simon sangat open minded. Namun, di sisi lain, ini konyol. Karena, timnas seperti menjadi bahan eksperimen yang kemudian gagal total. Lebih tepatnya menjadi lumbung gol di grup G. Di mana peran Simon sebagai penguasa taktik (head coach)?

Hal ini tidak lepas karena sangat terbukanya opsi di dalam taktiknya yang kemudian membuat timnas seperti bermain bukan berdasarkan apa keinginannya. Jika kemudian timnas bermain di lapangan seperti itu, maka kita seperti melihat kembali timnas bermain di arahan Bima Sakti kemarin. "Sakarepe pemaine dewe". Lalu, apa gunanya memiliki pelatih asing?

Namun tunggu dulu! Karena, kita masih punya jawaban 50% yang menyatakan tidak. Karena, berdasarkan open minded-nya, ini juga bukan salah Simon. Justru salahnya siapapun yang berada di balik rekomendasi semua pemain yang sudah merumput di tiga lapangan yang berbeda tersebut.

Bahkan, salah satunya (bisa saja) adalah penulis. Karena, penulis juga menuliskan bahwa kiper Wawan Hendrawan adalah salah satu yang patut dipercaya atau dicoba mengawal gawang timnas. Namun, dengan prediksi, dia (seharusnya) kembali tampil di laga melawan Vietnam untuk menebus aksinya di kandang UEA.

Selain itu, juga ada rekomendasi (dari penulis) secara tersirat tentang tidak dipilihnya Hansamu sebagai starter di lini belakang dengan mencoba opsi lain yang lebih tepat melindungi pertahanan timnas dan tentunya harus ditemani Yanto Basna yang memang terlihat jago "bersih-bersih". Namun, sayangnya "bersih-bersih" yang dilakukan Yanto Basna di laga melawan skuad yang didominasi marga "Nguyen" itu terlihat over.

Baca ulasan sebelumnya di sini dan di sini.

Tentunya ada dua faktor di sini yang meliputi malam buruk Yanto. Yaitu, tidak ada pemain lain yang menjadi kapten dan tidak ada dua nama yang lebih dijagokan di pos kiper; Andritany atau Wawan. Di sini, konsep M. Ridho seperti benar-benar sulit untuk dinilai (lebih sulit dibandingkan Wawan kemarin). Walau tidak bisa dipungkiri, bahwa segelintir netizen juga pasti ada yang menjagokan kiper Madura United itu untuk mengawal gawang timnas pasca laga UEA kemarin (10/10). Wah, bagaimana ini?

Dari sini, kita atau mungkin hanya penulis saja yang seperti sangat bosan jika harus beralih ke subjek lain. Yaitu, menyenggol nama PSSI -untuk dikambinghitamkan. Karena, dengan tugas mereka yang kemarin harus membayar denda pasca kerusuhan suporter di GBK (5/9) tersebut. Maka, peran PSSI (sebagai sasaran kambing hitam) sedikit diabaikan saja. Biarkan saja mereka berbenah sendiri dengan cermin yang mereka punya (kalau ada).

Maka dari itu, pertanyaan tentang siapa yang menjadi kambing hitam atas kekalahan timnas di laga kemarin akan lebih baik digantung saja -di akhir artikel ini. Biarkan siapa saja yang membaca artikel ini menjawab sendiri siapa yang patut dikambinghitamkan. Itu akan lebih bagus, agar masing-masing pihak berintrospeksi diri selayaknya apa yang dikatakan Simon McMenemy (belajar dari timnas Vietnam). Bisakah kita berintrospeksi untuk timnas kita yang semakin berkabung?

Baca juga komentar Irfan Bachdim di sini.

Malang, 16-17 Oktober 2019
Deddy Husein S.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun