Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Korelasi Film "Titisan Dewi Ular" dengan KKN di Desa Penari

5 September 2019   20:12 Diperbarui: 5 September 2019   20:20 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari perpaduan agama, budaya, dan gaya, film ini juga memiliki daya tarik yang kedua. Yaitu dilihat dari segi para pemeran dalam berakting. Di dalam setiap adegannya, kita dapat menyaksikan bagaimana teknik berakting aktor-aktor tersebut masih menggunakan teknik berakting (seperti) di panggung teater. Apa contohnya?

Seperti bagaimana para aktor masih memperhatikan timing untuk mengeluarkan dialog, gestur mini (ekspresi wajah dan gerak anggota badan) dan gestur besar (gerakan berpindah tempat). Hal ini tentu sudah tidak terlihat di film-film masa kini. Bahkan cara akting para aktor di film komedi seperti Warkop DKI pun sudah terlihat lebih "natural" ala adegan yang diatur berdasarkan time on-off recording dari kamera yang menangkap subjek dan objek.

Apakah ini membuat kualitas berakting para aktor terlihat lugu dan lebay? Sebenarnya, tidak demikian. Justru dengan melihat cara berakting tersebut, kita dapat melihat bagaimana adegan film di masa lalu juga seperti implikasi adegan di atas panggung teater, yang mana sangat memperhatikan pola yang seragam dan tertata. Sehingga, teknik semacam ini tentu membutuhkan aktor yang selalu lebih siap "berubah" ketika kamera menyala dalam waktu singkat.

Sedangkan dengan pendekatan cara berakting di masa kini, kita sebagai penonton akan kesulitan untuk meriset bagaimana teknik membangun keaktoran ketika kita tidak berada di balik layar. Begitu pula bagi aktor-aktornya yang memiliki kemungkinan besar dalam meriset dan mendalami keaktorannya karena tuntutannya akan lebih "halus" dan itu membuat penonton di masa kini akan lebih mudah mendeteksi mana aktor yang berkualitas dengan aktor yang kurang berkualitas.

Berbeda dengan keaktoran yang kita tonton di film Titisan Dewi Ular ini yang lebih sulit untuk dideteksi siapa aktor yang kurang kualitas beraktingnya, karena semua teknik beraktingnya sama antara satu aktor dengan aktor lainnya. Inilah yang membuat film tersebut mampu memperlihatkan ciri tersendiri yang mungkin sudah punah pada dewasa ini.

Poin ketiga yang muncul dari film ini adalah adanya unsur musikal. Uniknya lagi, musik dan gaya musikalnya tidak mengambil budaya dari Jawa, melainkan menggunakan lagu yang saat itu sedang hits, "Judul-judulan". Lagu itu milik Jhonny Iskandar ataupun OM PMR yang mana di masa itu keduanya (Oom Jhonny dan OM PMR) masih bersama.

Dari liriknya, lagu ini bahkan cukup diidentikan dengan unsur budaya Betawi karena ada teknik rima yang mirip pantun dan adanya "bang" dan "neng" mirip pantun berbalas antara dua orang (perempuan dan laki-laki). Ini yang membuat film ini unik sekaligus menarik meski di masa itu, gaya film yang memasukkan unsur musikal masih jamak (termasuk film-film Warkop DKI).

Sisi selanjutnya yang kemudian dapat menjadi keunikan terakhir dari film yang digarap di PT. Inter Pratama Studio Lab. Jakarta itu adalah keberadaan alur-alur yang cepat berganti alias transisi adegannya terlihat cepat beralih dari adegan A ke adegan B. Pola ini tentu sudah tidak banyak terjadi di film-film masa kini.

Bahkan, film-film di masa kini yang sudah ditata serapi mungkin alur adegannya, terkadang masih dapat dilihat celah yang merujuk pada kehilangan alur pada suatu adegan, alias menimbulkan pertanyaan dalam hal sebab-akibat. Inilah yang ternyata masih muncul di film lawas ini. Namun, dikarenakan film ini tinggal mengandalkan publikasi di laman internet penyedia film, dapat diduga pula jika mungkin terdapat pemotongan adegan di luar dari produk aslinya -mungkin dokumentasi filmnya ada kerusakan yang mengharuskan adanya pemotongan adegan.

Dari keempat keunikan dan menariknya film lawas Suzanna ini kita dapat menjadikan film ini sebagai hiburan yang menarik ketika kita (masih) sedang dirundung viralnya KKN di Desa Penari. Bahkan rumornya ada yang berharap kisah itu dapat diangkat di layar lebar. Sehingga, jika merujuk pada apa yang terjadi saat ini maka tontonan horor maupun yang ada unsur ular-ularnya seperti Titisan Dewi Ular akan sangat dinantikan.

Lalu, apakah di antara kalian sudah menonton film yang sudah nyaris berusia 3 dekade itu?
Jika sudah, bagaimana menurut kalian -tentang film tersebut?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun