Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Korelasi Film "Titisan Dewi Ular" dengan KKN di Desa Penari

5 September 2019   20:12 Diperbarui: 5 September 2019   20:20 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampul film Titisan Dewi Ular (1990). |Tribunnews.com/Surya.co.id

Semua orang tentu sudah tahu tentang viralnya KKN di Desa Penari. Bahkan cerita yang beredar di media sosial sangat banyak dan dari berbagai versi. Tidak ingin tertinggal dari viralnya KKN di Desa Penari itu, Kompasiana juga memberikan kesempatan kepada para kompasianer untuk berbagi kisah, entah dari pengalaman pribadi maupun rekan dari kompasiners.

Berhubung penulis hampir tidak memiliki pengalaman horor, maka penulis lebih suka mengaitkan viralnya KKN di Desa Penari dengan sebuah film legenda yang dirilis tahun 1990. Film itu tentunya merupakan produksi Indonesia dan diperankan oleh aktris legenda yang dikenal perannya identik di film-film ber-genre horor, Suzanna.

Film tersebut berjudul "Titisan Dewi Ular". Menariknya, film ini tidak berkorelasi dengan mitologi "Nyi Blorong". Karena, setting dari film ini lebih "kekinian" pada saat itu. Sehingga, tidak ada kaitannya dengan mitologi yang masih sangat dikenal oleh generasi kelahiran 90-an awal (mungkin ada yang kelahiran 98 menuju awal 2000-an yang tahu mitos Nyi Blorong.

Film yang disutradarai oleh Sisworo Gautama Putra. Beliau adalah salah seorang sutradara yang memang sudah beberapa kali bekerja sama dengan Suzanna di beberapa film termasuk film yang mendapatkan rating 5,6/10 di IMDb tersebut.

Selain Suzanna, ada aktor muda yang kini menjadi pejabat daerah di Maluku, yaitu Jeffry Waworuntu. Saat itu, ia lebih dikenal dengan Jeffry Daniel. Tentunya menjadi suatu hal yang menarik ketika melihat aktor muda yang sedang hits di masa itu beradu akting dengan aktris berpengalaman seperti Suzanna.

Jika merujuk pada tahun kelahiran Suzanna, 1942, maka saat itu Suzanna sudah berusia sekitar 48 tahun. Namun, di film itu fisik Suzanna masih terlihat awet muda dan bahkan masih dapat memerankan tokoh Kemala yang dipatok sebagai seorang gadis pemetik teh di kebun milik calon suaminya yang diperankan oleh Jeffry.

Secara sekilas film ini dapat disebut horor. Namun, sebenarnya film ini jauh dari kesan horor. Hanya, karena keberadaan ular yang dapat berwujud menjadi perempuan (Kemala) membuat film ini bernuansa mencekam.

Lalu, mengapa film ini lebih related dengan viralnya KKN di Desa Penari dibandingkan film Suzanna lainnya yang berjudul "Perkawinan Nyi Blorong" atau "Petualangan Cinta Nyi Blorong"?

Pertama, setting kehidupan. Kehidupan yang diangkat di film tersebut bisa dikatakan sama seperti saat ini. Sudah ada mobil dan ada sistem pendidikan kuliah ke luar negeri (Jeffry/Radi lulus kuliah di London). Hal ini sama seperti setting di kisah KKN di Desa Penari. KKN (Kuliah Kerja Nyata) tersebut merupakan bagian dari sistem akademik di dunia perkuliahan yang biasanya membuat program yang dapat dijalankan di tempat-tempat tertentu (biasanya akan mengambil daerah pedesaan).

Kedua, tentang ular yang dapat menjadi/menyerupai manusia. Jika di film tersebut, kita dapat melihat ular anak Dayan (si pertapa yang mendapat karma buruk melalui wujud anaknya) menjadi perempuan yang bernama Kemala. Maka, di kisah KKN di Desa Penari, kita dapat menduga bahwa sosok ular yang ada di Desa Penari dapat menyerupai manusia (perempuan) yang kemudian dapat memikat salah seorang mahasiswa yang sedang KKN tersebut.

Ketiga, adanya kisah romansa yang menghubungkan antara ular dan manusia. Di film yang juga terdapat Ade Irawan (Ibu Radi) dan Muni Cader (Dayan) sebagai pemerannya itu menghadirkan kisah percintaan yang terjalin antara Radi dengan Kemala. Radi yang baru tiba dari London ternyata lebih terpikat oleh Kemala dibandingkan Adinda yang awalnya dijodohkan untuk Radi.

Kisah romansa ini juga mirip dengan KKN di Desa Penari. Konon kabarnya ada salah seorang mahasiswa laki-laki dari kelompok KKN tersebut yang terpikat oleh perempuan cantik yang kemudian diyakini merupakan jin ular. Keberadaan unsur romansa di balik kisah KKN di Desa Penari itu membuatnya dapat related dengan film tersebut.

Memang yang menjadi pembeda adalah kisah KKN di Desa Penari lebih mengedepankan unsur mistis karena wujud dari ular yang mampu menyerupai manusia itu diyakini sebagai jin penunggu di desa tersebut, alih-alih manusia. Sedangkan, di film Titisan Dewi Ular, kita akhirnya mengetahui bahwa Kemala sebenarnya dilahirkan untuk menjadi manusia. Namun, karena ayahnya memiliki karma buruk, maka anak perempuannya dikutuk sementara oleh (semacam) Dewa Ular yang bermahkota Kemala Sakti itu untuk menjadi ular.

Dari sini kita bisa mulai mengetahui bagaimana korelasi antara film jadul itu dengan kisah horor viral yang kabarnya dapat bertahan di puncak trending topik selama lebih dari 24 jam di sebuah media sosial. 

Di sisi lain, ulasan tentang film ini tidak hanya dimunculkan karena mengikuti arus viralnya KKN di Desa Penari namun juga karena film ini memberikan wawasan yang berbeda bagi generasi masa kini yang sudah lebih terbiasa dengan film keluaran 2010-an dan akan cukup beruntung jika pernah menonton film-film keluaran 2000-an.

Dikarenakan film ini mengudara di tahun 1990 (beberapa tahun sebelum penulis lahir), maka ada beberapa hal yang membuat film ini terlihat menarik dan berbeda dibandingkan film masa kini. Apa saja?

Pertama, adanya perpaduan antara unsur agama, budaya, dan gaya.
Agama memang hampir dipastikan selalu muncul di setiap film dan biasanya akan hanya mengambil satu sudut pandang agama saja. Hanya beberapa film tertentu yang menyajikan sudut pandang ataupun setting dari agama yang lebih dari satu. Seperti Ave Mariam dan Tanda Tanya.

Di film Titisan Dewi Ular ini, agama yang diambil adalah Islam dengan bagaimana adanya ucapan salam yang menggunakan cara Islam dan pernikahan yang juga menggunakan cara Islam. Selain itu ada penggunaan pakaian yang memadukan antara pakaian ala Islam dengan budaya Jawa. Yaitu, penggunaan kebaya yang dipadukan dengan hijab.

Paduan antara agama Islam dan budaya Jawa tidak hanya berwujud pakaian saja namun juga dari bahasa. Selain menggunakan salam dengan cara Islam, di film tersebut juga memunculkan gaya berbicara dengan logat maupun kata-kata yang berasal dari Jawa. Hal ini dapat dilihat dari cara berdialog tokoh ibu Radi dan ayah Adinda.

Selain itu, ada pula gaya atau style yang dimunculkan di film ini. Jika merujuk pada cara berpakaian Adinda dan Radi, kita dapat berpikir jika film ini juga menampilkan selera fashion yang dipengaruhi western, entah Inggris, Belanda, atau mungkin Amerika Serikat (AS). Tidak selesai di situ, tipe rumahnya pun dapat dikatakan sudah modern dengan keberadaan kolam renang. 

Ditambah pula dengan adanya "penjualan" daya tarik yang ditampilkan melalui keberadaan pembantu rumah tangga (PRT) Radi yang berpakaian cukup terbuka dan seksi seperti film-film era kerajaan lama Britania (dapat dilihat melalui contoh film Cinderella dan Beauty and The Beast) yang pakaiannya "menonjolkan" salah satu bagian feminitas perempuan.

Dari perpaduan agama, budaya, dan gaya, film ini juga memiliki daya tarik yang kedua. Yaitu dilihat dari segi para pemeran dalam berakting. Di dalam setiap adegannya, kita dapat menyaksikan bagaimana teknik berakting aktor-aktor tersebut masih menggunakan teknik berakting (seperti) di panggung teater. Apa contohnya?

Seperti bagaimana para aktor masih memperhatikan timing untuk mengeluarkan dialog, gestur mini (ekspresi wajah dan gerak anggota badan) dan gestur besar (gerakan berpindah tempat). Hal ini tentu sudah tidak terlihat di film-film masa kini. Bahkan cara akting para aktor di film komedi seperti Warkop DKI pun sudah terlihat lebih "natural" ala adegan yang diatur berdasarkan time on-off recording dari kamera yang menangkap subjek dan objek.

Apakah ini membuat kualitas berakting para aktor terlihat lugu dan lebay? Sebenarnya, tidak demikian. Justru dengan melihat cara berakting tersebut, kita dapat melihat bagaimana adegan film di masa lalu juga seperti implikasi adegan di atas panggung teater, yang mana sangat memperhatikan pola yang seragam dan tertata. Sehingga, teknik semacam ini tentu membutuhkan aktor yang selalu lebih siap "berubah" ketika kamera menyala dalam waktu singkat.

Sedangkan dengan pendekatan cara berakting di masa kini, kita sebagai penonton akan kesulitan untuk meriset bagaimana teknik membangun keaktoran ketika kita tidak berada di balik layar. Begitu pula bagi aktor-aktornya yang memiliki kemungkinan besar dalam meriset dan mendalami keaktorannya karena tuntutannya akan lebih "halus" dan itu membuat penonton di masa kini akan lebih mudah mendeteksi mana aktor yang berkualitas dengan aktor yang kurang berkualitas.

Berbeda dengan keaktoran yang kita tonton di film Titisan Dewi Ular ini yang lebih sulit untuk dideteksi siapa aktor yang kurang kualitas beraktingnya, karena semua teknik beraktingnya sama antara satu aktor dengan aktor lainnya. Inilah yang membuat film tersebut mampu memperlihatkan ciri tersendiri yang mungkin sudah punah pada dewasa ini.

Poin ketiga yang muncul dari film ini adalah adanya unsur musikal. Uniknya lagi, musik dan gaya musikalnya tidak mengambil budaya dari Jawa, melainkan menggunakan lagu yang saat itu sedang hits, "Judul-judulan". Lagu itu milik Jhonny Iskandar ataupun OM PMR yang mana di masa itu keduanya (Oom Jhonny dan OM PMR) masih bersama.

Dari liriknya, lagu ini bahkan cukup diidentikan dengan unsur budaya Betawi karena ada teknik rima yang mirip pantun dan adanya "bang" dan "neng" mirip pantun berbalas antara dua orang (perempuan dan laki-laki). Ini yang membuat film ini unik sekaligus menarik meski di masa itu, gaya film yang memasukkan unsur musikal masih jamak (termasuk film-film Warkop DKI).

Sisi selanjutnya yang kemudian dapat menjadi keunikan terakhir dari film yang digarap di PT. Inter Pratama Studio Lab. Jakarta itu adalah keberadaan alur-alur yang cepat berganti alias transisi adegannya terlihat cepat beralih dari adegan A ke adegan B. Pola ini tentu sudah tidak banyak terjadi di film-film masa kini.

Bahkan, film-film di masa kini yang sudah ditata serapi mungkin alur adegannya, terkadang masih dapat dilihat celah yang merujuk pada kehilangan alur pada suatu adegan, alias menimbulkan pertanyaan dalam hal sebab-akibat. Inilah yang ternyata masih muncul di film lawas ini. Namun, dikarenakan film ini tinggal mengandalkan publikasi di laman internet penyedia film, dapat diduga pula jika mungkin terdapat pemotongan adegan di luar dari produk aslinya -mungkin dokumentasi filmnya ada kerusakan yang mengharuskan adanya pemotongan adegan.

Dari keempat keunikan dan menariknya film lawas Suzanna ini kita dapat menjadikan film ini sebagai hiburan yang menarik ketika kita (masih) sedang dirundung viralnya KKN di Desa Penari. Bahkan rumornya ada yang berharap kisah itu dapat diangkat di layar lebar. Sehingga, jika merujuk pada apa yang terjadi saat ini maka tontonan horor maupun yang ada unsur ular-ularnya seperti Titisan Dewi Ular akan sangat dinantikan.

Lalu, apakah di antara kalian sudah menonton film yang sudah nyaris berusia 3 dekade itu?
Jika sudah, bagaimana menurut kalian -tentang film tersebut?

Malang, 5 September 2019
Deddy Husein S.

Referensi:

IMDb.com dan Tentangsinopsis.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun