Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Semarak Gebyar HAN 2019 dan GERNASBAKU di Kota Malang

27 Juli 2019   17:47 Diperbarui: 27 Juli 2019   17:54 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Contoh publikasi Gebyar PAUD beserta ragam agendanya yang diadakan oleh kampus di Purwakarta. (Dokpri/screenshot)

Menggunakan istilah populer, "tidak ada gading yang tak retak", maka, acara ini juga seperti itu. Ada sisi keunggulan dan sisi kekurangan. Sisi keunggulannya sudah sangat jelas, bahwa acara ini dapat diikuti oleh hampir semua lembaga TK di Kota Malang dan mereka mampu menghadirkan suasana ceria yang terbalut dari ekspresi gembira dan dresscode cerah. Apalagi, acara ini juga mengolaborasikan Gebyar HAN dengan GERNASBAKU yang sedang digencarkan oleh pemerintah pusat melalui bidang pendidikannya.

Sedangkan dari sisi kekurangan, acara ini memiliki celah di beberapa hal.
Dimulai dari koordinasi panitia dengan peserta. Ini lebih mengarah pada kesiapan panitia dalam menyediakan atribut peserta dan pengisi acara. Pengisi acara ini bisa menyasar pada guru-guru yang terlibat di tari dan juga orang-orang yang dipilih sebagai instruktur senam bersama.

Secara khusus, di bagian ini yang disorot paling utama adalah penyeragaman atribut peserta. Terdengar kabar, bahwa stok dresscode yang digunakan oleh guru dan murid ada yang kurang. Jumlahnya pun tak sedikit karena memang pesertanya pun sangat banyak.

Namun, hal ini seharusnya bisa diantisipasi jauh-jauh hari. Karena sedikit menyedihkan, jika benar bahwa panitia sekelas orang-orang dari jajaran pemerintahan tidak memiliki pencanangan plan A, B, C, hingga D untuk mempersiapkan acara ini. Apalagi jika itu hanyalah mengenai penyediaan seragam. Jika sudah jelas yang ikut mencapai 6000-an peserta (seharusnya bisa lebih), maka akan terasa mustahil terpenuhi jika hanya mengandalkan satu konveksi yang sama, walaupun konveksi itu besar dan terpercaya.

Jumlah 6000 itu tidak sedikit walau tidak sangat banyak, karena itu hanya sekitar 5% dari total penduduk Indonesia (269 juta). Namun, tetap saja itu adalah jumlah yang banyak dari lingkup satu kota. Sehingga, seharusnya penyiapan seragam dapat dipertimbangkan dengan menyebarkan jaringan kerja sama ke lebih dari satu konveksi. Jika dalam satu konveksi misalnya dapat mengakomodir produksi dresscode maksimal 3000, maka panitia harus memiliki dua konveksi untuk mengerjakannya.

Atau dapat dibagi-bagi sesuai dengan jenis dresscode-nya. Misalnya, dresscode untuk guru dipesankan ke konveksi A, maka untuk dresscode anak-anak dapat dipesankan ke konveksi B. Termasuk juga perihal jika penyediaan bahan untuk dresscode anak tidak dapat ditanggung oleh satu konveksi, maka bisa disebarkan ke beberapa konveksi. Misalnya dengan membagi rata per konveksi memproduksi 1000 dresscode. Maka, dibutuhkan 5-6 konveksi yang dapat menghasilkan 5000-6000 dresscode untuk anak.

Jika konveksinya banyak, maka tenggat waktu dalam menghasilkan dresscode itu juga akan lebih cepat. Termasuk jika salah satu konveksi kehabisan bahan sedangkan yang lain masih tersedia bahannya, maka dapat dilakukan pemindahan produksi dari satu konveksi ke konveksi lainnya. Memang, akan sedikit rumit soal negosiasi (menyamakan harga, standar, dan target), namun dengan embel-embel acara yang resmi (dari pemerintah), biasanya pihak partnership akan lebih kooperatif.

Pemikiran semacam ini seharusnya bisa dijalankan pihak panitia tanpa bergantung pada pernyataan kesanggupan dari pihak konveksi. Karena pihak konveksi adalah pebisnis, sehingga sebagai orang-orang bisnis pasti akan memiliki kebiasaan berani menyanggupi plan A yang ideal meski pada akhirnya belum tentu kesampaian.

Dresscode guru, anak-anak, instruktur, dan keberadaan panggung di Gebyar HAN 2019. (Dokpri/Safira)
Dresscode guru, anak-anak, instruktur, dan keberadaan panggung di Gebyar HAN 2019. (Dokpri/Safira)

Sehingga, sebagai pihak panitia seharusnya tidak termakan oleh pola kerja pebisnis. Mereka harus punya cara kerja yang berbeda. Karena, mereka tidak dituntut untuk berkreasi mencari keuntungan sebesar-besarnya, melainkan dituntut untuk bekerja secara rasional dan ideal, bukan mengandalkan spekulasi.

Jika hal ini dapat diperhitungkan dengan baik, maka insiden seragam habis karena kehabisan bahan tidak akan terjadi. Apalagi ini bukanlah acara pertama yang diselenggarakan oleh pemkot dan diknas Kota Malang yang berkaitan dengan HAN, maka seharusnya bisa lebih antisipatif dan solutif dibandingkan reaktif (dengan meminta maaf) saja. Apalagi jika tidak ada solusi, maka panitia yang tentunya sudah bekerja keras tetap akan dianggap cacat oleh pihak peserta apalagi oleh penonton dan pengamat (yang hanya melihat dari jauh).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun