Tottenham Hotspur berakhir. Skor akhir adalah 2-3 untuk kemenangan tim tamu, Tottenham Hotspur. Tim asuhan Mauricio Pochettino ini berhasil mengandaskan mimpi Ajax untuk menjejak kembali final Liga Champions setelah era 90-an berlalu. Ya, cukup lama Ajax tak lagi menyentuh final Liga Champions setelah mereka terakhir kali menjadi runner-up sekaligus menunda asa klub asal Belanda ini untuk meraih trofi kelima Liga Champions.
Pertanyaan ini langsung hadir ketika pertandingan semifinal leg kedua antara Ajax Amsterdam vsIronisnya, Ajax tersingkir dengan berawal dari modal meyakinkan, yaitu unggul agregat 3-0 (1-0) sampai babak pertama berakhir. Ada beberapa hal yang dapat diungkap di laga ini mengenai permainan Ajax.
Di mulai dari permainan di babak pertama. Yaitu, Ajax bermain langsung menekan pertahanan Spurs sejak menit pertama. Ada suatu perbedaan yang dilakukan oleh Erik Ten Hag terhadap permainan Ajax di laga ini dibandingkan laga-laga sebelumnya. Ten Hag sepertinya ingin menjauhkan asa Spurs untuk dapat melakukan comeback sesegera mungkin.
Itulah yang terjadi dan terbuktikan dengan dua gol yang dihasilkan Ajax di pertengahan awal babak pertama. Mereka sukses membuat Spurs mulai frustrasi sejak tertinggal dua gol tersebut. Permainan Spurs mulai goyah, dan mereka cenderung mulai mengikuti pola permainan Ajax, yaitu bertarung jarak dekat.
Para pemain Spurs terlihat kesulitan bermain dengan cara penguasaan bola dengan posisi pemain berdekatan. Tekanan yang dilakukan terus-menerus oleh Ajax dari segala sisi membuat Spurs tidak mampu mengreasikan penyerangan dengan baik. Ajax sukses mematikan peluang Spurs untuk membangun kebangkitan di babak pertama.
Jika laga ini hanya berjalan 45 menit saja, Ajax sudah dapat dipastikan lolos ke final. Karena dengan skor 2-0 ditambah skor 0-1 di leg pertama, mengantarkan Ajax berada di tangga menuju puncak dengan agregat 3-0. Suatu pekerjaan tak mudah bagi Eriksen dkk untuk membalikkan keadaan.
Lalu bagaimana Spurs dapat bangkit?
Permainan Ajax cenderung berubah di babak kedua. Atau lebih tepatnya kembali ke habitatnya yaitu banyak menyusun serangan namun tidak mampu mengeksekusi peluang-peluang tersebut dengan akurat. Hal ini sudah disinggung di artikel sebelumnya* dan ternyata di babak kedua hal ini kembali menjangkiti Ajax. Inilah yang menjadi momentum bagi Spurs untuk memukul jatuh Ajax. Karena, Ajax kembali tampil tak efektif dan pertahanan mereka mulai ditemukan adanya celah.
Sejak adanya Fernando Llorente di babak kedua, pertahanan Ajax mulai mengikuti perubahan susunan pemain dari Spurs. De Ligt dkk mulai termakan perangkap Pochettino dengan menggunakan Llorente sebagai umpan yang ideal bagi pertahanan Ajax.
Ketika babak pertama, pertahanan Ajax terlihat sangat kompak. Duet penyerang Spurs, Son dan Lucas Moura terlihat kesulitan membongkar pertahanan Ajax, karena harus secara bergantian mengambil peran sebagai penyerang pendukung dan penyerang utama. Ketika hal itu terjadi, maka pertahanan Ajax hanya menghadapi satu pemain utama yang berusaha menerobos kotak penalti.
Memang di Spurs ada Dele Alli, namun pergerakan pemain timnas Inggris ini tak lebih sebagai pemain sayap. Sehingga, hal ini bukan suatu permasalahan besar bagi Ajax dengan menempatkan Mazraoui di bek kanan. Ajax mengontrol situasi di babak pertama.
Namun, hal ini berbeda dengan di babak kedua. Karena, masuknya Llorente, maka yang dihadapi pertahanan Ajax adalah tiga pemain penyerang dengan satu penyerang dan dua pemain mobile yang dapat secara bergantian melebar ataupun berada di dalam kotak penalti bersama Llorente. Hal ini membuat Ajax mulai goyah.
Maklum, Llorente bukan sekadar penyerang yang bertubuh tinggi-besar dan kemudian identik dengan menunggu bola atas. Llorente juga tak segan untuk keluar dari kotak penalti untuk mendekatkan diri dengan rekan-rekannya. Di babak kedua, Fernando Llorente sukses menjalankan peran sebagai pengalih perhatian bagi pertahanan Ajax.
Hal ini dapat dilihat dari gol pertama Lucas Moura yang dapat memperkecil ketertinggalan. Proses serangan balik terjadi karena pertahanan Ajax terlalu maju ke depan dan fokus mereka adalah Llorente. Otomatis, muncul ruang yang dapat dimanfaatkan Lucas Moura maupun Dele Alli untuk melakukan serangan balik.
Situasi itu sebenarnya menjadi warning bagi pertahanan Ajax, dan Spurs mampu melihat itu sebagai peluang dan kelemahan dari taktik pressing tinggi Ajax. Tidak ada kata terlambat bagi Spurs untuk membangun kepercayaan diri pasca gol pertama mereka tercipta.
Lalu, bagaimana dengan Ajax?
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa, permainan Ajax di babak kedua kembali ke cara mereka untuk dapat menghasilkan gol. Mereka perlu banyak sekali peluang untuk mencetak gol. Hal ini membuat pertahanan Spurs lama-kelaman mulai yakin bahwa mereka tidak akan kebobolan.
Sedangkan bagi Ajax, hal ini telah membuat konsentrasi mereka terpecah. Karena, di saat mereka sudah mengerahkan konsentrasi ke depan, peluang tersebut justru memantul dan menjadi momen serangan balik bagi lawan. Hal ini pada akhirnya menjadi titik utama yang menyebabkan permainan Ajax mulai kendor. Khususnya dalam hal bertahan.
Apalagi permainan Hakim Ziyech dkk mulai terpancing oleh trik emosi yang dilakukan oleh beberapa pemain Spurs. Sehingga, fokus permainan mereka mulai terganggu. Ditambah lagi dengan cara main ala futsal (keroyokan) sejak babak pertama, maka, sudah dapat diprediksi jika para pemain Ajax mulai kehabisan bahan bakar.
Di saat seperti ini, Spurs hadir dengan upaya menyerang yang bergelombang dan tak pernah berhenti. Gol kedua pun akhirnya tercipta dan sukses membuat publik Amsterdam ketar-ketir. Mimpi buruk bisa terjadi hingga menit terakhir.
Bahkan, tanpa menunggu menit terakhir, peluang menang Spurs bisa saja terjadi lebih cepat seandainya Ajax tidak memiliki penjaga gawang yang positioning serta responnya seakurat Onana. Onana berhasil mementahkan beberapa peluang Spurs sejak babak pertama. Ini menjadi kekecewaan bagi sang penjaga gawang yang sudah berupaya mati-matian mempertahankan gawangnya, ketika dia mulai mengetahui jika para pemain di depannya tak lagi mampu mengimbangi penyerangan lawan.
Gol ketiga hadir, lagi-lagi dari kaki Moura dan gol itu menjadi palu besar---selayaknya palu Thor---bagi Ajax, karena di saat mereka sudah kehilangan segalanya---stamina dan konsentrasi buyar---justru momentum Spurs tidak kunjung berhenti. Serangan terakhir yang terbangun untuk memanfaatkan kerja sama dan mengandalkan Llorente sebagai tembok, sukses membawa Spurs melenggang ke final. Para pemain Ajax pun ambruk. Karena, mimpi mereka kandas di rumah sendiri.
Tinggal sejengkal kaki bagi Dusan Tadic cs untuk melangkah ke puncak, namun hal itu urung terjadi.
Ya, karena, mereka kembali ke habitatnya. Sebagai tim yang tidak efektif di lini serang dan kembali pula pada catatan tak menterengnya sebagai tim tuan rumah yang sulit menang. Keberhasilan mereka melangkah sampai ke semifinal tak lepas dari catatan tak bagus mereka saat bermain di kandang. Hal ini tak terlalu terlihat karena ditutupi dengan keberhasilan mereka melakukan comeback fantastis dan permainan yang tangguh ketika bertandang ke markas lawan.
Selain itu, ada konsekuensi yang mendasar yang seharusnya dipahami oleh para pemain Ajax. Yaitu, ketika mereka memiliki gaya menekan permainan lawan dengan garis pertahanan yang terlampau tinggi, maka pertahanan mereka akan dapat dihukum dengan serangan balik. Begitu pula jika mereka mengerahkan banyak pemain untuk berada di satu titik. Maka, tim lawan yang mampu mencium aroma kelemahan mereka---lubang-lubang yang lowong, akan mengeksploitasi dengan memainkan bola daerah.
Â
Itulah yang dilakukan Spurs. Mereka menyadari gaya permainan Ajax sangat berbahaya jika tidak diladeni dengan bentuk permainan yang berbeda. Yaitu, menggunakan taktik lebar lapangan. Melalui taktik itu, lama-kelamaan energi para pemain Ajax akan cepat terkuras dan hasilnya, mereka tidak mampu berada di performa terbaik selama sisa pertandingan.
Tidak hanya lini pertahanannya yang bermasalah, namun juga lini depan. Ketika para pemain bergerak terus-menerus ke satu titik yang sama---termasuk pemain depannya, maka dapat dipastikan bahwa semua pemain akan kelelahan. Jika kelelahan, maka tak hanya fokus di kepala yang berubah namun juga sentuhan kaki yang berubah. Terbukti dengan beberapa peluang Ajax terbuang sia-sia karena akurasi mereka mulai melemah.
Hal ini dapat menjadi faktor penting yang harus digarisbawahi. Yaitu, Ajax juga memiliki kelemahan di balik kelebihan mereka yang mampu memeragakan sepakbola ala futsal dengan sangat baik. Namun, ketika lawan tahu caranya untuk keluar dari tekanan, maka, para pemain Ajax juga akan kelimpungan. Artinya, Ajax tidak bisa melaju ke final karena 50% permainan mereka di babak pertama (over push) dan 50% taktik lawan yang sukses mengendorkan permainan Ajax (membuat anti-tesis).
Namun, sebagai tim yang berisi pemain-pemain muda, harapannya Ajax bisa kembali melakukan hal yang sama di musim depan. Yaitu melaju sampai ke semifinal Liga Champions dan mencoba kembali peluang mereka untuk bermain di partai puncak. Semoga hal ini terjadi ketika mereka tak banyak kehilangan pemain-pemain potensialnya di bursa transfer musim panas nanti.
Well done, Ajax in this season! Never give up to next season!
Malang, 9 Mei 2019
Deddy Husein S.
Tambahan:
*. Silakan membaca artikel sebelumnya di sini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H