Namun, hal ini berbeda dengan di babak kedua. Karena, masuknya Llorente, maka yang dihadapi pertahanan Ajax adalah tiga pemain penyerang dengan satu penyerang dan dua pemain mobile yang dapat secara bergantian melebar ataupun berada di dalam kotak penalti bersama Llorente. Hal ini membuat Ajax mulai goyah.
Maklum, Llorente bukan sekadar penyerang yang bertubuh tinggi-besar dan kemudian identik dengan menunggu bola atas. Llorente juga tak segan untuk keluar dari kotak penalti untuk mendekatkan diri dengan rekan-rekannya. Di babak kedua, Fernando Llorente sukses menjalankan peran sebagai pengalih perhatian bagi pertahanan Ajax.
Hal ini dapat dilihat dari gol pertama Lucas Moura yang dapat memperkecil ketertinggalan. Proses serangan balik terjadi karena pertahanan Ajax terlalu maju ke depan dan fokus mereka adalah Llorente. Otomatis, muncul ruang yang dapat dimanfaatkan Lucas Moura maupun Dele Alli untuk melakukan serangan balik.
Situasi itu sebenarnya menjadi warning bagi pertahanan Ajax, dan Spurs mampu melihat itu sebagai peluang dan kelemahan dari taktik pressing tinggi Ajax. Tidak ada kata terlambat bagi Spurs untuk membangun kepercayaan diri pasca gol pertama mereka tercipta.
Lalu, bagaimana dengan Ajax?
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa, permainan Ajax di babak kedua kembali ke cara mereka untuk dapat menghasilkan gol. Mereka perlu banyak sekali peluang untuk mencetak gol. Hal ini membuat pertahanan Spurs lama-kelaman mulai yakin bahwa mereka tidak akan kebobolan.
Sedangkan bagi Ajax, hal ini telah membuat konsentrasi mereka terpecah. Karena, di saat mereka sudah mengerahkan konsentrasi ke depan, peluang tersebut justru memantul dan menjadi momen serangan balik bagi lawan. Hal ini pada akhirnya menjadi titik utama yang menyebabkan permainan Ajax mulai kendor. Khususnya dalam hal bertahan.
Apalagi permainan Hakim Ziyech dkk mulai terpancing oleh trik emosi yang dilakukan oleh beberapa pemain Spurs. Sehingga, fokus permainan mereka mulai terganggu. Ditambah lagi dengan cara main ala futsal (keroyokan) sejak babak pertama, maka, sudah dapat diprediksi jika para pemain Ajax mulai kehabisan bahan bakar.
Di saat seperti ini, Spurs hadir dengan upaya menyerang yang bergelombang dan tak pernah berhenti. Gol kedua pun akhirnya tercipta dan sukses membuat publik Amsterdam ketar-ketir. Mimpi buruk bisa terjadi hingga menit terakhir.
Bahkan, tanpa menunggu menit terakhir, peluang menang Spurs bisa saja terjadi lebih cepat seandainya Ajax tidak memiliki penjaga gawang yang positioning serta responnya seakurat Onana. Onana berhasil mementahkan beberapa peluang Spurs sejak babak pertama. Ini menjadi kekecewaan bagi sang penjaga gawang yang sudah berupaya mati-matian mempertahankan gawangnya, ketika dia mulai mengetahui jika para pemain di depannya tak lagi mampu mengimbangi penyerangan lawan.
Gol ketiga hadir, lagi-lagi dari kaki Moura dan gol itu menjadi palu besar---selayaknya palu Thor---bagi Ajax, karena di saat mereka sudah kehilangan segalanya---stamina dan konsentrasi buyar---justru momentum Spurs tidak kunjung berhenti. Serangan terakhir yang terbangun untuk memanfaatkan kerja sama dan mengandalkan Llorente sebagai tembok, sukses membawa Spurs melenggang ke final. Para pemain Ajax pun ambruk. Karena, mimpi mereka kandas di rumah sendiri.