Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

"Sarri-ball" Apakah akan Bertahan atau Terdepak?

3 Mei 2019   10:51 Diperbarui: 3 Mei 2019   11:02 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepakbola masa kini mulai banyak mengincar prestasi segera---tidak bisa disebut instan, dibandingkan proses 'bertahan'. Untuk itulah kemudian muncul 'teori' bahwa, siapa tim yang dapat menyerang lebih baik, dialah yang menang. Sehingga, taktik bermain bertahan tidak terlalu diunggulkan, akhir-akhir. Padahal di era 2000-an, taktik ini dapat menjadi cara main yang ideal bagi sebuah tim untuk meraih kemenangan.

Mereka biasanya menerapkan taktik ini juga untuk menghadapi tim yang dianggap lebih superior. Ambil contoh pertemuan Inter Milan vs Barcelona di Liga Champions 10 musim lalu (2009/10). Di situ, Inter Milan mampu membalikkan keadaan dan melawan asumsi publik bahwa pemenangnya adalah (pasti) Barcelona. 

Apalagi FCB saat itu berada di komposisi pemain yang sempurna dan masih bersama Pep Guardiola. Maka, publik lebih menjagokan Barcelona yang sudah beberapa kali memenangkan Liga Champions dibandingkan Inter yang sudah lama absen berjaya di kompetisi Eropa.

Namun, Jose Mourinho hadir di Inter Milan untuk kembali membuktikan bahwa dia memiliki taktik tersendiri, dan taktik itu bisa untuk mengalahkan tim mana saja termasuk Barcelona. Terlepas dari segala kontroversi yang ada di pertemuan Nerrazurri dan La Blaugrana tersebut. 

Kita tetap bisa mengakui bahwa Inter Milan layak keluar sebagai juara di Liga Champions. Karena, mereka sekali lagi berhasil membuktikan bahwa taktik bertahan dan menyerang cepat adalah kunci utama untuk melumpuhkan tim-tim yang dijagokan menang/juara---seperti Bayern Munchen yang menjadi lawan Inter di final.

Namun, sepakbola adalah bagian dari kehidupan. Perubahan selalu hadir, begitu pula perkembangan.
Pasca taktik bermain Mourinho sukses menghasilkan trofi. Maka, filosofi bertahan apik mulai dimodifikasi---dan yang lama mulai kehilangan daya magisnya. Orang-orang selanjutnya yang mulai bermain taktik bertahan namun juga mampu menyerang dengan sangat baik adalah Diego Simeone dan Jurgen Klopp.

Dua pelatih beda negara, kultur, dan pengalaman tersebut, pada akhirnya muncul ke permukaan dengan permainan 'compact defense' dan 'gegenpressing'. 

Bertahan kompak dan rapat diperagakan oleh Simeone di Atletico Madrid, dan hasilnya adalah dua kali final Liga Champions, juara La Liga, juara Liga Europa, dan juara Super Cup Eropa. Artinya, Simeone berhasil mencapai prestasi dengan mengandalkan pertahanan bagus, disertai kemampuan menyerang cepat (transisi bola), akurat (kerja sama), dan mampu mencetak gol (peluangnya efektif).

Begitu pula dengan Jurgen Klopp saat di Borussia Dortmund. Pelatih Jerman ini bisa dikatakan sukses mempersulit dominasi Bayern Munchen di Bundesliga (liga Jerman) dengan taktik bertahan dengan menekan setiap pemain lawan yang menguasai bola. Ketika bola lepas atau terpotong, maka, bola akan segera diarahkan ke pertahanan lawan. 

Di situlah, pemain-pemain cepat dan memiliki akselerasi bagus akan mempertontonkan kualitasnya. Namun, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah Klopp juga membutuhkan striker yang memiliki 'final touch' terbaik. Hal ini juga sama dengan Simeone yang juga memerlukan striker yang tajam dan efektif.

Beruntungnya, Dortmund memiliki Robert Lewandowski kala itu, sedangkan Atletico Madrid memiliki Radamel Falcao dan Diego Costa. Tiga penyerang yang tidak perlu diragukan lagi ketajamannya ketika ada supporting yang baik dari lini kedua, maupun ketika permainan tim telah mendapatkan momentum untuk melalukan serangan balik. Jika sudah ditemukan momen tepat untuk mengarahkan bola ke tiga penyerang  itu, maka, gol bisa tercipta.

Dari sini, kita bisa mengetahui bahwa taktik bermain pragmatis seperti itu adalah cara untuk menghadapi tim yang diunggulkan. Seperti Barcelona, Real Madrid, ataupun Bayern Munchen. Namun, ibaratnya teori, maka pasti akan ada antitesisnya. 

Begitu pula pada taktik pragmatis yang awalnya menjadi antitesis bagi permainan kolektif atau 'tiki-taka ala Barcelona'. Maka, taktik pragmatis juga bisa dihentikan dengan dominasi secara total sejak menit pertama hingga akhir.

Hal ini bisa terlihat muncul pada taktik yang bisa disebut baru. Yaitu, Sarri-ball. Taktik ball possession yang diusung oleh manajer baru Chelsea, Maurizio Sarri.
Sebenarnya jika melihat pada taktik Sarri saat masih bersama Napoli, hal ini kurang terlihat. Karena, cara main di Serie A berbeda dengan Premier League. Hal ini bisa dinilai demikian, karena rata-rata pelatih di Serie A adalah pelatih asal Italia ataupun asal benua Amerika Latin. Maka, taktiknya lebih ke permainan atraktif dan sporadis saja dibandingkan Premier League yang jauh lebih variatif.

Maka, cara tepat bagi Sarri untuk dapat 'bertahan' di Premier League adalah membuat taktik 'baru'. Taktik ini bukan untuk mengenalkan filosofi bermain dari Italia seperti yang dilakukan oleh Antonio Conte saat menjadi manajer Chelsea---yang digantikan oleh Sarri. 

Melainkan untuk membuka kemungkinan bahwa Sarri punya pakem tersendiri. Sehingga, ini dapat menjadi daya tawar bagi Sarri untuk dapat tetap berada di Premier League dan (mungkin) dapat mengantarkan Chelsea berprestasi---jika durasi kerjanya cukup panjang.

Namun, yang menjadi persoalan adalah mampukah Sarri bertahan di Premier League?

Jika melihat permainan Chelsea di musim ini, kita bisa melihat permainan Hazard dkk lebih ke posession football dibandingkan permainan atraktif, sporadis, dan terus menyerang seperti yang diperagakan oleh Conte di musim pertamanya kala itu---dua musim lalu. Hasilnya kala itu juga positif bagi Chelsea, karena mereka berhasil juara di Premier League.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika perekrutan Chelsea kembali mengarah ke pelatih Italia. Perlu diketahui bahwa Chelsea sangat akrab dengan allenatore (pelatih) Italia. Sebut saja Claudio Ranieri, Carlo Ancelotti, Roberto Di Mateo, hingga Antonio Conte, dan kini Maurizio Sarri. Artinya, Chelsea lebih akrab dengan permainan yang atraktif dibandingkan permainan possesion football seperti yang diperagakan Arsenal.

Namun, Sarri seperti melihat peluang lain untuk dapat tetap berada di Chelsea. Yaitu bertarung dengan gaya yang menyerupai permainan pelatih-pelatih asing di Inggris, possesion football. Hal ini bisa dibilang menarik dan juga dapat disebut berjudi, karena tidak banyak pelatih yang dapat bertahan di Premier League dengan gaya seperti itu. Namun di sisi lain, tim yang sukses di Premier League pada tiga-lima musim terakhir adalah tim-tim yang mampu mendominasi lawan.

Kecuali Leicester City, maka, kita bisa melihat bahwa Conte mampu mendominasi lawan dengan pendekatan yang mirip ketika membawa Juventus merajai Italia. Begitu pula dengan Manuel Pellegrini yang percaya diri dengan kapasitas Manchester City---untuk mendominasi permainan lawan. 

Sesuatu yang juga dilakukan oleh Roberto Mancini untuk mengantarkan The Citizens kembali juara setelah berpuluh-puluh tahun tak lagi juara Liga Inggris. Di situ, Mancini melihat komposisi skuad yang mumpuni. Maka, bukan peluang kecil bagi pelatih Italia itu untuk bermain possesion football dan sukses meraih juara.

Melihat situasi yang demikian, maka Sarri ingin segera melakukan perubahan taktik. Jika sebelumnya, Sarri merasa kesulitan menggulingkan Juventus bersama Napoli-nya. Maka, kini Sarri ingin berpartisipasi di zona juara dengan cara bermain lebih percaya diri sedari awal sampai akhir di setiap pertandingan. Yaitu dengan possesion football ala Sarri.

Sebenarnya taktik possesion football maupun taktik pragmatis, semuanya ada di setiap pelatih. Namun, masing-masing pelatih selalu punya ciri tersendiri dan itulah yang kemudian membuat masing-masing pelatih juga punya gaya bermainnya sendiri. Begitu pula pada Sarri. 

Jika melihat secara sekilas, permainan Chelsea di musim ini mirip dengan Arsenal saat masih bersama Arsene Wenger. Mereka suka sekali dengan 'memutar-mutarkan' bola ke segala penjuru untuk dapat membongkar pertahanan lawan.

Taktik yang memiliki plus-minus.
Kelebihannya adalah tim lawan dapat terkuras konsentrasi bertahannya.
Kekurangannya adalah permainan akan terlihat membosankan. Karena, tidak ada keberanian mengambil resiko untuk segera mengarahkan bola ke jantung pertahanan lawan. Sehingga, banyak susunan peluang yang dapat disebut terbuang sia-sia.

Hal inilah yang kemudian menjadi sorotan publik, yaitu kebosanan dalam melihat permainan Chelsea yang tidak progresif. Padahal secara taktikal, ini adalah suatu kelebihan yang bisa dimanfaatkan oleh Chelsea untuk membangun kepercayaan diri.

Sebenarnya yang menjadi sorotan dari permainan Chelsea bukanlah taktik dari Sarri, melainkan keberadaan Eden Hazard.
Memang, secara statistik (gol dan assist) yang diciptakan oleh Hazard sangat membantu Chelsea, khususnya di Liga Inggris. Namun, dengan keberadaan Hazard, permainan Chelsea tidak begitu eksplosif dalam membombardir pertahanan lawan. 

Karena, Hazard tipikal pemain yang suka membawa bola sendiri dan itu bisa menjadi bumerang negatif ketika pemain lain punya ruang yang lebih baik dan Hazard tidak melihatnya.

Selain itu, dominasi permainan individu Hazard membuat dirinya juga mengalami penurunan kualitas. Yaitu, dalam hal memberikan operan kunci ataupun usaha membuka peluang untuk rekannya. 

Kita ambil contoh di laga melawan MU semalam (28/4). Jika diperhatikan secara jeli, pergerakan Higuain dan pemain lain sudah cukup bagus, namun, Hazard seringkali melewatkan momen tersebut dengan menggocek bola lagi dan momentum itu hilang. Sehingga ketika Hazard sudah merasa tertutup ruang akselerasinya, maka operannya akan terlihat serampangan dan paling realistis adalah mengoper bola ke belakang.

Momen itu juga sebenarnya terjadi ketika Rudiger berhasil mendapatkan bola di area tengah permainan MU dan mendapatkan ruang untuk menembak langsung. Apa yang terjadi? Peluang mencetak gol terbuka dan Marcos Alonso sukses memanfaatkan peluang---bola muntah---itu menjadi gol. 

Seharusnya seperti itulah Chelsea dalam menaklukkan (pertahanan) MU maupun tim lainnya. Yaitu, adanya keberanian dalam mengambil keputusan spekulatif daripada terus menerus menggocek bola dan menghilangkan momentum.

Possesion football bagus untuk mendominasi dan membatasi kesempatan lawan untuk berkreasi. Namun, jika tidak dibarengi dengan kepercayaan antar pemain, maka taktik itu akan menguap begitu saja ketika sampai di dalam kotak penalti. 

Situasi inilah yang sebenarnya perlu diperbaiki dalam Sarri-ball di Chelsea. Para pemain Chelsea harus menemukan kepercayaan antar pemain ketika sudah mendekati kotak penalti, karena di momen itulah, pertahanan lawan akan teruji dibandingkan fokus ke satu-dua pemain saja.

Apalagi di paruh kedua musim ini, Chelsea sudah terdapat striker yang mobilitasnya lebih baik---Gonzalo Higuain---maka akan terasa mubajir jika banyak penguasaan bola namun bola itu jarang diarahkan ke strikernya maupun berupaya spekulatif seperti yang dilakukan Rudiger.

Jika perlu membandingkan taktik Sarri di Liga Inggris dengan taktik Sarri di Liga Europa, maka, Chelsea lebih baik saat di Liga Europa. Terlepas dari kualitas (tidak merata) di klub-klub yang berkompetisi pada liga malam Jumat itu. 

Karena, ketika Chelsea tidak bermain dengan Hazard, kekompakan di lini tengah dan depan sangat terlihat. Jatuh bangunnya Willian sangat sepadan dengan kemampuannya memberikan umpan-umpan bagus ke rekannya---salah satunya adalah Giroud.

Begitu pula dengan akselerasi Hudson-Odoi yang jauh lebih kencang dan berani adu fisik dibandingkan Hazard yang lebih 'berpengalaman' dalam mencoba mendramatisir keadaan. Maka, di sini Chelsea berada di tengah-tengah. Antara menyukai permainan kompak---meski belum tentu bagus hasilnya---tanpa Hazard, atau bersama Hazard namun permainannya akan banyak dikendalikan oleh Hazard.

Kehadiran Hazard jelas dapat memberikan sinyal bahaya bagi lawan-lawan Chelsea termasuk di Premier League. Namun ketika si pemain dapat dihentikan, apa yang dapat dilakukan oleh Sarri? Mengganti pemain bintangnya di babak kedua---ketika tim sebenarnya masih butuh kejeniusannya?

Sebenarnya di sanalah letak permasalahan Sarri untuk menggagaskan idenya tentang possesion football untuk Chelsea. Bukan soal kemampuan individu pemainnya saja yang dibutuhkan, melainkan juga kekompakan. Kekompakan para pemainnya seperti di Napoli.

Apakah benar seperti itu, Coach Sarri?

Malang,
3 Mei 2019
Deddy Husein S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun