"Semua yang kita lakukan selalu ada teori, termasuk urusan makan-minum"
Akhir-akhir ini, banyak orang di sekitar yang mengatakan bahwa menulis itu gampang dan bebas. Berangkat dengan statement seperti itu, semua orang mulai berbondong-bondong untuk menulis, dan mulai menjadikan menulis sebagai aktivitas utama sampai ke jenjang profesional (baca: pekerjaan). Bahkan, mulai banyak yang berpikir bahwa bekerja sebagai penulis akan lebih enak, daripada bekerja sebagai buruh pabrik, penjaga toko, hingga pemulung botol plastik.
Pemikiran semacam ini memang tidak salah, namun, juga tidak 100% benar. Jika menulis itu lebih enak, bebannya lebih ringan, apakah semua orang dapat menulis dengan benar dan baik?
Jawabannya, tidak.
Mengapa?
Tidak semua orang yang menulis mampu menghadirkan 100% bacaan yang dapat disetujui oleh semua pembaca. Bahkan, dewasa ini, kita sering mendapatkan bacaan-bacaan yang terkesan menyebarkan kebohongan (hoaks). Artinya, tidak semua orang yang bahkan sudah lama berjibaku dalam dunia tulis-menulis mampu menghasilkan tulisan yang baik.
Apalagi tulisan yang dinilai benar. Benar di sini adalah penulisan yang dilakukan seringkali gagal untuk membedakan bagaimana bentuk tulisan yang tulis, dengan bentuk tulisan yang lisan.
Dewasa ini, seringkali muncul tulisan yang 'bergaya' lisan. Contohnya, tulisan yang tidak mengenal tanda baca (kecuali puisi) yang sesuai. Lalu, semua kata yang tertuang tidak memperdulikan bagaimana penggunaan huruf (besa-kecil), pemilihan kata, sampai tanda baca, bahkan tidak mampu membedakan bagaimana cara menulis 'di' untuk 'di sekolah' dengan 'di' untuk 'disambung'.
Hal ini terlihat sepele. Namun, fatal jika kesalahan sederhana seperti itu masih terjadi di dalam penulisan. Apalagi penulisan artikel hingga karya sastra. Artinya, untuk menulis baik dan benar itu tidaklah mudah. Apalagi jika harus berupaya meminimalisir adanya salah ketik (saltik), yang akhir-akhir ini seringkali dimaklumkan. Karena, konon katanya manusia itu tak pernah luput dari kesalahan---mata/penglihatan.
Bisa jadi, tulisan yang saltik itu adalah tulisan yang tidak lagi ditinjau-ulang oleh penulisnya atau tidak diserahkan ke editor---jika tulisan itu sedang dimuat oleh redaksi seperti surat kabar atau buku. Artinya, apakah menulis itu gampang?
Lalu, bagaimana dengan menulis bebas?
Kebebasan hanya dimiliki oleh para pemula.
Misalnya, kita akan analogikannya dengan kehidupan sehari-hari yang dibuat menyerupai sebuah cerita sekilas (flash fiction) seperti berikut ini.
---
CERITA BENY
Di saat kecil, (sebut saja) Beny (nama fiktif), yang merupakan anak sulung dari tiga bersaudara, sering terlihat bermain layang-layang setiap sore hari. Dia baru akan pulang ketika hari menjelang petang. Kedua orangtuanya tak pernah memarahi atau melarang kebiasaan Beny saat itu. Bahkan, sang ayah justru bersedia membelikan layang-layang baru ketika layang-layang Beny terputus dari benang senarnya.
Kebiasaan ini terus berlanjut, sampai suatu ketika, dia sudah berada di masa akhir sekolah dasar. Seminggu sebelum dia mengikuti ujian akhir sekolah, rupanya dia mendapatkan larangan untuk bermain layang-layang. Padahal, dia ingin mengajak adik keduanya yang juga laki-laki untuk bermain bersama. Alhasil, dia mencoba untuk bergeming. Namun, sang orangtua, yaitu ibunya tetap melarang Beny untuk bermain layang-layang, dan anehnya, sang ibu mengizinkan adiknya untuk bermain layang-layang.
Beny pun marah kepada ibunya, dan dia terus mengatakan bahwa, mengapa adiknya tetap diperbolehkan bermain layang-layang sedangkan dirinya tidak. Dia merasa tidak terima dan merasa larangan sang ibu bersifat tidak adil terhadap dirinya.
Lalu, ibunya mencoba menjelaskan tentang maksud kenapa Beny tidak boleh bermain layang-layang.
"Kakak, minggu depan kan sudah ujian sekolah. Jadi, kakak harus belajar, supaya nanti tidak kesulitan mengikuti ujian.
Lagipula kakak kemarin bilang ingin sekolah di SMP 1, kan?
Nah, jika iya, belajarlah! Supaya kakak lebih siap untuk menghadapi ujian. Ujian itu harus dihadapi dengan belajar yang giat. Karena, jika sudah waktunya ujian, kakak sudah tidak bisa lagi main-main, tanya teman kanan-kiri, apalagi depan-belakang. Karena, teman-teman kakak juga sedang menghadapi ujian, mereka juga sedang kesulitan.
Apakah kakak mau nilainya buruk dan tidak jadi masuk SMP 1 seperti yang kakak ucapkan kemarin?"
Apakah karena penjelasan yang terlampau bijaksana atau penuturan ibunya yang sulit dipahami, namun, Beny akhirnya menuruti apa yang dikatakan ibunya.
Dia akhirnya memilih belajar selama seminggu berturut-turut, dan tibalah pada pekan ujian sekolah di SD-nya.
Berkat belajarnya, dia selalu bisa menyelesaikan setiap soal ujian dan uniknya, setiap dia pulang dari ujian sekolah, selalu diajak ibunya jalan-jalan. Entah, menemani ibu berbelanja di pasar, mall ataupun mengikuti kegiatan Posyandu di hari Rabu sore.
Dia juga tidak diingatkan untuk belajar di malam hari sebelum tidur, walau dirinya selalu menyempatkan waktu 1/1,5 jam untuk belajar dan tanpa pengawasan kedua orangtuanya.
Sampai akhirnya, masa ujian itu selesai. Sang ibu bahkan sudah menyiapkan hadiah untuk Beny saat pulang sekolah.
Beny, "Apa ini, bu?"
Ibu, "Hadiah untuk kakaklah."
Beny, "Untuk apa?"
Ibu, "Untuk merayakan kelulusan kakak."
Beny, "Bukankah pengumuman kelulusannya dua minggu lagi?"
Ibu, "Ibu tahu. Tapi, tanpa menunggu pengumuman kelulusan, ibu sudah tahu kalau kaka akan lulus dan dapat diterima di SMP 1."
Beny, "Wah, ibu dukun ya?"
Ibu, "Ibu bukan dukun, tapi, ibu tahu bahwa usaha kakak tidak akan sia-sia.
Lagipula ini juga menjadi bagian dari permintaan maaf ibu, karena sudah melarang kakak untuk bermain layang-layang lagi."
Beny, "Ah, aku sudah melupakan itu, bu. Aku pikir, apa yang dikatakan ibu benar. Buktinya, aku bisa mengikuti ujian dengan tenang. Sedangkan, teman-temanku setiap hari terlihat gelisah, bahkan di ujian jam pertama."
Beny terlihat memeluk ibunya dan kejadian mengharukan itu menjadi potret akhir dari cerita ini.
---
Lalu, apa yang kita dapatkan dari cerita tersebut?
Jika ditarik ke ranah penulisan, apa yang dilakukan Beny adalah implementasi dari seorang penulis yang awalnya diperbolehkan menulis dengan bebas dan sesuka hati---menyesuaikan dengan kegemarannya, namun, seiring berjalannya waktu, si penulis harus menempa dirinya untuk menjadi penulis yang faham tentang cara menulis yang benar dan baik.
Apalagi jika menulis sebuah karya kreatif. Maka, sangat diperlukan adanya proses mempelajari, mengenali, dan mengujicoba teori yang menuntun kita untuk dapat menulis kreatif. Artinya, menulis juga tidaklah bebas.
Menulis akan dinilai bebas, jika yang menulis adalah pemula, seperti di saat Beny kecil yang dibiarkan bebas bermain layang-layang namun dilarang bermain saat akan ujian sekolah. Sama seperti penahapan dari seorang penulis yang lambat laun pasti akan menaikkan level kepenulisannya. Tidak akan mungkin dia akan terus hanya menulis tentang perjalanan hidupnya saja, bukan? Bisa jadi, dia akan mulai tertarik dengan hal-hal baru yang dapat ditulisnya walau bukan sebagai pelaku utamanya.
Hal ini sama dengan penulis karya kreatif yang awalnya hanya menulis tentang puisi curahan hati, namun, seiring bertambahnya usia, dia akan mulai menulis tentang puisi yang penuh dengan falsafah kehidupan. Artinya, manusia terus berubah-ubah, mengikuti perjalanan waktu, dan akan menyadari ketika sudah mengalaminya sendiri.
Lalu, mengapa si Beny tidak diingatkan belajar saat pekan ujian? Mengapa justru Beny diajak ibunya ke sana-ke mari?
Ibaratnya, penulis yang sudah tahu bahwa menulis itu ternyata tidak gampang dan sebebas yang awalnya dipikirkan. Maka, dia secara naluriah akan sadar sendiri untuk selalu belajar demi meningkatkan batas kemampuan dan kualitas tulisan, TANPA PERLU DIINGATKAN.
Bahkan, seorang penulis yang sudah profesional, selalu menghabiskan waktunya untuk membaca terlebih dahulu, memahami terlebih dahulu tentang apa saja yang ingin dia tulis. Karena, menulis tidaklah bebas. Bahkan, menulis catatan harian, semacam diari, seseorang perlu terlebih dahulu bangun dari tidur, pergi keluar rumah untuk membeli makanan, berinteraksi dengan penjual, dan bertegur sapa dengan tetangga. Artinya, menulis diari saja perlu kehidupan yang nyata, apalagi menulis hal lain---termasuk menulis kreatif.
Kemudian, di bagian akhir cerita Beny adalah ibunya memberikan hadiah kepadanya, sebagai hadiah kelulusan yang bahkan belum diumumkan oleh pihak sekolah Beny. Begitupula dengan Beny yang tentunya belum tahu hasil dari ujian sekolahnya. Namun, ternyata sang ibu sudah memberikan hadiah untuknya. Artinya apa?
Ini adalah fase akhir yang tidak murni akhir dari segalanya bagi perjalanan seorang penulis. Yaitu, apresiasi karya tulisan. Siapa yang rela jika karya tulisnya tidak ada yang membaca dan tidak ada yang mengapresiasi?
Semua penulis---apapun jenis tulisannya---pasti sangat membutuhkan apresiasi. Apresiasinya tentu beragam, dari yang hanya sebatas mengatakan "Aku suka!", lalu ada yang mengajak diskusi, ada pula yang memberikan kritik dan saran, sampai yang benar-benar hanya cukup diberikan rating nilai. Bahkan, jika karya tulisnya sampai dibagikan orang lain ke jaringan tertentu yang tidak dijangkau oleh penulisnya, itu artinya, karya tulis itu sudah dapat dikatakan sebagai salah satu karya yang baik dan (mungkin) benar.
Lalu, mengapa si ibu Beny ini sampai harus mengucapkan maaf kepada Beny?
Karena, di ranah kepenulisan itu jika sudah masuk ke tahap atau tingkatan yang lebih serius pasti akan menemukan beragam kritikan. Karena, pro-kontra itu sudah menjadi pemakluman dari kehidupan manusia yang berakal. Semakin besar karya itu, semakin banyak yang memperbincangkannya. Termasuk mengkritisi karya tersebut, dan sebagai pengkritik yang budiman, biasanya dia tidak akan segan untuk meminta maaf terlebih dahulu saat menilai karya orang lain. Karena, bagaimanapun teori yang dia miliki, sebagai pengkritik, dia harus sadar bahwa manusia itu pasti punya perasaan.Â
Sejenius apapun pikiran seorang pengkarya, dirinya pasti juga seringkali mendahulukan perasaannya untuk merasakan adanya kesedihan, ketika karyanya harus dikritik secara lugas a.k.a menohok. Maka dari itulah, penting rasanya kita (bagi orang-orang yang sudah mampu mengkritisi karya kreatif orang lain) dapat mengimbangi segala teori yang kita sudah miliki tersebut dengan perasaan kemanusiaan saat mengkritisi karya orang lain.
Di sinilah poin penting dari proses berkarya melalui tulisan. Yaitu, tidak melupakan rasa kemanusiaan ketika di dalam proses berkarya seringkali secara tersirat saling sikut untuk bersaing menjadi penulis yang inovatif, kreatif, dan inspiratif. Hal ini tanpa sadar dilakukan para penulis atau orang-orang yang ingin menulis, demi dapat menyajikan yang terbaik kepada para pembaca yang berbudi luhur.
Siapa yang tidak ingin karya tulisnya dibaca dan diapresiasi?
Maka dari itu, seyogyanya tak hanya menulis bebas sesuka kita, namun, iringi proses menulis dengan membaca, mempelajari, mencobanya, menganalisa, mencobanya kembali dan menekuninya. Seiring berjalannya waktu, akan kita sadari bahwa menulis itu (ternyata) tidak gampang dan bebas, melainkan terarah.
Malang, 31-12-2018
Deddy Husein S.
Tambahan:
Berikut ini adalah sebuah perjalanan awal mula saya menulis. Masih Bab 1---walau terbagi beberapa bagian, dan akan segera dilanjutkan. Semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H