Semua penulis---apapun jenis tulisannya---pasti sangat membutuhkan apresiasi. Apresiasinya tentu beragam, dari yang hanya sebatas mengatakan "Aku suka!", lalu ada yang mengajak diskusi, ada pula yang memberikan kritik dan saran, sampai yang benar-benar hanya cukup diberikan rating nilai. Bahkan, jika karya tulisnya sampai dibagikan orang lain ke jaringan tertentu yang tidak dijangkau oleh penulisnya, itu artinya, karya tulis itu sudah dapat dikatakan sebagai salah satu karya yang baik dan (mungkin) benar.
Lalu, mengapa si ibu Beny ini sampai harus mengucapkan maaf kepada Beny?
Karena, di ranah kepenulisan itu jika sudah masuk ke tahap atau tingkatan yang lebih serius pasti akan menemukan beragam kritikan. Karena, pro-kontra itu sudah menjadi pemakluman dari kehidupan manusia yang berakal. Semakin besar karya itu, semakin banyak yang memperbincangkannya. Termasuk mengkritisi karya tersebut, dan sebagai pengkritik yang budiman, biasanya dia tidak akan segan untuk meminta maaf terlebih dahulu saat menilai karya orang lain. Karena, bagaimanapun teori yang dia miliki, sebagai pengkritik, dia harus sadar bahwa manusia itu pasti punya perasaan.Â
Sejenius apapun pikiran seorang pengkarya, dirinya pasti juga seringkali mendahulukan perasaannya untuk merasakan adanya kesedihan, ketika karyanya harus dikritik secara lugas a.k.a menohok. Maka dari itulah, penting rasanya kita (bagi orang-orang yang sudah mampu mengkritisi karya kreatif orang lain) dapat mengimbangi segala teori yang kita sudah miliki tersebut dengan perasaan kemanusiaan saat mengkritisi karya orang lain.
Di sinilah poin penting dari proses berkarya melalui tulisan. Yaitu, tidak melupakan rasa kemanusiaan ketika di dalam proses berkarya seringkali secara tersirat saling sikut untuk bersaing menjadi penulis yang inovatif, kreatif, dan inspiratif. Hal ini tanpa sadar dilakukan para penulis atau orang-orang yang ingin menulis, demi dapat menyajikan yang terbaik kepada para pembaca yang berbudi luhur.
Siapa yang tidak ingin karya tulisnya dibaca dan diapresiasi?
Maka dari itu, seyogyanya tak hanya menulis bebas sesuka kita, namun, iringi proses menulis dengan membaca, mempelajari, mencobanya, menganalisa, mencobanya kembali dan menekuninya. Seiring berjalannya waktu, akan kita sadari bahwa menulis itu (ternyata) tidak gampang dan bebas, melainkan terarah.
Malang, 31-12-2018
Deddy Husein S.
Tambahan:
Berikut ini adalah sebuah perjalanan awal mula saya menulis. Masih Bab 1---walau terbagi beberapa bagian, dan akan segera dilanjutkan. Semoga bermanfaat!